Mengapa Masih Terjadi Pembubaran Ibadah Umat Kristen di Indonesia?

Mengapa Masih Terjadi Pembubaran Ibadah Umat Kristen di Indonesia?

Hari Minggu lalu (19/2), Ketua RT yang membubarkan sebuah ritual misa yang diadakan oleh jemaah Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) di Kelurahan Rajabasa Jaya, Kecamatan Rajabasa, Kota Bandar Lampung. Kenapa pembubaran ibadah seperti ini masih terjadi di Indonesia?

Mengapa Masih Terjadi Pembubaran Ibadah Umat Kristen di Indonesia?
Foto: Kubah Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre) & menara Masjid Umar.

Jika menyebut satu umat beragama yang selalu merasa was-was ketika sedang melangsungkan ibadahnya, maka itu adalah para pemeluk Kristen. Bagaimana tidak, belum genap dua bulan tahun 2023 berjalan, persekusi terhadap umat Kristen terkait izin beribadah sudah marak terjadi.

Jika awal Februari lalu (5/2) terjadi pembubaran kegiatan ibadah jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Metland Cileungsi di Bogor oleh sekelompok masyarakat, hari Minggu lalu (19/2) giliran Ketua RT yang membubarkan sebuah ritual misa yang diadakan oleh jemaah Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) di Kelurahan Rajabasa Jaya, Kecamatan Rajabasa, Kota Bandar Lampung.

Tekanan “publik” ini seakan terus tumbuh subur sampai umat Kristen benar-benar tidak mempunyai ruang lagi untuk mengekspresikan ajaran agamanya. Di satu sisi, isu ini nyaris mencapai derajat membosankan. Bagaimana tidak, intimidasi itu terjadi dalam intensitas yang relatif tinggi. Di sisi lain, menormalisasi tragedi itu berarti tidak berkhidmat kepada UUD RI 1945 sekaligus mengingkari nilai kemanusian. Keduanya bersepakat untuk memberikan ruang bagi seluruh pemeluk agama di Indonesia untuk secara bebas mengekspresikan dan mengamalkan ajaran agama yang diyakininya.

Namun, apa daya? Realitas masyarakat rupanya tidak se-merangkul itu. Wawan Kurniawan, Ketua RT yang membubarkan ibadah jemaat GKKD Lampung, membantah dirinya melarang umat Kristen untuk menggelar ibadah di Gereja Kristen Kemah Daud. Wawan mengklaim hanya membubarkan para jemaat yang ingin ibadah karena gedung yang hendak dipakai jemaat untuk beribadah tersebut belum ada izin.

Wawan melanjutkan bahwa Pendeta Naek Siregar memang sudah menjalin kesepakatan dengan aparat setempat untuk menggunakan rumah itu sebagai tempat tinggal, bukan rumah ibadah. Ia merasa dibohongi karena faktanya, rumah itu pada akhirnya dijadikan sebagai sarana peribadatan jemaat GKKD. Pernyataan Wawan kemudian mendapat justifikasi dari Lurah setempat. Sumarno, Kepala Desa Rajabasa Jaya, mengakui bahwa konflik soal rumah ibadah ini sudah berlangsung sejak 2014. Ia mengklaim bahwa kegiatan umat Kristen di desanya kemarin dilakukan tanpa ada izin.

Saya tidak sedang menjadi juri yang menilai siapa yang salah, siapa yang benar. Yang jelas, ada satu komunitas keagamaan yang tidak bisa beribadah dengan tenang di negeri yang katanya ramah ini. Jika mengacu pada pernyataan Wawan, Pendeta Siregar bisa jadi salah. Namun, dalam perspektif kebangsaan, menghalang-halangi orang beribadah jelas tidak sesuai dengan semangat konstitusi dan Pancasila.

