Kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural rawan terjadi konflik ataupun perpecahan. Sebagaimana yang belakangan ini, tak hanya satu-dua, terjadi penghinaan terhadap ajaran lain yang berbeda. Bukan hanya itu, bahkan ujaran kebencian (hate speech) juga kerap dilontarkan oleh penganut agama atau paham yang berbeda.
Oleh karenanya, kita perlu untuk menyikapinya dengan cara merajut kebhinnekaan dan keberagaman, sebagaimana konsep yang diuraikan dalam Al-Qur’an. Salah satu langkah solutif yang ditawarkan dalam Al-Qur’an tatkala menyikapi keberagaman ialah dengan “Lita’arofu” atau saling mengenal guna menghindari perpecahan serta kesalahpahaman. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (Q.S. Al-Hujurat [49]:13)
Al-Hujurat [49]:13 Diturunkan untuk Mengatasi Rasisme
Al-Wahidi (W. 468 H) dalam Asbabun Nuzul-nya menerangkan bahwa konteks turunnya ayat ini berkenaan dengan peristiwa Bilal bin Rabbah:
قَالَ: لَمَّا كَانَ يَوْمُ الْفَتْحِ رَقَى بِلَالٌ عَلَى ظَهْرِ الْكَعْبَةِ فَأَذَّنَ فَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ: يَا عِبَادَ اللَّهِ، أَهَذَا الْعَبْدُ الْأَسْوَدُ يُؤَذِّنُ عَلَى ظَهْرِ الْكَعْبَةِ؟ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: إِنْ يَسْخَطِ اللَّهُ هَذَا يُغَيِّرْهُ، فَأَنْزَلَ اللَّه تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
“Ibn Abbas berkata: Pada hari penaklukan kota Makkah, Rasulullah Saw. memerintahkan Bilal naik ke atas ka’bah guna mengumandangkan adzan. Karena, bilal pada masa itu dikenal dengan suaranya yang merdu. Namun, sebagian orang ada yang tidak terima akan hal ini. Bagaimana mungkin seorang budak yang hitam-legam itu diberikan izin naik keatas ka’bah yang dimuliakan dan disakralkan. Sebagian yang lain berkata: Jika Allah Swt. menghendaki sesuatu, niscaya Dia akan mengubah sesuatu tersebut.” [Ali bin Ahmad Al-Wahidi, Asbab An-Nuzul Al-Qur’an (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah), vol. 1, h. 411]
Lalu turunlah Q.S. Al-Hujurat Ayat 13 ini untuk melarang mereka dari membangga-banggakan keturunan dan harta, serta memberikan peringatan agar tidak meremehkan terhadap orang-orang yang rendah dan dianggap hina. Sebab yang menjadi parameter adalah ketakwaannya. Hal ini selaras dengan apa yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. beliau dalam suatu kesempatan bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk dan harta kalian, melainkan Allah melihat terhadap hati dan amal kalian.” (H.R. Muslim)
Oleh karenanya, Rasulullah Saw. mengingatkan pada kita semua bahwa barometer keunggulan dan keutamaan antar satu sama lain bukan dipandang dari segi fisiknya saja, akan tetapi dari hati dan amal perbuatannya.
Ada Banyak Maslahat di Balik Keragaman
Pakar tafsir terkemuka, Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H) berpendapat bahwa dalam ayat ini terdapat hikmah yakni sudah selayaknya manusia tercipta berbeda satu sama lain:
وَفِيهِ حِكْمَةٌ بَالِغَةٌ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْإِنْسَانَ يَحْتَاجُ إِلَى التَّمْيِيزِ بَيْنَ الْأَشْخَاصِ لِيَعْرِفَ صَاحِبَ الْحَقِّ مِنْ غَيْرِهِ وَالْعَدُوَّ مِنَ الصَّدِيقِ
“Yang demikian untuk membantunya mengetahui mana yang berhak, mana yang tidak, juga agar mengenal mana kawan, dan mana lawan.” [Fakhr Ad-Din Ar-Razi, Mafatih Al-Ghaib (Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-Arabi), vol. 25, h. 92] Tentu saja, perbedaan yang paling kentara adalah beragamnya bentuk rupa, beraneka jenis suara dan berbagai macam bahasa.
