Islam Arab dan Islam Nusantara

Islam Arab dan Islam Nusantara

Pendefinisian “Islam Nusantara” dengan cara menegasikan “Islam Arab” berkontribusi pada stereotyping etnis tertentu dan xenophobia.

Islam Arab dan Islam Nusantara

Dalam diskursus tentang Islam di Indonesia, seringkali muncul upaya mendefinisikan identitas Islam Nusantara sebagai lawan dari “Islam Arab”, bahwa Islam Nusantara adalah antithesis dari citra Islam yang tampil di dunia Arab. Islam Nusantara adalah Islam yang telah mengalami “pribumisasi” atau nativization sehingga sesuai dengan kepribadian dan jati diri bangsa Indonesia. Karakter yang sering disematkan kepada Islam Nusantara adalah ramah, anti kekerasan, toleran, menghargai tradisi, dan menghargai kebangsaan (Akhmad Sahal dan Munawir Aziz [eds.] 2015).

Kebalikan dari Islam Nusantara, Islam Arab sering diasosiasikan dengan beberapa sifat negatif seperti kekerasan, diskriminasi dan pelecehan terhadap perempuan, tidak menghargai tradisi dan warisan sejarah yang digambarkan dengan penghancuran heritage dari Makkah dan Madinah, serta cenderung menolak inovasi dalam pemikiran keagamaan. Pandangan ini sering didukung dengan kabar tentang perlakukan terhadap TKI (Tenaga Kerja Indonesia), larangan bagi perempuan untuk menyopir, wisata Arab di Puncak, pembangunan Makkah yang mirip Las Vegas, dan tak kunjung usainya perang dan konflik di Timur Tengah. Karena itulah, seringkali didengar penegasan bahwa Islam Indonesia bukanlah Islam Arab. Bahkan, ada juga yang bersikap ekstrem dengan mengekspresikan ketidaksukaan terhadap simbol atau apapun yang berkaitan dengan identitas Arab yang ada di masyarakat.

Problem yang terkait dengan citra buruk Islam Arab itu akan kita singgung nanti, namun inti dari tulisan ini adalah ingin membahas pertanyaan tentang mengapa sebagian orang terlihat begitu antipati terhadap budaya Arab yang ditampilkan di masyarakat? Mengapa pertentangan identitas etnik antara “Islam Pribumi” dan “Islam Asing” sering mengemuka belakangan ini?

Penguatan Identitas
Dalam tulisannya yang berjudul “Religious Freedom, the Minority Question, and Geopolitics in the Middle East” (2012) Saba Mahmood, diantaranya, mencoba melihat tentang adanya penguatan identitas dan dampaknya terhadap pertentangan antara “agama pribumi” dan “agama asing” di Mesir. Mahmood menyebutkan bahwa saat ini sebagian orang meragukan identitas dan loyalitas orang Mesir yang memeluk agama Islam. Apakah mereka tetap menjadi orang Mesir yang berakar kuat pada budaya bangsa itu atau telah berubah menjadi orang Arab?

Menjadi Muslim itu pada sebagian orang ternyata tak sekadar perpindahan agama, tapi juga pergantian kultur; mengadopsi budaya Arab, berbahasa Arab, dan berperilaku seperti orang Arab. Bahwa orang Mesir yang menjadi Muslim itu bukan hanya berubah identitas keagamaannya, tapi juga identitas kulturalnya; mereka telah berubah menjadi orang Arab. Karenanya, beberapa orang Qoptik mengklaim bahwa hanya mereka sajalah yang betul-betul menjaga dan memelihara identitas dan kebudayaan Mesir.

Hal yang hampir sama terjadi di Indonesia meski dalam konteks dan relasi yang berbeda. Pertentangan identitas yang berkaitan dengan Arab itu berada pada dua level, yaitu: Pertama, antara folk atau indigenous religions vs. foreign religions (agama leluhur atau pribumi vs. agama asing). Kedua, antara “Islam pribumi vs. Islam asing” atau, jika ditarik pada garis ekstrim, antara “Islam Nusantara vs. Islam Arab”.

Pada poin pertama, pertentangan itu terjadi karena agama-agama yang dominan di Indonesia itu ternyata semuanya adalah agama asing. Enam agama yang “diakui” di Indonesia itu bahkan kadang dianggap sebagai agama “penjajah” (invaders) yang kehadirannya telah menggusur beragam agama lokal atau agama leluhur. Bersamaan dengan pengukuhan mereka sebagai agama “resmi” atau “diakui”, berbagai agama lokal itu lantas hanya dianggap sebagai kepercayaan, bukan agama. Mereka tidak dianggap layak atau memenuhi syarat untuk disebut agama yang diberi definisi mengikuti kriteria agama yang dominan.

Pada poin kedua, dalam konteks Islam saja, terdapat perdebatan tentang implementasi ajaran-ajaran Islam dalam konteks keindonesiaan, tentang universalisme ajaran Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam, tentang dakwah kultural dan pribumisasi, dan lain-lain. Jika dibawa ke hal kongkrit, maka pertanyaanya, misalnya, adalah, “Apakah jilbab merupakan budaya Arab atau ajaran Islam? Apakah jenggot, khitan perempuan, dan baju putih itu merupakan sesuatu yang kultural saja?” Pendeknya, apakah dalam berislam itu kita harus juga mengadopsi budaya Arab atau kita bisa memodifikasinya sesuai dengan kultur dan identitas Indonesia dan menamainya “Islam Nusantara”? Poin kedua ini menjadi isu panas ketika masyarakat sibuk berdebat tentang definisi, metodologi, dan kriteria tentang Islam Nusantara.

