Masyarakat beragama, seringkali menjadikan agama sebagai cara pandang hidupnya, religions way of knowing. Segala tindak-tanduk, perilaku yang bersinggungan antara agama-politik, agama-budaya, agama-ekonomi, agama-pengetahuan, dan sebagainya, keseluruhannya saja, seringkali melakukan legitimasi lewat dogma agama. Hingga pada akhirnya, dalam sudut pandang yang lebih jauh, tradisi yang demikian,–dalam konteks pluralism agama—hanya akan membawa pada keterjebakan penganut agama itu sendiri. Bersama-sama menyuarakan dengan lantang kebenaran agamanya masing-masing, terdoktrin dalam truth claim (klaim kebenaran) dan salvation claim (klaim penyelamatan).
Pada akhirnya, secara sosiologis, kedua hal tersebut menjadi praduga-praduga awal munculnya konflik-konflik sosial atas nama agama, atau disebut dengan radikalisme agama. Karen Amstrong yang nampak jernih melihat masyarakat yang berorientasi agama sepenuhnya, menyimpan potensi timbulnya istilah Battle for God dalam konteks Crusade War yang melibatkan tiga agama besar kala itu yakni Kristen, Islam dan Yahudi.
Peristiwa itu, oleh Karen diartikan sebagai tindakan yang otoritarian-apriopi atas kepercayaan lain di luar kepercayaan masing-masing penganut agama. Jadi, dalam masyarakat Islam, Kristen, Yahudi kala itu, titik solidaritasnya telah mendidih, hingga dalam persoalan “politis-agamis” mereka mampu berkorban atau bunuh diri atas keyakinan agamanya, dan perang! (bunuh diri altruistik). Dari sini kita tidak bisa menafikan adanya bom bunuh diri, aksi terorisme di Kafe, Hotel, Mal, dan pusat berkumpulnya massa lainnya, juga ihwal ISIS, Gafatar, dan arogansi-arogansi agama lain yang kini seolah menjadi candu, terutama kalangan Islam.
Sementara itu, pluralisme agama seringkali dimaknai sebagai penerimaan terhadap paham-paham keagamaan yang berbeda. Lain dengan pendapat Nurcholish Madjid yang berpendapat, pluralisme tidak hanya dipahami dengan mengatakan bahwa masyarakat kita adalah majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai ‘kebaikan negatif’ (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya utnuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai ‘pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban’. Bahkan pluralisme merupakan suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya.
Dengan demikian, fakta di lapangan mengatakan jika agama tidak hanya satu. Dan karena tiu, keberagaman agama itu keniscayaan. Agama yang dalam pandangan umum dijadikan sebagai ketika sosial. Asas perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Namun, kebingungan selanjutnya adalah, jika agama sebagai nilai etika sosial, dalam kondisi masyarakat yang multicultural apakah masih relevan etika sosial tersebut?
Lain cerita jika bersikukuh untuk bersikap inklusif, yakni memandang agama dalam kadar kebenaran-kebenaran yang sama. Bersifat membuka tangan, menghargai satu sama lain atas dasar moralitas dan spiritualitas modern. Pun tak bisa disangkal, jika modernisasi dalam teknologi dan informasi secara pesat mengubah pola pikir masyarakat. Batas-batas keleluasan antar agama terlihat hanya sebatas, sebab telah muncul adanya individualisme dalam beragama atau privatisasi agama dalam ranah publik. Hal tersebut, tanpa disadari, akan mengembalikan nilai dasar sosial sebagai manusia yang fardu memanusiakan manusia.
Dua yang lain
Selain lewat pintu Teologi Pluralisme, pembangunan bina damai (peace building) dalam masyarakat yang berkeberagamaan, perlu juga kita memahami apa yang dimaksud sebagai Teologi Multikulturalisme.
Perjumpaan budaya dan agama sebagai pintu awal untuk menggedor Teologi Multikulturalisme bukanlah sebuah upaya yang mudah. Sebab pengkajian kebudayaan tidak terlepas dari sisi historisitas, geografi, bahasa pun akal budi manusia. Kita tidak bilang kesemuanya relatif, hingga tak abash dijadikan kerangka dasar lahirnya Teologi Multikulturalisme. Melainkan, mencari titik temu dari beberapa unsur di atas, dengan melihat tanda-tanda atau kekhasan yang seragam dari banyak verbal tadi.
Bhikhu Parekh (2008) dalam Rethinking Multiculturalism mendefinisikan kebudayaan sebagai cara, baik untuk memahami, mengatur dan menstrukturkan kehidupan individual dan kolektif manusia. Sebagai cara pandang, kebudayaan menggandeng ilmu pengetahuan yang diwakilkan oleh akal budi. Pengetahuan yang menyokong lahirnya pandangan-pandangan baru yang tidak akan pernah habis, sebab akal budi yang sifatnya analitis, kritis, dan representatif.
Namun, di balik sifat luhur akal budi, dalam pandangan filsafat etika, lebih mengarah pada ‘ilmu yang bebas nilai’. Sehingga seringkali kebiadaban reflektif terurai hingga berbeda pendapat tak jarang menuai konflik. Oleh karenya, Bhikhu Parekh, secara berkala mencoba mempertemukan antara akal budi dan moralitas. Bahwasannya moralitas erat kaitannya dengan jenis kehidupan yang patut dijalani, aktivitas yang layak dikerjakan, dan bentuk hubungan manusia yang pantas ditanamkan. Moralitas, mensyaratkan kriteria mengenai kelayakan atau makna, yang pada gilirannya mensyaratkan sistem arti atau budaya tersebut.
Nah, dari pandangan awal tersebut, mencuat dua kebudayaan, yakni kebudayaan tradisional dan kebudayaan modern. Kebudayaan tradisional melilhat kodrat manusia sebagai keseluruhan spiritual dan menganggap sikap manusia terhadap kodrat manusia sebagai sebuah masalah moral. Hal ini tidak berlaku pada kebudayaan modern, yang acapkali bertindak di luar batas-batas moralitas.
Pola masyarakat yang bervariasi, menimbulkan warna yang berpelangi. Tapi, tidak berarti warna-warna itu menjadi pembeda satu di antara yang lain. Melihat kondisi sosio-kulutural masyarakat dengan agenda moralitas/spiritualitas modern, dengan cita-cita mewujudkan nilai-nilai moral universal yang nantinya akan menjadi kerangka final Teologi Multikulturalisme dalam keIndonesiaan, agama dan budaya tidak bisa terpisah. Bukan berarti sinkretisme, tapi inilah corak agama di Indonesia. Hingga pada saatnya, pendekatan kebudayaan adalah suara bersama bagi para penganut agama di Indonesia untuk keselarasan tujuan hidup damai, tanpa diskriminasi, tanpa kekerasan dan tanpa keberpihakan.
Kemudian dalam ranah kontestasi pembenahan sikap dalam beragama, ada dua entitas melekat di dalam sanubari seorang beragama, seperti yang sering dikemukakan oleh Gus Mus, yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan ritual (teologis) bertumpu pada ritual ibadah dalam beragama. Hubungan vertikal antara makhluk dengan Tuhan. Sementara kesalehan sosial mencakup dimensi sosiologis, artinya penekanan pada sikap memanusiakan manusia. Keduanya, menjadi argument aktualisasi nilai-nilai universalitas dalam umat beragama, yang dengan pula mengubur anarkisme kelompok radikal. Semoga. Wallahu A’lam.