Sejak tragedi September (9/11), Islam mendapat sorotan tajam, khususnya, dari kalangan Barat. Mereka menganggap segala teror adalah bagian dari ajaran Islam. Tak heran, Muslim yang bermukim di Barat seringkali mendapat tekanan akibat stigmatisasi teroris itu. Hingga saat ini, meskipun sudah jauh berkurang, label “Islam agama teror” atau “Islam agama kekerasan” menjadi wacana yang lumrah ditemukan di Amerika Serikat merujuk, utamanya, pada konteks tragedi 9/11. Realitas inilah yang kemudian dianggap sebagai musabab menguatnya fenomena islamofobia di seluruh dunia, sejak istilah itu mengemuka pada 1980-an.
Secara umum, gagasan islamofobia merujuk pada praktik berupa pembunuhan, serangan psikologis dan fisik, ujaran kebencian dan diskriminasi yang menargetkan umat Muslim atas dasar kebencian atau ketakutan karena “mereka Muslim”. Kasus-kasus gagasan islamofobia yang terkenal, misalnya penyerangan Masjid di Australia yang menewaskan puluhan jamaah Muslim, pelecehan terhadap seorang perempuan berhijab di Amerika karena hijab identik dengan teroris, hingga pembakaran al-Qur’an di Swedia beberapa bulan lalu.
Namun, gagasan islamofobia tidak lagi dilekatkan kepada hal-hal yang bersifat praktis. Beberapa kalangan Muslim bergerak lebih dalam dengan menganggap kritikan-kritikan terhadap Islam juga sebagai gejala islamofobia. Misalnya, Barat mengkritik Islam sebagai agama yang tidak ramah gender, sangat patriarkis, dan membatasi hak perempuan. Narasi ini bisa kita dijumpai di setiap lini literatur Barat, dari sekelas artikel jurnal, essai, hingga cuitan-cuitan media sosial. Di mata beberapa kalangan Muslim ini, narasi “Islam bias gender” itu dianggap sebagai gejala islamofobia.
Menurut Abdelwahed Mekki-Berrada dan Leen D’haenens dalam tulisannya Islamophobia as a Form of Violent Radicalisation, kalangan Muslim yang selalu mempersepsi narasi “kontra Islam” sebagai islamofobia itu adalah kelompok Islam radikal. Gagasan itu terus dinarasikan untuk membungkam segala kritikan terhadap Islam dan Muslim. Menurut Abdelwahed Mekki, kelompok Islam radikal menganggap islamofobia sebagai salah bentuk dari radikalisme yang rawan mengarah pada kekerasan.
Mudahnya, daripada kekerasan terhadap Muslim terjadi, lebih baik membungkap narasi-narasi “islamofobia” itu, karena “islamofobia” adalah pintu masuk menuju kekerasan. Pertanyaannya, apakah persepsi itu benar? Apakah memang segala bentuk narasi yang “menyelisihi” nilai Islam berarti islamofobia bahkan jika itu datang dari kalangan Muslim sendiri?
Fundamen utama terbentuknya dunia modern adalah kemerdekaan berpikir dan kebebasan berekspresi. Inilah yang dijadikan senjata Barat untuk melawan narasi para Islamis radikal dalam konteks ketika Barat mengkritik Islam. Barat menganggap bahwa mengkritik Islam adalah sebuah bentuk kebebasan berekspresi. Tidak ada seorang pun yang bisa membatasi itu.
Barat juga tidak menyalahkan jika kritikan mereka dianggap sebagai islamofobia oleh Islamis radikal. Toh, persepsi itu juga konsekuensi dari masyarakat demokratis khas dunia modern. Tentu kebebasan itu memiliki koridor, yaitu selama tidak ditujukan untuk merusak masyarakat atau memperburuk polarisasi sosial yang sudah terjadi. Namun, rupanya, para Islamis radikal yang hanya mewakili sebagian kecil dari 1,9 miliar Muslim di dunia, berusaha untuk melarang semua kritik terhadap Islam di dunia Muslim, juga di Barat.
