Setelah lebih dari 60 tahun mati, Partai Masyumi (PM) lahir kembali. Entah apa yang sebenarnya diinginkan oleh pendiri dan pendukungnya kala menghadirkan kembali partai yang telah bubar sejak lama 1960 itu. Tapi, semangat mengarusutamakan Islam dalam politik Indonesia disebut-sebut sebagai cita-cita mereka. Pertanyaannya, jika memang begitu, apa dampaknya terhadap Islam di Indonesia?
Pertanyaan di atas adalah sumber perdebatan akhir-akhir ini, terutama antara kelompok moderat dan fundamentalis di Indonesia. Jika kita menelisik kondisi Islam di Indonesia yang diklaim sebagai negara yang seluruh warganya dapat menjalankan ajaran agamanya dengan merdeka di bawah perlindungan negara, maka pengarusutamaan narasi Islam politik yang digunakan untuk pendirian partai justru dipertanyakan. Apakah mampu menghadirkan keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia?
Melihat kondisi akhir-akhir ini, saya ragu ketika melihat kelompok yang mengedepankan Islam Politik sebagai elemen penting dalam gerakannya, seperti Masyumi Reborn, hadir dalam bingkai partai politik. Terlebih, jika saya menengok kembali dari apa yang dikemukakan oleh Benedict Anderson bahwa Indonesia adalah sebuah proyek bersama seluruh elemen bangsa, maka sulit rasanya berharap mereka mampu memenuhi proyek tersebut.
Glorifikasi Islam memang sengaja dikedepankan oleh beberapa pihak, terutama kalangan fundametalis, sebagai sebuah jalan keluar seluruh persoalan bangsa ini. Menariknya, kelompok ini sedang laku di masyarakat seiring politik identitas yang memang sedang mengalami gelombang pasang. Banyak peneliti menyebutkan kondisi tersebut sebagai akibat dari pasca Reformasi, yang menghadirkan ruang besar untuk bersuara kepada berbagai kelompok yang selama ini dibungkam oleh penguasa otoriter.
Namun, apakah narasi glorifikasi Islam yang dibingkai dalam sebuah partai dapat laku di masa sekarang? Terlepas dari jawaban pertanyaan ini, sebagian besar partai Islam di Indonesia menganggap Masyumi Reborn masih sulit mendapatkan dukungan masyarakat, atau bertarung dalam perebutan suara di kancah politik.
Alasan para aktivis partai Islam mereka adalah loyalitas pendukung, perbedaan ideologi partai, hingga bergabungnya mantan anggota mereka karena perbedaan pandangan dengan pimpinan partai. Jadi, partai Masyumi Reborn masih memiliki pekerjaan rumah meraup dukungan dan membuat struktur pengurus hingga ke tingkat ranting.
Menjawab tantangan tersebut tentu dibebankan kepada pengurus dan pendiri untuk membuat partai tersebut bisa merebut suara, dan membalikan prediksi pengamat politik dan anggapan pengurus partai Islam lainnya, bukanlah sesuatu yang mudah. Jika Masyumi Reborn benar-benar menggunakan narasi glorifikasi Islam yang reaksioner, tentu mereka harus mempertimbangkan dampaknya secara matang.
Sebab, jika gagal maka kehadiran Masyumi Reborn hanya sekedar emosi sesaat belaka dengan tambahan bumbu agama. Bahaya tau! Lihat saja betapa segregasi politik yang berimbas kemana-mana tanpa ada yang tahu bagaimana menyembuhkannya atau menghentikannya, malah kebanyakan menikmati dan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Kembali ke soal glorifikasi Islam politik, jika ikatan keimanan dan keislaman yang ditawarkan kembali dalam kehadiran partai yang sebelumnya dihapuskan ini, maka menguatnya politik identitas adalah dampak yang wajib dipertimbangkan oleh pengurus dan pendiri. Sebab, kita tahu dan telah rasakan bersama bahwa intrik politik seperti ini cukup mengoyak dan membelah masyarakat dalam beberapa tahun terakhir ini. Dan kita belum sembuh dan masih merasakan dampaknya hingga sekarang. Sebuah kenaifan jika memanfaatkannya alat meraup suara elektoral.
***
Politik identitas dan agama memiliki sejarah panjang dalam perpolitikan Indonesia. Sejak pra-kemerdekaan, relasi narasi Islam politik dengan berbagai ideologi lain, seperti nasionalis dan komunis, telah terjalin lama. Mereka berkompromi, bertarung dan bernegosiasi dalam linimasa bangsa ini, sehingga hubungannya pun mengalami pasang surut.
