Rasmus Paludan Membakar Al-Qur’an: Gejala Islamofobia atau Intimidasi Politik?

Rasmus Paludan Membakar Al-Qur’an: Gejala Islamofobia atau Intimidasi Politik?

Rasmus Paludan Membakar Al-Qur’an: Gejala Islamofobia atau Intimidasi Politik?
Rasmus Paludan. Foto: TT News Agency via Reuters

Rasmus Paludan menjadi buah bibir dunia usai video aksi pembakaran Al-Qur’an yang ia lakukan viral di media sosial (22/1). Aksi yang dilakukan politisi sayap kanan Swedia itu merupakan satu dari rangkaian demonstrasi yang terjadi di halaman Kedutaan Turki di ibukota Swedia, Stockholm. Demontrasi itu merupakan buntut dari sikap protes pihak Paludan karena Turki dianggap ikut campur dan memengaruhi kebebasan berekspresi di Swedia dalam konteks upaya negara itu untuk bergabung dengan NATO.

Aksi politikus partai Stram Kurs, salah satu partai sayap kanan Denmark, itu bukan yang pertama kalinya. Dilansir news.detik.com, pada April 2022 silam, ia melakukan aksi pembakaran Al-Qur’an di wilayah yang banyak dihuni warga Muslim di Swedia. Aksi yang dilakukan di bawah pengawalan kepolisian itu terjadi di area terbuka di wilayah Linkoping. Dia tetap melakukan aksi itu meskipun mendapat penolakan dari sekitar 200 demonstran yang berkumpul di lokasi yang sama.

Bahkan, sepanjang tahun 2020, Rasmus Paludan beberapa kali ditangkap oleh pihak keamanan di beberapa negara Eropa. Yang pertama terjadi pada bulan September. Saat itu, Paludan dijatuhi hukuman larangan masuk ke Swedia selama dua tahun. Selanjutnya, pada bulan Oktober, ia dijatuhi hukuman larangan masuk ke Jerman setelah mengumumkan rencana untuk menggelar unjuk rasa provokatif di Berlin. Kasus selanjutnya terjadi pada bulan November, ketika Paludan ditangkap di Prancis dan dideportasi. Terakhir, pada bulan yang sama, Paludan bersama lima aktivis lainnya ditangkap di Belgia dengan tuduhan ingin “menyebarkan kebencian” dengan membakar al-Qur`an di Brussels, ibukota Belgia.

Pada tahun 2019, Rasmus Paludan juga pernah melakukan aksi pembakaran Al-Qur’an yang dibungkus dengan daging babi. Akibat aksi tersebut, akunnya sempat diblokir selama sebulan oleh pihak Facebook setelah membuat postingan yang mengaitkan kebijakan imigrasi dan kriminalitas.

Aksi Paludan tersebut tentu bukan representasi dari Swedia, apalagi Eropa. Nyatanya, ia dikecam oleh berbagai pihak bahkan dari pemerintahan Swedia sekalipun. Perdana Menteri Swedia, Ulf Kristersson, dalam akun Twitter pribadinya, menyatakan bahwa kebebasan berekspresi memang bagian mendasar dari demokrasi. Tapi, sesuatu yang legal belum tentu sesuai. Membakar kitab suci bagi banyak orang adalah tindakan yang sangat tidak sopan. Ia kemudian meminta maaf kepada umat Muslim di seluruh dunia dan bersimpati terhadap yang dilakukan oleh Paludan.

Kecaman kepada Paludan juga datang dari Gereja Armenia (Armenian Patriarchate) di Turki. Gereja menyatakan bahwa dunia sekarang sedang membutuhkan cinta dan perdamaian karena dunia sedang berjuang dengan banyak permasalahan. Oleh karena itu, akan lebih bagus jika beberapa orang mengendalikan diri dari perlakuan yang hendak menambahkan permasalahan di dunia.

Tindakan Rasmus Paludan Wujud Islamofobia?

Banyak spekulasi soal latar belakang fenomena pembakaran al-Qur’an oleh Paludan itu. Beberapa media mengatakan bahwa itu adalah gejala Islamofobia yang masih menjangkiti negara Eropa Timur. Benarkah demikian?

Yap, memang kebanyakan aksi sentimen terhadap Islam memang marak terjadi di negara-negara Nordic, seperti Swedia, Denmark, dan Norwegia. Oleh karena itu, menarik mencermati bagaimana sejatinya sejarah Islam di negara Skandinavia itu.

Di Swedia, misalnya, Islam bukanlah identitas baru. Islam bukan agama impor yang terbawa dari para pengungsi dari negara-negara konflik. Sebaliknya, Islam pernah memiliki relasi dagang sangat dekat dengan nenek moyang Swedia modern, bangsa Viking, sejak abad ke 7 hingga 10 Masehi. Hal itu dibuktikan dengan adanya koin Arab dari Timur Tengah di pemakaman bangsa Viking.

