Analisis Riset, Pilkada Kita Bukan Ruang Aman Bagi Mereka yang Berbeda

Analisis Riset, Pilkada Kita Bukan Ruang Aman Bagi Mereka yang Berbeda

Analisis Riset, Pilkada Kita Bukan Ruang Aman Bagi Mereka yang Berbeda

Benarkah kita sudah benar-benar berdemokrasi di perhelatan pemilihan kepala daerah kemarin? Sepertinya belum. Lihat saja linimasa media sosial kita disesaki beragam hal negatif menyasar pada beragam perbedaan yang melekat di diri mereka yang berlaga di Pilkada kemarin.

Pilkada adalah bagian penting dalam sistem demokrasi. Partisipasi masyarakat di berbagai proses Pilkada seharusnya menjunjung tinggi hak-hak demokratis masyarakat, serta membangun kepercayaan publik atas kehadiran Negara. Untuk itu, keterlibatan masyarakat harus bernilai positif, seperti menggunakan hak suara dan membantu menyebarkan informasi yang benar dan akurat terkait pemilu.

Di sisi lain, Piklada adalah momentum lima tahunan, di mana ribuan pasangan calon saling adu visi misi dan strategi agar keluar menjadi pemenang, dan akan dilantik menjadi kepala daerah beberapa hari lagi. Segala manuver-manuver kala kampanye hingga pemungutan suara pun dilakukan untuk menarik calon pemilih.

Rasanya tidak paslon mau kalah. Para pendukung masing-masing kubu saling mengglorifikasi paslon pilihannya masing-masing. Saling serang di media sosial pun tak terhindarkan. Banyak dari serangan kepada lawan politik atau calon yang tak disokong bermuatan kebencian dan berita bohong.

***

Itulah cuplikan wajah Pilkada kita kemarin. Paling tidak dari hasil pemantauan Gardu Pemilu GUSDURian di tiga provinsi, yakni Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan, mendapati 101 temuan kasus dengan rincian 60 kasus ujaran kebencian dan 41 kasus penyebaran berita hoax. Untuk Kalimantan Selatan saja 16 kasus hoax dan 18 kasus ujaran kebencian.

Pada pilkada 2024, Gardu pemilu diselenggarakan di tiga kota, yaitu Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur. Gardu GUSDURian melakukan pemantauan secara online di tiga platform media sosial (Tiktok, instagram, dan facebook).

Adapun alasan Gardu melakukan pemantauan, selain amanat Rapat Kerja,  diantaranya untuk mendeteksi perpecahan dan mengganggu keamanan pilkada lewat isu-isu yang beredar di media sosial. Untuk regional Kalimantan Selatan, pemantauan pilkada berfokus pada pilgub Kalimantan Selatan, pilwali Banjarmasin dan Banjarbaru.

Selain itu, pemantauan ini hanya dilakukan beberapa hari sebelum kampanye berakhir dan pemungutan suara dimulai. Dengan kata lain, Gardu GUSDURian ingin memotret bagaimana linimasa media sosial kala eskalasi Pilkada kemarin. Sebab, diantara fungsi Gardu Pemilu adalah pemantauan pemilu di tingkat nasional dan daerah, serta konsolidasi masyarakat sipil untuk mengawal pemilu jujur, adil, damai, dan bermartabat.

Sangat disayangkan, pemantauan Gardu GUSDURian mendapati konten maupun komentar di berbagai platform media sosial banyak mengandung unsur SARA, dengan menggunakan narasi agama dan suku, serta berita hoax yang tidak bisa dipastikan sumber dan kebenarannya. Selain itu, komentar yang mendiskreditkan perempuan juga banyak ditemui di berbagai konten yang ada.

Hasil pemantauan ini disampaikan secara terbuka pada 9 Januari 2025 lalu, melalui diskusi publik yang diadakan di Gereja Katolik Paroki Hati Yesus yang Maha Kudus,  turut serta mengundang komunitas dan organisasi masyarakat sipil yang ada di Banjarmasin.

Beberapa hasil temuan yang dipaparkan kemarin memiliki perbedaan secara konteks berdasarkan situasi di tiap-tiap daerah. Namun, sebagian besar temuan merupakan serangan atau mengeksploitasi segala sisi perbedaan yang melekat pada calon, seperti gender, suku, ras, hingga identitas asal daerah.

Wartono lain warga kalsel, mari kita pilih asli warga kalsel” merupakan salah satu komentar dari akun tiktok @koli*****. Imbauan ini sebenarnya juga beririsan dengan jargon yang didedahkan paslon lain di wilayah Martapura yakni “Asli Urang Banjar.”