Dalam masyarakat demokrasi modern di mana kebebasan berekspresi adalah hak yang tidak dapat dicabut dan tidak dapat dinegosiasikan, melarang kritik secara absolut bisa dianggap sebagai pelanggaran kemanusiaan. Kultur modern memberikan ruang bagi siapapun untuk secara bebas mengkritik Islam, sama seperti Islamis radikal yang bebas mengutuk narasi Islamofobia sebagai racun bagi kehidupan umat beragama di dunia.
Islamofobia memang sudah menjadi realitas tak terpisahkan dalam kehidupan multi-identitas di era negara bangsa. Namun, menganggap semua narasi kritis terhadap Islam sebagai bentuk islamofobia adalah hal yang keliru. Ada kalanya cara beragama Muslim yang terlalu berlebihan mengganggu kenyamanan bahkan keamanan pemeluk agama lain, dan itu seringkali tidak disadari oleh kalangan Muslim itu sendiri. Kasus Meiliana, misalnya. Menganggapnya mempunyai gejala islamofobia karena mengkritisi suara adzan adalah sikap yang sangat naif. Bagaimana bisa kenyamanan seseorang yang terganggu bisa dikaitkan dengan sikap kebencian terhadap Islam.
Ada setidaknya dua aspek yang mendasari mengapa para Islamis radikal ini terus menarasikan islamofobia secara berlebihan; yaitu aspek doktrinal dan aspek politis. Aspek doktrinal menjelaskan sisi konservatisme para Islamis radikal dalam memahami agamanya. Mereka mudah diidentifikasi karena memang tidak mau menerima masukan, menolak perkembangan zaman, dan mengabaikan perubahan konteks sosial.
Sedangkan aspek politis menjelaskan gerak mereka menyebarkan paham-paham puritanisme ke seluruh dunia. Kelompok Wahhabi, misalnya, secara sistematis dan masif mempropagandakan ajarannya ke seluruh dunia, yang juga sudah masuk ke Indonesia. Dengan membungkam kritik Barat terhadap Islam, mereka mempertegas doktrin, dan semakin melancarkan proksi-proksi mereka dalam melakukan propaganda ke penjuru dunia.
Sampai sini, titik poinnya justru bukan di islamofobia-nya, melainkan segala cara untuk meneguhkan posisi mereka dan menafikan yang lain, termasuk melalui narasi islamofobia. Mereka tau, umat Islam sangat sentimen jika mendengar islamofobia. Sentimen ini dimanfaatkan oleh Islamis radikal dengan cara mengacaukan gagasan islamofobia. Ekspektasinya, umat Muslim akan menutup mata dan telinga terhadap segala bentuk masukan atau kritik yang dialamatkan kepada mereka karena dianggap sebagai anti-Islam.
Hal ini jelas sangat berbahaya karena salah satu faktor hancurnya peradaban Islam adalah bersikap eksklusif dan menutup diri dari peradaban lain. Sekali lagi, islamofobia memang ada. Namun umat Muslim juga harus kritis membedakan mana narasi berbasis kebencian, mana narasi berisi catatan-catatan. Kepekaan ini dapat membantu umat Muslim memperbaiki wajah Islam keras yang rupanya masih sedikit melekat dalam benak Barat. Jika sikap kritis itu terus dibudayakan, bukan tidak mungkin ia justru menghapus islamofobia itu sendiri.
Salah satu cara untuk memperbaiki citra Islam adalah dengan berpihak kepada kemanusiaan. Batasan tentang nilai-nilai kemanusiaan itu, selain berangkat dari diri sendiri, juga datang melalui pihak eksternal. Jika nanti datang seribu kritikan terhadap Islam sekalipun, maka umat Muslim sejati akan menganggapnya sebagai bahan evaluasi diri, bukan menyalahkan sang pemberi kritik, apalagi dengan embel-embel islamofobia.