Sejauh pengalaman saya bergelut dalam studi Al-Qur’an, diskusi tentang bahasa asing dalam Al-Qur’an tidak menjadi tema pembahasan yang menarik. Mengapa? Setidaknya ada dua alasan akademis: sumber rujukan (reference) dan paradigma (paradigm).
Keterbatasan rujukan menjadi masalah yang cukup serius karena akan berpengaruh terhadap paradigma yang digunakan. Contohnya, pengalaman saya ketika membahas tema ini, rujukan utama yang digunakan adalah karya dari Muhammad Mustafa al-‘Azami “The History of the Qurʹanic Text: From Revelation to Compilation: a Comparative Study with the Old and New Testaments”.
Saya tidak mengatakan rujukan ini buruk, tetapi saya kira tidak fair jika rujukan ini saja yang digunakan dalam mendiskusikan tema ini. Alasannya adalah karena kerangka yang digunakan dalam buku ini cenderung defensive, terutama terhadap karya-karya orientalis tentang Al-Qur’an. Menurut saya, fanatisme terhadap rujukan ini berpengaruh negatif kepada cara berpikir “mahasiswa” (less attitude). Mereka akan cenderung menutup pemikirannya untuk tidak bergerak kepada pertanyaan-pertanyaan yang lebih “rasional” bahkan “radikal”.
Tulisan singkat ini bertujuan untuk menunjukkan perspektif lain dalam diskusi tentang ayat-ayat asing yang ada di dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat asing yang dimaksud di sini adalah ayat-ayat yang akar katanya tidak murni berasal dari Bahasa Arab (non-Arabic language).
Lalu, berapa jumlah ayat-ayat asing dalam Al-Qur’an? Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911/1505) telah mewariskan dua kitab berbeda yang membahas tentang kata-kata asing (foreign words) di dalam Al-Qur’an. Dua kitab tersebut adalah al-Mutawakkilī fi Ma Warada fīl Qur’an bil Lughat, Mukhtashar fī Mu’arrab Al-Qur’an dan al-Muhadzdzab fi ma Waqa’a fīl Qur’an minal Mu’arrab.
Kitab al-Muhadzdzab diasumsikan telah ditulis lebih dahulu dengan argumentasi bahwa kitab ini menjadi referensi dalam menuliskan pendahuluan dalam karya al-Suyuthi yang terkenal “al-Itqan fī ‘Ulumil Qur’an.” Kitab ini mengandung salah satu bab yang membahas tentang kata-kata asing yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Kata-kata asing yang terdapat dalam kedua kitab tersebut tidak benar-benar identik jumlahnya, tetapi cukup mendekati. Terdapat 124 kata-kata asing di al-Muhadzdzab dan 118 kata-kata asing di al-Itqan. Sedangkan keduanya memiliki pola yang sama, yaitu sama-sama disusun menggunakan urutan huruf (alphabetically).
Menurut Andrew Rippin dalam artikelnya berjudul “The Designation of “Foreign” Languages in the Exegesis of the Qur’ān”, untuk menganalisis kata-kata asing yang telah dikumpulkan oleh al-Suyuthi, perlu merujuk kepada tiga hal: struktur morfologi yang rumit (difficult morphological structures), huruf-huruf gundul (barren roots), dan ketidakberaturan fitur-fitur fonetik (irregular phonetic features). Kajian-kajian seperti ini telah dikembangkan oleh ahli-ahli gramatikal awal seperti as-Sibawaih (w. 180/796) dan al-Khalil (w. 160/776).
Selain isu-isu di atas, terdapat aspek yang menarik terkait dengan exegetical treatment yaitu penentuan terhadap asal-usul kata-kata asing tersebut (determination of the language to which a word belongs). Isu ini banyak digeluti oleh kalangan sarjana Barat (baca: Orientalis). Ahli-ahli tafsir muslim sebenarnya memiliki dua pendapat tentang spesifikasi non-arabic language yaitu pengetahuan tentang bahasa asing dan tipe dari metode penafsiran yang digunakan.
Para ahli gramatikal Arab klasik, ahli leksikografi, dan ahli tafsir memperdebatkan tentang bahasa apa selain Bahasa Arab yang paling berpengaruh (mother tongue) terhadap bahasa Al-Qur’an. Pembahasan ini sering diarahkan kepada studi tentang kata-kata serapan dalam Bahasa Arab (loan words). Topik ini menjadi kajian yang paling diminati oleh para pengkaji tafsir Al-Qur’an dan leksikografi umum.
Secara genealogis, bahasa-bahasa yang dipercaya dekat dengan bahasa Al-Qur’an (baca: Arab) menurut ahli bahasa Semitic seperti Ramzi Baalbaki adalah Syriac (Suryāniī atau Nabaṭī) dan Hebrew (‘Ibrī atau ‘Ibrānī). Bahasa Sryiac –barangkali secara spesifik mengacu kepada dialek Aramaik Timur- yang secara tegas diasosiasikan kepada tradisi Kristen.
Hal ini diungkapkan secara jelas oleh al-Biruni (w. 456/1048). Sedangkan bahasa Hebrew secara sistem bahasa memungkinkan untuk ditransliterasikan kepada bahasa Arab dan diasosiasikan kepada tradisi Yahudi. Baalbaki juga menyarankan bahwa fakta-fakta ini seharusnya menyadarkan kita bahwa ada ketersalinghubungan antara bahasa-bahasa tersebut dengan bahasa Arab.
Sebagai contoh, cerita tentang Zulaikha (istri Gubernur yang hidup pada zaman Nabi Yusuf). Dalam sebuah cerita dinarasikan bahwa ia mengatakan kepada Yusuf, “marilah mendekat kepadaku” (come, take me). Dalam Al-Qur’an, kata ini diungkapkan dengan kata hayta laka (silahkan baca QS. Yusuf (12): 23).
Asumsi-asumsi yang muncul dalam cerita ini adalah Zulaikha seharusnya berbicara menggunakan bahasa asing yang kemudian terdokumentasikan dalam Al-Qur’an. Memang, para ahli tafsir berdebat tentang apa bahasa yang digunakan oleh istri sang gubernur tersebut.
Al-Suyuthi dalam kitabnya al-Mutawakkili memberikan informasi bahwa Ibnu Abi Saybah dan Ibnu Abi Hatim mengatakan bahwa ekspresi kata hayta laka dalam bahasa Aramaic bermakna kemarilah (come here). Sedangkan al-Thabari mengatakan bahwa kata tersebut adalah ekspresi dari bahasa Syriac. Para ahli leksikografi mengatakan bahwa kata ini telah di-arabisasi-kan dari bahasa Hebrew (hayetah lakh). Hal ini merujuk kepada kitab Kejadian (Genesis) 31: 44. Bagaimanapun, cara untuk menjelaskan kata ini masih menyisakan permasalahan.
Untuk menjawab pertanyaan saya di awal, jawabannya adalah tidak ada jumlah yang pasti tentang berapa jumlah kata-kata asing yang ada di dalam Al-Qur’an. Contoh di atas adalah salah satu contoh yang cukup rumit dari sekian banyak contoh lainnya.
Bagi saya, tafsir, setidaknya dalam konteks ini, adalah sebuah perangkat penjelas (explanatory device). Artinya, tafsir tidak hanya dipahami sebagai suatu pencarian pemahaman terhadap teks Al-Qur’an dalam konteks teologi, sosial, politik, budaya, dan juga hukum. Namun, tafsir juga bisa dipahami sebagai acquisitive nature.
Dalam pemahaman ini, dibutuhkan usaha yang lebih untuk melihat sisi material penafsiran Al-Qur’an yang lebih kreatif. Tentu usaha ini tidak mudah karena melibatkan diskursus lintas agama dan membutuhkan pemikiran yang inklusif. Maka dari itu, pemikiran yang terbuka akan sangat berpengaruh kepada keterbukaan kata-kata di dalam Al-Qur’an. (AN)
Wallahu a’lam.