Akulturasi dan Segregasi
Kedatangan orang Arab di Indonesia telah terjadi sejak lama. Hubungan mereka dengan pribumi Nusantara juga tidak bisa dikatakan monolitik. Selain itu, ada beragam proses akulturasi budaya yang dilakukan oleh orang Arab ketika tiba di Indonesia. Konon, di beberapa tempat di NTB (Nusa Tenggara Barat), orang-orang Arab tidak mengajarkan Bahasa Arab kepada anak-anaknya agar mereka cepat beradaptasi dan menyatu dengan masyarakat setempat (Chaider S. Bamualim 2016).

Bahkan, seperti ditulis oleh Michael Feener dalam “Hibridity and the ‘Hadhrami Diaspora’ in the Indian Ocean Muslim Networks” (2004), tokoh-tokoh semisal Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Yusuf al-Makassary, Abdul Rauf al-Singkeli, adalah beberapa contoh nama dari keturunan Arab yang lebih dikenali dengan identitasnya sebagai orang Indonesia daripada sebagai keturunan Arab, baik di dalam negeri maupun dalam konteks internasional. “Ethnicity… was not a primary factor in the construction of one’s identity for these individuals” (Etnisitas… bukanlah faktor utama dalam pembentukan identitas bagi individu-individu ini).

Menurut kajian Feener, identitas Arab itu baru menguat karena politik Belanda dan dilanjutkan oleh orang-orang Arab sendiri pada awal abad ke-20 ketika merasakan bahwa penguatan identitas itu diperlukan, diantaranya dalam konteks perjuangan kemerdekaan dan pembaruan pemikiran keagamaan. Belakangan ini, identitas etnis itu kembali menguat seiring dengan globalisasi dan marjinalisasi.

Saya sepakat dengan tulisan Mohamad Shohibuddin / Shohib Sifatar (Koran Sindo, 24 Januari 2017) bahwa masyarakat sering terjebak dalam memahami Islam Nusantara, yaitu, “sebagai ekspresi sosio-keagamaan dari kelompok tertentu di Indonesia, dalam hal ini Nahdlatul Ulama” dan bahwa “Islam Nusantara ‘mahjubun bin Nahdliyyin’, yakni dikaburkan oleh kalangan NU sendiri”. Lebih parah lagi, banyak tokoh yang sering memperhadapkan Islam Nusantara dengan Islam Arab sebagai cara mendefinisikan dirinya. Ini tentu bisa memperkuat identitas Islam Nusantara, namun melalui jalur yang negatif. Inilah diantaranya yang juga berkontribusi terhadap terciptanya kebencian terhadap Islam Arab.

Tuduhan terhadap Islam Arab sebagai sumber kekerasan ini sangat mungkin tidak diterima oleh orang Arab atau keturunan Arab di Indonesia. Ini adalah bagian dari stereotyping. Kajian lebih detail tentang ini sedang dilakukan oleh Ermin Sinanovic dari IIIT (International Institute of Islamic Thought) Virginia. Namun, secara ringkas, kutipan dari Azhar Irfansyah dan Muhammad Azka Fahriza (2017, 45) cukup mewakili, “Ada banyak prasangka-prasangka tidak sehat yang dilancarkan terhadap gerakan Islamis. Salah satu yang paling sering dikemukakan di media sosial adalah bahwa gerakan ini tidak pas dengan ekosistem nusantara dan harus diasingkan ke Timur Tengah. Ini pandangan yang sama keblingernya dengan kelompok rasis ultra-kanan Golden Dawn di Yunani, yang menganggap semua kekerasan berasal dari Arab dan harus dikembalikan ke Arab”.
Beruntung, kedatangan Raja Salman membantu mentralisir stereotype negatif tersebut dan bahkan berfungsi melawan citra negatif Arab. Sikap masyarakat terhadap kedatangan Raja Salman dan rombongannya berbeda dari pandangan dan sikap yang seringkali muncul berkaitan dengan Arab. Kunjungan ini menjadi topik utama berita nasional dan umumnya terlihat positif. Pembicaraan bergerak dari persoalan investasi, kerjasama, Wahabisasi, TKI di Saudi Arabia, wisata Arab di Puncak, Arab ori vs. Arab kw, pertemuan dengan Ahok, wisata ke Bali, mobil dan barang perbekalan yang dibawa, tentang Raja Salman sendiri serta keluarganya, dan berbagai topik lain. Beberapa media bahkan menggunakan kunjungan Raja Salman ini untuk menyindir beberapa orang keturunan Arab yang sering dicitrakan dengan kekerasan dan belakangan ingin membakar populisme Islam untuk melawan negara. Maka tema-tema yang diangkat oleh media tersebut dari kunjungan Raja Salman adalah penguatan Islam moderat dan penentangan terhadap terorisme.

Terakhir, perbedaan antara saya dan Shohibuddin dalam konteks Islam Nusantara adalah pada pemahaman tentang makna exceptional Islam. Shohibuddin mendefisikannya sebagai “identik dengan Nahdlatul Ulama (NU)”, maka saya memahaminya sebagai sesuatu yang menjadi sumber pride dan kepercayaan diri. Sebagai exceptional Islam, Islam Nusantara adalah Islam yang unik; bisa beradaptasi secara kultural tanpa kehilangan substansinya sama sekali.[]

*) Ahmad Najib Burhani, Peneliti Senior di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).

*) Artikel ini pertama kali dimuat di Koran Sindo edisi 10 Maret 2017

https://nasional.sindonews.com/read/1186907/18/islam-arab-dan-islam-nusantara-1489068298