Pertarungan tersebut kemudian lebih didamaikan lewat kehadiran Pancasila. Ideologi yang dihadirkan elemen bangasa ini sebagai “jalan tengah” bagi pertarungan politik ini, memang sempat dijadikan sebagai alat opressi oleh rezim otoriter orde baru. Sebagai alat untuk memisahkan Islam dan politik, sebagaimana telah dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di masa Snouck Hongronje, Orde Baru melakukan hal yang sama sejak awal kekuasaannya hingga masa mendekati keruntuhannya.
Beberapa tahun terakhir, politik identitas kembali mengemuka dan mengalami gelombang pasang di masyarakat. Keterlibatan beberapa nama publik figur agama dan politik, termasuk mereka yang sebelumnya aktif dalam pro-demokrasi, dalam kebangkitan politik identitas tersebut justru menyisakan pertanyaan, apakah ini hanya murni cita-cita membangkitkan Islam di indonesia atau hanya sekedar reaksi sesaat dibumbui narasi agama?
Jika kita tilik beberapa pendapat para pendiri partai Masyumi Reborn, membangkitkan Islam di Indonesia dengan menggunakan romantisme perdebatan ideologi di masa lalu adalah alasan paling rasional yang mereka ambil sebagai narasi utama perjuangan partai. Maka, perdebatan tentang posisi Islam-Negara kembali diketengahkan.
baca juga: Masyumi Didirikan Lagi
Di kondisi politik identitas yang sedang menjadi arus utama, tentu menghadirkan glorifikasi Islam politik adalah pilihan yang cerdas jika diukur hanyalah kalkulasi suara. Namun, saya melihat narasi tersebut hanya bentuk reaksioner ketimbang jadi ideologi partai. Jadi, alangkah cerobohnya para pengurus dan pendiri jika hanya menjual romantisme dan narasi reaksioner, seperti Islam politik.
Beberapa tahun ini, tak jauh berbeda dengan masa lalu, Islam politik kembali dihadap-hadapkan dengan kelompok nasionalis. Momentum ini dapat dimanfaatkan meraup dukungan seluas-luasnya oleh para pendiri dan pengurus. Apalagi jika melihat potensi tersebut di kalangan pemilih potensial, yakni anak muda.
***
Dalam sejarah Indonesia, Bung Hatta pernah berinisiatif mendirikan partai politik pasca turun dari jabatannya sebagai wakil Presiden. Partai tersebut awalnya mau dia beri nama Partai Demokrasi Islam Indonesia. Dengan memanfaatkan semangat anak muda, Bung Hatta kerap mengadakan pertemuan dengan para pemuda dari organisasi Islam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pelajar Islam Indonesia (PII), Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia, dan Nahdlatul Ulama. Dari sekian hal yang dirundingkan, tercetus ide mendirikan partai politik Islam.
Sayangnya, embrio dari usaha Bung Hatta tersebut gagal berbuah menjadi sebuah partai politik karena ditolak oleh Pemerintah Orde Baru. Keinginan Bung Hatta bersama anak muda Muslim mendirikan partai politik harus musnah.
Menilik inisiatif Bung Hatta yang sudah menjadi generasi old di masa itu, masih mau menjalin hubungan dengan anak-anak muda berbagai organisasi kepemudaan adalah sebuah langkah kreatif. Sayangnya, langkah yang sama tidak kita lihat dalam pendirian Masyumi Reborn, kecuali keinginan mereka menjual narasi Islam politik untuk meraup dukungan dari luapan reaksioner anak-anak muda, yang dibakar lewat berbagai narasi berbau pemecahbelah kesatuan bangsa.
Bicara relasi antara anak muda dan narasi Islam politik, maka takkan bisa lepas dari kelindan dengan persoalan radikalisme di generasi milenial dan Z. Laporan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2016 lalu menyebutkan bahwa anak muda lebih rentan terpapar ekstrimisme lewat jalur kegiatan ekstra-kulikuler di kampus. Jika kelompok anak muda yang sudah terpapar radikalisme ini kemudian didedahkan dengan narasi Islam politik yang tertutup, sulit rasanya membayangkan dinamika perpolitikan kita akan sehat dan mencerdaskan bagi bangsa.
Laporan tersebut tentu seharusnya menyadarkan kita semua bahwa menjajakan ideologi Islam politik yang tertutup atau ekstrim makin semakin menambah runyam dunia perpolitikan dan dinamika keagamaan kita. Alangkah, bijak jika pendirian Masyumi dimulai dengan narasi-narasi Islam yang moderat dan sejuk…Semoga
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin