Selama ini “dunia Islam” terlalu sering diasosiasikan, jika tidak bisa dianggap selalu, sebagai Timur Tengah. Hanya itu. Memang benar bahwa Islam bermula di Jazirah Arab dan menjadi kerajaan terbesar di wilayah itu. Namun, dengan mengidentikannya hanya pada wilayah itu, beberapa kisah berharga tentang Islam di belahan dunia yang lain pun terabaikan.
Di tempat-tempat terjauh yang terjangkau Islam-lah, seperti sub-Sahara Afrika, Tiongkok, dan Asia Tenggara, hubungan antar-Islam di dunia dapat terlihat kompeksitasnya.
Setelah Islam mapan pada 600-an dan 700-an di wilayah yang membentang dari Spanyol hingga India, berbagai budaya di luar kerajaan-kerajaan Islam secara perlahan mengadopsi Islam dan akhirnya menjadi wilayah berpenduduk mayoritas Islam, contohnya Afrika Timur dan Barat, Asia Tengah, serta Asia Tenggara. Dalam waktu yang relatif sama, Islam juga menyebar ke Tiongkok. Akan tetapi, tidak seperti di Andalusia atau di Afrika Utara, Tiongkok tak pernah sepenuhnya menerima Islam. Komunitas Muslim tetap menjadi minoritas.
Asal mula Islam di Tiongkok dapat ditelusuri sejak masa Khalifah Utsman bin Affan. Dia mengirim Sa’ad bin Abi Waqqas, sahabat yang masuk Islam sejak awal, sebagai diplomat ke Dinasti Tang sekitar 650 M, enam tahun sebelum masa pemerintahan Utsman berakhir. Dalam rekam historis, Islam mampu mencapai Timur Jauh hanya beberapa decade setelah Nabi Muhammad SAW mengajarkan Islam pada 600-an. Namun, baru pada 700-an Tiongkok baru merasakan kehadiran Islam secara konkret.
Pada 750-an, tentara Islam diundang oleh pemerintah Tang untuk “mengabdi” di kemiliteran Negeri Tirai Bambu. Tidak semuanya, beberapa prajurit Islam pergi ke sana dan bergabung dalam struktur militer dan birokrasi pemerintahan Tiongkok. Mereka hidup “membudaya” di Tiongkok. Menikahi perempuan Tiongkok dan menetap di sejumlah kota. Mereka mendapatkan pekerjaan dan hidup sejahtera di tengah masyarakat Tiongkok. Karakter Muslim yang adaptif memungkinkan mereka untuk mengisi setiap lini politik, ekonomi, dan sosial di Tiongkok.
Para pendatang Muslim didorong untuk menikahi perempuan setempat dan menetap di sejumlah kota. Umumnya, mereka mendapat pekerjaan dan hidup sejatera di tengah masyarakat Tiongkok. Pada akhirnya, apsek pemerintahan dan militer itu menjadi dua domain yang paling banyak diisi oleh Muslim pendatang.
Meskipun tidak sedikit Muslim yang duduk di kursi tertinggi pemerintahan, penghalang antara Muslim Tiongkok dengan masyarakat pribumi masih kentara. Agama Timur yang populer di sana adalah Buddha dan Konfusius (Kong Hu Chu). Kedua agama tersebut tampil sebagai ajaran spiritual yang kontras dari tradisi Islam. Mudahnya begini, jika Muslim di wilayah Kristen daerah Barat dapat saling terhubung melalui kisah Ibrahim, Musa dan Isa, maka tak ada relasi historis yang megah semacam itu bagi Muslim di Tiongkok.
Dengan demikian, meski sebagian umat Muslim memegang strategis, mereka merasa terisolasi di tengah kota Tiongkok dari masyarakat umum pribumi. Mereka membentuk semacam komunitas kecil di tengah kota yang justru menjadi wadah untuk mempertahankan identitas dan peribadatannya meskipun terpisah ribuan kilometer dari wilayah Islam lainnya.
Akan tetapi, isolasi ini berakhir saat penaklukan Mongol pada abad ke-13 atas dunia Islam di Timur Tengah. Kekaisaran Mongol yang mencakup daerah Asia Tengah dan Persia beserta Tiongkok itu menghancurkan berbagai kota dan wilayah di Timur Tengah hingga menyebabkan perpindahan penduduk secara masif, termasuk migrasi massal umat Muslim ke Tiongkok. Pelarian itu membuat jumlah penduduk Muslim di sana naik dengan pesat. Pada satu sisi, agresi Mongol ke Baghdad benar-benar menjadi awal kehancuran peradaban Islam. Namun di sisi lain, kerusuhan itu justru membuka portal antara dunia Islam dengan Tiongkok. Agresi itu membuka jalan baru antar dua wilayah tersebut.
Bersama dengan pesatnya perkembangan Muslim di Tiongkok, Mongol menciptakan kebijakan penting bagi kelangsungan Muslim di Tiongkok, yaitu mengasimilasikan Muslim dalam budaya Tiongkok. Mirip-mirip dengan kebijakan Orde Baru yang mewajibkan asimilasi para imigran Tiongkok di Indonesia, kebijakan Mongol meniscayakan komunitas Muslim untuk keluar dari zona “isolasi” dan mulai melebur dengan realitas budaya sosial politik pribumi.
Hingga periode kekuasaan Dinasti Ming (1368-1644 M), Muslim Tiongkok benar-benar terasimiliasi dalam budaya lokal. Mereka tidak lagi dianggap sebagai orang asing, tetapi warga negara Tiongkok yang memilik identitas sendiri. Mereka mengadopsi adat, bahkan nama Tionghoa, dengan tetap meneruskan tradisi mengabdi pada pemerintahan kerajaan sebagai pejabat public dan pemimpin militer.
Gerak asimilasi yang berlangsung lintas generasi ini kemudian melahirkan salah satu tokoh Muslim terkemuka hingga saat ini bernama Zheng-He, populer sebagai Laksamana Cheng Ho (1371-1433 M), seorang penjelajah besar dunia. Ia adalah seorang Hui (Muslim Tiongkok) dari wilayah Yunnan selatan. Cheng Ho dekat dan menjadi sosok kesayangan Dinasti Ming dan ditugasi memimpin armada kapal harta karun.
Sang Laksamana memimpin ratusan kapal yang sebagian besar bisa sekaligus mengangkut ketiga kapal Colombus. Ia bertanggungjawab untuk berdagang ke tempat-tempat yang jauh dan menjelang hubungan diplomatik dengan tempat tersebut. Pelayaran Cheng Ho mencapai puluhan negara di seluruh Asia, Timur Tengah, dan Afrika. Cheng Ho mendapat puncak popularitasnya di Asia Tenggara. Ia dianggap sebagai tokoh yang membantu penyebaran Islam di kepulauan Melayu. Buktinya, masjid-masjid di wilayah itu diberi nama Cheng Ho. Ada juga masjid yang menisbatkan namanya pada tokoh serupa di Palembang, Masjid Cheng Ho Sriwijaya.
Cheng Ho menjadi sosok yang mampu menjadikan dirinya terhormat, baik di kalangan Muslim maupun masyarakat Tionghoa. Cheng Ho merupakan representasi Muslim di Tiongkok. Ia seorang Tionghoa asli, tetapi juga seorang Muslim yang taat. Sosok Cheng Ho menjadi bukti bahwa tidak ada kontradiksi di antara kedua identitas tersebut, Islam dan Tionghoa.