Salah satu mufassir bermazhab Hanafi, Imam Az-Zamakhsyari (w. 538 H) yang dikenal dengan tafsir “Al-Kasyaf”-nya itu menguak nilai filosofis dibalik saling mengenal dalam Q.S. Al-Hujurat Ayat 13:
وَالْمَعْنَى: أَنَّ الْحِكْمَةَ الَّتِيْ مِنْ أَجْلِهَا رَتَّبَكُمْ عَلَى شُعُوْبَ وَقَبَائِلَ هِيَ أَنْ يَعْرِفَ بَعْضُكُمْ نَسَبَ بَعْضٍ
“Maknanya ialah bahwasanya hikmah daripada diciptakannya kalian atas beberapa suku dan kabilah ialah agar saling mengenal nasabnya satu-sama lain.”
Menurut pandangan Az-Zamakhsyari, melalui perbedaan bahasa dan warna kulit maka dapat terwujud kegiatan saling mengenal. Andai manusia hanya terdiri dari satu macam, niscaya takkan tercipta kegiatan saling mengenal, sulit membedakan satu sama lain, kemudian akibatnya banyak kemaslahatan yang tidak tercapai. [Az-Zamakhsyari, Al-Kasyaf ‘An Haqaiq Gawamidh At-Tanzil (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Arabi), vol. 3, h. 473]
Penafsiran surat Al-Hujurat ayat 13 tersebut kemudian dikonfirmasi oleh Guru Besar Universitas Al-Azhar Kairo Syekh Prof. Dr. Abu Zahrah (W. 1974) dalam kitabnya Al-Alaqat Ad-Duwaliyah Fi Al-Islam beliau menyatakan: Sesungguhnya perkenalan ini mendorong satu kelompok untuk bisa menimba manfaat dari kelompok lain. Kebaikan seluruh bumi ini tergantung kepada anak bumi ini, yakni manusia. Satu kelompok tidak memiliki kelebihan dibanding kelompok lain berdasarkan daerahnya. Seluruh permukaan bumi ini memiliki perbedaan yang manfaatnya dinikmati umat manusia. Tidak ada jalan untuk meraih kemanfaatan itu kecuali dengan saling mengenal antar manusia.
Adanya perbedaan daerah bertujuan agar kandungan bumi di setiap penjuru bisa digali sehingga manfaatnya bermuara kepada semua orang. Sekali lagi, jalan untuk menempuh itu adalah dengan saling mengenal. Al-Qur’an menghimbau manusia untuk berjalan di atas permukaan bumi guna mencari rizki dan mengenal antar manusia ini. Dan masing-masing penghuni daerah bisa memungut manfaat dari penghuni daerah lain. [Muhammad Abu Zahrah, Al-Alaqat al-Duwaliyah fi al-Islam (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi), h. 22]
Ala kulli hal, Q.S. Al-Hujurat Ayat 13 ini mendorong kapada kita agar menumbuhkan nilai-nilai persatuan, saling menghargai satu-sama lain, serta mengupayakan keharmonisan antar agama, budaya, etnis, dan ras guna menjaga keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu, ayat tersebut menandaskan bahwa kebangsaan merupakan fitrah dalam penciptaan manusia. Penciptaan manusia yang berbangsa-bangsa, bersuku-suku, juga merupakan kenyataan sejarah manusia. Penciptaan suku-bangsa demikian ini, bukan dimaksudkan sebagai langkah pembenaran untuk berpecah-belah atas dasar rasisme kebangsaan atau fanatisme kesukuan, melainkan agar bersedia membangun hubungan kemanusiaan secara arif serta saling berkompetisi menjadi manusia terbaik di sisi Allah Swt. (AN)
Wallahu a’lam bisshawab.