Selain itu, irisan SARA ini juga pernah terjadi di beberapa Pilkada terdahulu dengan  jargon “asli orang banua.” Hal ini dilakukan jelas untuk menarik simpatisan atau calon pemilih. Himbauan dan penggunaan jargon seperti ini sangatlah disayangkan, karena menimbulkan kekhawatiran terjadi perpecahan di tengah masyarakat dengan mengedepankan perbedaan suku.

“Isu suku membawa kekhawatiran tidak hanya bagi paslon yang mendapat ujaran kebencian tersebut tetapi juga bagi masyarakat dengan suku yang berbeda yang tinggal di Kalimantan Selatan”, ujar Dr. Zainal Fikri, M. Ag sebagai salah satu pemantik pada diskusi publik “Refleksi Pilkada 2024, 2025 Kita Bisa Apa?”.

Slogan maupun himbauan yang mengeksploitasi identitas kesukuan, tentu sangat mengkhawatirkan. Terlebih, jika kita mengingat Kalimantan Selatan dihuni oleh suku yang beragam.

Sangat disayangkan sekali ketika isu perdamaian dan toleransi berusaha dibangun oleh kelompok-kelompok akar rumput yang peduli, tetapi pada momentum pilkada narasi yang berpotensi mengarah pada perpecahan justru digaungkan dan dilanggengkan oleh beberapa paslon.

Selain suku, dalih atau narasi agama juga banyak digunakan sebagai alat untuk saling serang di media sosial. Saling membanggakan pilihan masing-masing tentu boleh saja, tetapi tentu tidak dengan cara menjatuhkan. “Jar guru ulun pemimpin kada bulih binian” komentar dari akun tiktok @anakny******, tulis salah seorang netizen di kolom komentar  yang menampilkan video debat calon gubernur Kalimantan Selatan.

Para calon perempuan adalah pihak paling dirugikan. Sentimen agama banyak digunakan untuk menyerang kandidat perempuan, jika tidak ada calon yang berasal dari agama minoritas.

Meskipun begitu, terdapat temuan menarik yang dialami tiga kandidat perempuan yang berlaga di Pilkada kemarin di wilayah Kalimantan Selatan, yakni calon wakil walikota Banjarmasin (Hj. Ananda), calon Walikota Banjarbaru (Lisa Halaby) serta kandidat Gubernur Kalsel, Raudhatul Jannah atau akrab dikenal sebagai Acil Odah. Ketiganya menerima diskriminasi berbasis gender, namun dalam intensitas yang berbeda.

Lisa Halaby dan Acil Odah paling banyak mendapatkan diskriminasi tersebut, ketimbang Hj. Ananda. “Semakin banyak identitas yang dibawa oleh seseorang, maka kerentanannya juga semakin tinggi”, kata Dr. Zainal Fikri, M. Ag. Afiliasi dan relasi kedua calon menjadi bahan bakar serangan warganet kepada calon-calon perempuan.

Jika kita melihat latar belakang paslon, Acil Odah merupakan istri dari gubernur Kalimantan Selatan sebelumnya yang merupakan terduga tindak pidana korupsi. Sedangkan, Lisa Halaby adalah calon walikota yang mendapat dukungan dari pengusaha tambang Syamsudin Andi Arsyad atau Haji Isam, seperti yang diberitakan oleh Radar Banjarmasin.

“Selama ini, perempuan itu dilihat dari laki-laki di sekelilingnya. Siapa suaminya atau siapa bapaknya”, ujar Salma Safitri AR.SH, selaku pemantik diskusi. Menurut Salma selama ini di masyarakat perempuan tidak dilihat dari kompetensinya. Sebagaimana Simone de Bouvior menyebut perempuan hanya disebut sebagai gender kedua.

***

Kita tentu menginginkan pemimpin memiliki kompetensi bagus, termasuk perempuan atau memiliki asal-usul berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Kondisi di atas berdampak pada masa kampanye tidak berjalan kondusif, diskusi serta perbincangan mengenai visi misi paslon tidak begitu menjadi perbincangan.

Seharusnya, kita memilih mana paslon yang menawarkan visi-misi terbaik untuk wilayah dan negara kita. Selain itu, kita juga bisa menimbang arah dan tujuan kepemimpinan paslon, sebagai tolak ukur keberhasilan kala menjabat kelak. Namun sayangnya topik tersebut tidak begitu menjadi perbincangan hangat di media sosial.

Perempuan dan suku adalah diksi rentan dalam perhelatan Pilkada. Identitas minoritas yang melekat pada calon yang berlaga seringkali dieksploitasi untuk mempengaruhi pilihan masyarakat. Pilkada (masih) bukan ruang aman bagi mereka yang berbeda.