Pada Oktober 2005, Pantai Gading sedang bereuforia karena mencetak rekor pertama kalinya lolos ke Piala Dunia 2006 di Jerman. Sejak saat itu, Didier Drogba mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat Pantai Gading. Bahkan puncaknya, dalam rekam sejarah dunia sepak bola modern, Drogba berhasil mendamaikan perang saudara di Pantai Gading yang sudah terjadi sejak 2002.
Pada 2007, Pantai Gading melakukan pertandingan melawan Madagaskar yang pada akhirnya dimenangkan tim Drogba dengan skor 5-0. Faktanya, sebagai negara sepak bola, laga tersebut dihadiri oleh banyak penonton termasuk fraksi-fraksi yang sedang berkonflik di Pantai Gading. Selepas pertandingan, Drogba berjalan mengelilingi stadion dengan para pemain dan pendukung mengikuti di belakangnya.
Drogba kemudian melakukan orasi yang intinya mengajak seluruh masyarakat Pantai Gading untuk tidak saling berperang dan menembak lagi. Orasi Drogba itu kemudian menjadi momentum perdamaian antar kubu dan menghentikan perang saudara yang sudah berkobar lima tahun lamanya.
Tiga paragraf itu nampaknya cukup menjadi pengantar bahwa sepak bola bukan semata urusan olah raga. Di ruang publik, sepak bola bisa dibicarakan dalam konteks politik dan budaya. Di ruangan petinggi klub, sepak bola dibahas dalam konteks urusan bisnis. Dalam kasus Pantai Gading, sepak bola bahkan beririsan dengan isu kemanusiaan. Tulisan ini membahas sepak bola dalam konteks yang lebih “sakral”, agama.
Benturan Peradaban di Piala Dunia 2022
Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) telah menetapkan Qatar sebagai tuan rumah venue Piala Dunia 2022. Keputusan itu menandai beberapa hal penting. Dalam konteks ekonomi, PD 2022 Qatar dinobatkan sebagai piala dunia termahal sepanjang sejarah. Dalam konteks geografis, PD 2022 menjadi PD pertama yang diadakan di kawasan Timur Tengah. Dalam konteks agama, PD 2022 Qatar akan menjadi Piala Dunia pertama yang “menerapkan” Syariat Islam.
Qatar sebagai negara Islam akan menjadi semacam ruang pertemuan akbar berbagai budaya di seluruh dunia, khususnya peradaban Eropa modern yang menyumbang mayoritas timnas terbaik dunia. Pertanyaannya, apakah akan terjadi benturan antara peradaban Timur dan Barat di tengah event Piala Dunia 2022 nanti? Jawabannya jelas tidak tahu. Manusia tidak bisa mengintip masa depan. Namun, itu hanyalah jawaban normatif. Nyatanya, kedua budaya tersebut telah menunjukkan gestur untuk saling merangkul satu sama lain.
Qatar merupakan negara Islam yang mengadopsi ajaran-ajaran Islam dalam regulasi negaranya. Adopsi ajaran Islam meresap ke seluruh elemen masyarakat Qatar, termasuk dalam hal tradisi lokal, kebiasaan, dan hukum negara. Seperti misalnya, Qatar memiliki aturan ketat perihal konsumsi alkohol dan LGBTQ. Regulasi ini tentunya berlawanan dengan kebiasaan orang Barat yang bebas.
Qatar juga mengatur soal mahram dan interaksi lawan jenis. Kebijakan ini mewujud dalam regulasi pelarangan seks bebas atau sejoli tanpa ikatan suami istri untuk tinggal bersama di hotel, penginapan, dan sebagainya. Kebijakan ini tentu akan memisahkan Cristiano Ronaldo, bintang Timnas Portugal, dari pacarnya, Georgina Rodríguez. Keduanya memang belum menikah. Pun juga akan menghalangi para pacar pemain Timnas negara-negara Eropa untuk tinggal bersama sang kekasih di Qatar.
Tentu regulasi ini tidak pernah mereka temukan di Eropa karena seks bebas, one night stand, alkohol, dan pesta pasca pertandingan merupakan hal-hal yang dianggap wajar di sana. Jika Ronaldo dan Georgina tetap nekat tinggal bersama, mereka bisa terancam sanksi penjara hingga 7 tahun lamanya.
Sebagai negara Islam konservatif, Qatar juga concern terhadap isu berbusana bagi para turis. Meskipun Qatar telah menjadi satu dari berbagai epicentrum bisnis besar di Timur Tengah, pihak otoritas Qatar tetap menegaskan di banyak kesempatan bahwa para fans sepak bola harus menjaga pakaian mereka agar tetap sopan. Sopan “versi” Qatar tentunya. Meskipun suhu di Timur Tengah cukup terik, penggemar tetap dilarang mengenakan atasan tanpa lengan dan celana pendek. Pemerintah Qatar tak segan-segan menghimbau para penonton untuk selalu berpakaian tertutup selama pertandingan berlangsung.
Sudah mafhum bahwa pasca renaissance, Eropa memutuskan menjadi sekuler. Eropa meletakkan agama jauh dari ruang publik sebagai upaya melepaskan diri dari trauma hegemoni Gereja di Abad Kegelapan. Imbasnya, meskipun institusi gereja tetap ada di Eropa, urusan agama menjadi sangat personal. Di Indonesia, orang menasehati temannya agar bertobat dan rajin shalat masih banyak dijumpai. Di Eropa, fenomena ini hampir mustahil ditemukan karena agama adalah ranah private dan ikut campur dalam urusan personal orang lain adalah sebuah dosa budaya di Eropa. Lalu, bagaimana negara Eropa peserta Piala Dunia 2022 merespon lokalitas Qatar yang sangat Islamis? Apakah mereka bersedia kebebasannya diintervensi oleh syariat agama lain?
Sebuah Kompromi Budaya
Piala Dunia 2022 di Qatar dijadwalkan berlangsung dari 20 November hingga 18 Desember mendatang. Dalam 28 hari tersebut, para pemain Timnas negara Eropa akan “dipaksa” tunduk kepada regulasi Islam di Qatar. Meski demikian, alih-alih Qatar menjadi tuan rumah yang akomodatif, justru negara-negara Eropa yang nampak adaptif dengan tradisi budaya Islam di Qatar.
Federasi Sepak Bola Inggris (FA), misalnya, mensosialisasikan kepada para anggota Tim Nasional Inggris untuk tetap menghormati dan menghargai tradisi lokal, kebiasaan, hukum, dan ajaran agama di Qatar. Dilansir dari Daily Mail, Timnas Inggris akan mendapatkan pengetahuan terkini tentang budaya Qatar yang kental dengan Islam. Agenda Pemerintah Inggris itu bertujuan agar para punggawa Timnas Inggris tetap menghormati adat dan tata krama orang Qatar sehingga tidak ada hal-hal yang menyinggung.
Terkait LGBTQ, beberapa politisi besar di Eropa juga menegaskan kepada para suporter atau pemain LGBTQ untuk tetap bersikap baik dan menghargai peraturan Qatar yang mengharamkan LGBTQ. Menteri Luar Negeri, Persemakmuran, dan Pembangunan Britania Raya, James Cleverley, dalam BBC News, mengatakan bahwa fans bola LGBTQ dari Inggris dan Wales hendaknya bersikap fleksibel dan kompromi terhadap regulasi di Qatar. Hal itu merupakan bentuk manifestasi dari penghormatan kepada negara penyelenggara piala dunia.
Kompromi ini tidak hanya muncul dari Barat, Qatar pun rupanya melakukan sekian perombakan kebijakan, terutama terkait alkohol. Seperti yang dilansir oleh BBC Sport, penyelenggara dan stakeholder piala dunia telah mengkonfirmasi bahwa fans boleh mengkonsumsi alkohol di dalam stadiun, namun tetap dalam batasan tertentu.
Pengelola Piala Dunia Qatar telah mengkonfirmasi bahwa alkohol akan disajikan di area tertentu di dalam stadion, mulai tiga jam sebelum kick-off dan satu jam setelah peluit akhir, tetapi tidak selama pertandingan, dan di zona penggemar resmi FIFA dari pukul 18:30 hingga 01:00 waktu setempat.
Regulasi ini menunjukkan bahwa fleksibilitas itu datang dari kedua belah pihak. Eropa, dalam konteks ini, memiliki kepentingan untuk menjaga reputasi timnas mereka di piala dunia. Sebagai turnamen paling akbar se-jagad semesta, negara-negara Eropa seperti “terpaksa” adaptif terhadap kultur Qatar daripada harus menanggalkan pride mereka sebagai peserta piala dunia.
Dalam konteks ekonomi, Qatar menyadari bahwa market event piala dunia sangat signifikan. Sebagai upaya untuk mempersuasi pasar, tidak ada yang bisa dilakukan kecuali melenturkan regulasi. Jika tidak, Budweiser, merk alkohol yang menjadi salah satu sponsor piala dunia menjadi kesulitan memasarkan produknya, dan itu akan berpengaruh terhadap performa Qatar sebagai host piala dunia itu sendiri.
Qatar menjadi tuan rumah untuk lebih dari satu juta penggemar sepak bola dan 32 negara peserta dari seluruh dunia. Qatar menjadi anomali bagi negara-negara Timur Tengah lainnya karena bersikap lebih akomodatif terhadap kebudayaan Barat. Di luar kepentingan piala dunia, Qatar sudah menjadi episentrum proyek-proyek besar dunia dan sudah terbiasa berinteraksi dengan negara-negara Barat.
Jika sepak bola mampu mendamaikan dua kubu yang bersengketa lewat kisah Drogba, maka sepak bola harusnya juga mampu menjadi jembatan antara dua peradaban yang berseberangan. Piala Dunia 2022 menjadi momen menarik untuk melihat bagaimana Qatar berupaya menjadi tuan rumah yang baik dengan tetap mempertahankan national identity-nya sebagai negara Islam sembari menjaga filosofi sepak bola sebagai olahraga yang tidak mengenal agama.
Seperti biasa, saya pegang Brasil di Piala Dunia 2022, kalian dukung mana?