Terkait konstitusi, saya teringat orasi Presiden dalam Rakornas Kepala Daerah dan FKPD se-Indonesia Januari lalu (17/1). Pak Jokowi berkata,

“Ini yang beragama Kristen, Katolik, Hindu Konghucu. Hati-hati. Ini memiliki hak yang sama dalam beribadah. Memiliki hak yang sama dalam hal kebebasan beragama dan beribadah. Hati hati. Beragama dan beribadah itu dijamin oleh konstitusi kita, dijamin oleh UUD 1945 Pasal 29 ayat 2.”

“Sekali lagi dijamin oleh konstitusi. Ini harus ngerti. Dandim, Kapolres, Kapolda dan Pangdam harus ngerti ini, Kejari Kejati. Jangan sampai yang namanya konstitusi itu kalah oleh kesepakatan. Konsitusi tidak boleh kalah dengan kesepakatan.”

Presiden menjelaskan bahwa Indonesia sangat berkomiten terhadap konstitusi. Konstitusi adalah payung hukum negara, dan sampai kapanpun ia akan tetap seperti itu.Mumpung sedang bicara konstitusi, ada sebuah Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri yang selalu menjadi acuan soal polemik rumah ibadah, yakni Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Bergama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadah. Dengan segala pasalnya, SKB ini dinilai sebagai sumber diskriminasi terhadap umat minoritas di Indonesia.

Namun, lagi-lagi esensi umat beragama adalah soal kebebasan menjalankan ajaran agamanya, bukan teknis mengurus izin lokasi ritualnya. Ini lah yang sebenarnya hendak ditegaskan oleh Presiden. Dalam kasus GKKD Lampung, jika Pak RT mempunyai rasa kemanusiaan sedikit saja, maka ia mestinya menunggu ibadah itu selesai, baru mengajak diskusi penanggung jawab acara. Bukan dengan cara intimidatif melompati pagar, menerobos masuk pintu rumah, kemudian menuding-nuding jemaat. Terang saja ada satu ibu menangis histeris karena shock dengan sikap Pak RT itu.

Sampai di sini, berbagai pembubaran peribadatan umat Kristen bisa dikatakan berasal dari persekongkolan antara struktur dan kultur yang ada di masyarakat. Artinya, selain karena terdapat beberapa aturan negara yang bias, perasaan sinis terhadap umat minoritas turut menjadi pemicu terjadinya beberapa persekusi. Dalam bahasa lain, ada tidaknya SKB 2006 tidak akan menghentikan konflik selama kebencian terhadap sang liyan masih mendarah daging dalam masyarakat kita. SKB 2006 itu memang perlu dievaluasi, namun mendiseminasikan ajaran kemanusiaan yang luhur dan penuh kasih terhadap sesama itulah yang jauh lebih krusial.

Soal transformasi tempat tinggal menjadi rumah ibadah, seperti kasus GKKD Lampung, tentu tidak bisa dilihat dari aspek hilirnya saja. Negara mestinya memahami hulu dari segala tensi ini. Negara perlu menghentikan penghakiman massa terhadap pemeluk agama tertentu di Indonesia. Tentu ada alasan mengapa sang Pendeta, misalnya, sampai mengubah tempat tinggalnya menjadi gereja dadakan. Bisa jadi, ia mempunyai tanggung jawab moral sebagai Pendeta untuk menyediakan rumah ibadah bagi jemaatnya sedangkan ia tahu bahwa membangun gereja di Indonesia tidak semudah membayar belanjaan pakai QRIS. Mungkin ia pada akhirnya harus melanggar beberapa aturan, namun itu tak lebih dari tanggung jawabnya guna menyediakan ruang bagi jemaatnya untuk bercengkerama dengan Tuhannya.

Sekali lagi, negara harus benar-benar berkomitmen soal kebebasan menjalankan ajaran agama. Oleh karena itu, instruksi Presiden harusnya bisa sampai pada pejabat daerah di level paling bawah karena di situlah ranjau-ranjau friksi antar agama sering meledak. Isu umat beragama bukan terletak pada teknis mengurus izin lokasinya, namun absennya rasa nyaman dan aman saat mereka menjalankan ibadahnya.