Tanya:
Saya membaca kisah-kisah Nabi Muhammad dan para sahabat, sering sekali terjadi perang. Saya memiliki pertanyaan: benarkah sejarah Islam termasuk sejarah kenabian, melulu berisi kisah perang? Benarkah pernyataan sebagian orang bahwa “Islam disebarkan dengan pedang dan pertumpahan darah?”
Jawab:
Syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad, bermula di dataran Arab. Dengan demikian, konteks kondisi sosial budaya Arab mempengaruhi cara Islam diterima di tengah masyarakat Arab yang kala itu belum mengenal konsep “bangsa” atau nations. Mereka mengidentifikasi identitas mereka berbasis suku, kabilah, atau kelompok keturunan, yang dikenal dengan istilah “Bani”. Nabi Muhammad, juga beberapa sahabat yang pertama kali menerima Islam, berasal dari kalangan Suku Quraisy. Nabi Muhammad sendiri merupakan trah dari Bani Hasyim.
Baca juga: Tiga Kisah Diperbolehkannya Non-Muslim Memasuki Masjid
Dalam catatan sejarawan, semisal Philip K. Hitti dalam History of Arabs atau cendekiawan Karen Amstrong dalam bukunya Sejarah Tuhan, resolusi konflik antar kabilah atau suku Arab menempuh beberapa cara. Selain diplomasi dan musyawarah, perang adalah salah satu jalan penyelesaian urusan-urusan di antara mereka.
Nabi Muhammad masih berada dalam narasi peperangan antar kabilah dan suku ini. Pada masa jelang lahirnya beliau di kurun abad ke-6 Masehi saja, terdapat perang antara masyarakat Mekkah dan pasukan dari Yaman. Oleh para mufassir, peristiwa itu disebut-sebut diabadikan Al Quran dalam surah Al Fiil.
Jika Anda membaca Sirah Nabawiyah, Nabi mulai memimpin perang ketika telah hijrah ke kota Yatsrib (sebelum ganti nama menjadi Madinah). Dalam sejarah perang Nabi, dikenal istilah perang sariyyah dan perang ghazawat. Perang ghazawat adalah perang yang dipimpin langsung oleh Nabi, sedangkan perang sariyyah adalah perang yang kepemimpinannya didelegasikan Nabi kepada salah satu sahabat.
Ada ragam keterangan mengengai jumlah perang di masa Nabi ini. Sumber yang kerap dikutip menyebutkan ada 27 perang ghazawat dan 48 perang sariyyah. Tentu ini bisa lebih banyak atau mungkin lebih sedikit. Selain itu, dari sejumlah besar perang dalam sirah nabawiyyah itu yang benar-benar berkecamuk hanya sebagiannya saja.
Patut dicatat, sejarah Nabi berisi perang hanya sebagian kecil dari narasi besar kehidupan beliau. Perang-perang tersebut, terjadi antar suku Quraisy sendiri yang menunjukkan adanya konflik dalam satu suku besar, antar penganut agama yang tinggal dalam satu daerah (seperti perang melawan Yahudi atau Kristen di Madinah), ataupun perang melawan penguasa lain, seperti terjadi dalam perang melawan Byzantium.
Baca juga: Bolehkah Ikut Membangun Rumah Ibadah Non-Muslim?
Jelaslah bahwa perang adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah Islam dan sejarah Nabi Muhammad. Dalam kitab-kitab hadis, bab tentang perang pasti tercantum – baik berisi aturan syariat, ketentuan perang, serta kisah-kisah di dalamnya. Ada syariat dalam peperangan seperti ketentuan jenazah yang tewas di medan tempur, hasil rampasan perang, doa-doa menyambut musuh, atau shalat khauf ketika perang berkecamuk.
Beberapa kalangan muslim menyebut bahwa perang yang terjadi pada masa Nabi Muhammad hidup adalah perang muslim demi memerangi non-muslim. Namun jika kita menganalisa lebih dalam, perang-perang yang dilakukan oleh Nabi itu tidak bermotifkan agama. Ada konflik lain yang memicu perang tersebut, terlebih peperangan itu dipicu lebih dahulu oleh kalangan non-muslim yang bermaksud menumpas umat muslim. Karena, Islam tidak membolehkan berperang sebelum diperangi terlebih dahulu.
Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat 190:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) jangan melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”
Latar belakang perang umat muslim dipicu oleh masalah kedaulatan dan ancaman atas hak-hak hidup muslim. Lebih jelas, KH. Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya Islam Antara Perang dan Damai menegaskan bahwa Nabi tidak pernah berperang atas motif perbedaan agama.
Sebagai contoh, ada tiga perang penting pada masa Nabi melawan non-muslim, namun kesemuanya bukan karena konflik agama. Semisal, Perang Badar. Peperangan ini terjadi pada tahun kedua Hijriah, dan dipimpin oleh Nabi melawan kaum non-muslim Mekkah. Orang-orang yang berhijrah ke Madinah hendak meminta pada masyarakat non-muslim Mekkah untuk mendapatkan hak kembali atas tanah, rumah, serta ternak mereka yang ditinggal hijrah. Namun narasi yang timbul di kalangan non-muslim Mekkah adalah kaum muslim hendak mencelakakan mereka.
Baca juga: Sejarah Islam Bukan Hanya Soal Perang
Ada juga Perang Bani Quraizhah pada tahun kelima hijriyah. Penyebabnya adalah pembatalan pakta damai secara sepihak oleh masyarakat Yahudi, yang sebelumnya disepakati bersama kaum Muslimin. Pembatalan sepihak itu mencederai kedaulatan kaum muslim di Madinah.
Begitupun dalam Perang Tabuk di tahun ke-9 Hijriah, saat diketahui bahwa Kerajaan Bizantium beraliansi dengan kabilah-kabilah non-muslim dari daerah Syam untuk memerangi umat muslim yang pengaruhnya kian meluas. Mendengar adanya kemungkinan serangan dari aliansi tersebut, Nabi pun menyiapkan pasukan. Namun setibanya di Tabuk, tidak ditemui adanya pasukan dari musuh. Perang yang belum bergolak tersebut adalah akibat ancaman serangan dari luar.
Akhir kata, sejarah Islam memang sarat dengan kisah perang, namun itu hanya sebagian dari narasi besar sejarah Muhammad. Dus, perang-perang yang terjadi adalah konsekuensi dari kondisi sosial budaya masyarakat Arab kala itu yang masih tribalistik, dan memiliki cara-cara penyelesaian konflik di antara mereka. Perang yang terjadi di masa Nabi pun bukan bermotif agama, meskipun Islam mengatur syariat dalam peperangan tersebut. Islam tidak mengajarkan untuk memerangi non-muslim, apalagi sesama muslim yang masih seiman. (AN)