Ingvar Svanberg, dalam tulisannya Islam Outside the Arab World, mengatakan bahwa sejumlah besar koin Abbasiyah dan Samidic dengan prasasti Arab telah ditemukan di pulau Oland dan Gotland di Laut Baltik. Dalam Risalahnya,  Ibnu Fadlan, seorang utusan Kekhalifahan Baghdad, memberikan gambaran lengkap tentang penguburan kepala suku Nordik di tepi Volga pada tahun 922 M.

Dalam tulisan yang sama, Ingvar menyebut bahwa Swedia inklusif untuk menyediakan tempat beribadah bagi komunitas Muslim. Masjid pertama di Swedia adalah Masjid Nasir yang dibangun pada 1976 di Gothenburg, kemudian disusul Masjid Malmo pada 1984. Setelah tahun 2000-an, pembangunan masjid menjadi lebih masif di Swedia, misalnya Masjid Stockholm, Masjid Umea dan Masjid Fittja.

Jumlah Muslim di Swedia diperkirakan mencapai 810 ribu orang atau sekitar 8,1 persen dari total populasi pada 2016. Menurut survey dari Pew Research, jumlah Muslim diprediksi melonjak sampai 9,9% persen dari populasi pada 2030 dalam skenario minimal imigran.

Barangkali prediksi peningkatan jumlah Muslim yang signifikan itulah yang dianggap mengancam oleh kelompok sayap kanan Swedia. Mereka khawatir Muslim akan “mengambil alih” Swedia. Dengan demikian, pihak seperti Rasmus Paludan melakukan aksi-aksi terencana agar Muslim yang telah tinggal puluhan tahun di Swedia terusir.

Meski demikian, alasan Islamofobia di Swedia bukan tanpa alasan. Media Inggris, BBC, pernah menulis soal peran Swedia yang menjadi salah satu eksportir “jihadis” ke Irak dan Suriah pada 2016 lalu. Sebelumnya, oknum Muslim juga tercatat pernah melakukan aksi teror pada 11 Desember 2010 ketika dua bom meledak di pusat kota Stockholm.

Terlepas dari dinamika itu, Muslim masih tetap bisa hidup nyaman di negara Balkan itu. Swedia memang termasuk ke dalam negara sekuler. Tetapi, Swedia tidak mempunyai undang-undang khusus yang melarang menampilkan simbol-simbol agama di ruang publik. Perempuan mengenakan cadar bisa dijumpai di Swedia.

Faktanya, Islam adalah agama resmi kedua setelah Kristen di Swedia. Sebagai agama resmi, Islam sudah terdaftar dalam naungan Myndigheten for Stod Till Trossamfund, sebuah agensi pemerintah yang berada di bawah Kementerian Kebudayaan Swedia. Instansi tersebut merupakan instrumen untuk mewujudkan kehidupan beragama yang harmonis di Swedia melalui dialog dan edukasi.

Hingga tahun 2018, terdapat sekitar 12 komunitas Islam di Swedia, yaitu Islamic Relief in Sweden, Muslim Youth of Sweden, Islamiska informationsföreningen (IIF), Union of Muslim Students in Sweden, Imam’s Association, Sweden’s Islamic Schools (SIS), Muslim Woman Association, Sweden’s Muslim Scouts, New Moon Cultural Association, Quran Reader Society, Ibn Rushd Study Association, dan Muslim Council of Sweden (SMR). Paguyuban-paguyuban itu masih berpotensi bertambah jika mengacu pada survey Pew Research di atas.

Data tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya ekspresi keagamaan Muslim sangat dilindungi dan dijamin oleh pemerintah Swedia. Muslim pada dasarnya dapat beribadah dengan nyaman tanpa intervensi dan intimidasi dari pihak manapun. Artinya, mungkin berbagai aksi sentimen, yang salah satunya ditunjukkan oleh Rasmus Paludan, bukan semata karena alasan Islamofobia, namun juga sebagai bentuk intimidasi politik terhadap Turki agar tidak ikut campur dalam urusan internal Swedia karena bagi mayoritas penduduk Turki yang Islam, al-Qur’an merupakan kitab suci yang sakral.

Terlepas dari apapun dalihnya, pelecehan terhadap kitab suci tetap tidak tidak bisa dibenarkan. Selain sebagai penghinaan terhadap simbol agama Islam, aksi Paludan bisa menjadi trigger baru konflik antar identitas di Eropa. Konflik yang seharusnya tak perlu ada lagi di era modern. [NH]