Mensyukuri Kebhinekaan Indonesia

Mensyukuri Kebhinekaan Indonesia

Mensyukuri Kebhinekaan Indonesia

Besok, Sabtu 17 Agustus 2019, bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaan ke-74. Berbagai kegiatan diadakan dengan suka cita. Mulai dari upacara bendera, tabur bunga di makam pahlawan, perlombaan, antraksi, hiburan, hingga refleksi ilmiah. Kesemuanya diniatkan untuk merayakan, mensyukuri, serta memetakan capaian dan tantangan ke depan. Satu hal penting yang mesti menjadi agenda bersama ialah upaya merawat dan mengokohkan rasa persatuan anak bangsa.

Hal ini tidak lain karena kemerdekaan berhasil diraih sebab didasari rasa persatuan. Di era perjuangan kemerdekaan, bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai ras, suku, dan  agama, sadar untuk menanggalkan perbedaan. Mereka bahu-membahu bersatu berjuang mengusir penjajah. Meskipun terkadang cara yang ditempuh berbeda. Ada yang menggunakan jalur kooperatif, ada pula yang non-kooperatif. Akan tetapi keduanya diikat oleh cita-cita yang sama.

Dalam konteks kekinian, semangat persatuan dan kesatuan ini perlu kita perteguh kembali. Tantangan pemerataan pembangunan, pendidikan, ekonomi, dan keamanan harus dihadapi dengan kekokohan persatuan anak bangsa. Jangan sampai bercerai-berai ataupun saling jegal untuk meraih kekuasaan. Keragaman bangsa Indonesia harus dijadikan sebagai titik tolak untuk bergandeng tangan bekerjasama, bukan untuk saling mencerca dan mengunggulkan satu kelompok dan golongan.

Secara fikrah maupun thariqah, Islam memberikan perlindungan bagi semua kalangan. Lintas budaya, sosial, suku bangsa, bahkan hingga lintas agama. Bangsa Indonesia lahir atas jerih payah dan pengorbanan berbagai komponen bangsa. Dalam benak kita harus tertanam kuat bahwa bangsa ini milik semua anak bangsa. Dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote.

Rasa saling memiliki di antara sesama anak bangsa akan menumbuhkan sinergi dan harmoni. Karena kita percaya bahwa sikap dan tindakan setiap anak bangsa dilandasi rasa saling memiliki atas bangsa ini. Bangsa ini lahir dan bisa tetap tumbuh berdiri tegak hingga saat ini karena rasa kebersamaan yang terus terjalin. Praktik hidup berbhineka, majemuk, plural atau apapun sebutannya, telah menjadi catatan emas yang ditorehkan bangsa Indonesia.

Hanya saja, sekali lagi, keragaman dan perbedaan yang telah digariskan ini harus menjadi modal untuk saling mengenal, berbagi, dan bekerjasama. Saling menopang dengan potensi masing-masing. Dengan cara ini, kebhinekaan Indonesia akan menjadi modal bagi kemajuan bersama. Modal ini harus kita rawat dan kita syukuri. Sebagaimana telah dijanjikan oleh Allah ta’ala, jika kita pandai mensyukuri nikmat-Nya, niscaya akan ditambah. Sebaliknya, jika kita ingkar atas nikmat, maka kerugianlah yang akan kita terima.

Allah ta’ala berfirman dalam surat Ibrahim ayat 7:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Artinya:

“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka pasti azab-Ku sangat berat.” (Q.S. Ibrahim: 7)

Imam Ahmad Musthafa al-Maraghi (1883-1952) dalam kitab Tafsir al-Maraghi menjelaskan bahwa ayat di atas menjadi dasar bagi seorang Muslim untuk pandai bersyukur. Mensyukuri segala kenikmatan apapun bentuknya yang ia terima. Seseorang yang mau bersyukur, niscaya tidak terhalang dari ditambahnya nikmat. Demikian halnya, kebhinekaan Indonesia merupakan salah satu anugerah Allah ta’ala. Tidak ada ungkapan dan cara syukur yang tepat, kecuali dengan merawat dan menggunakannya sebagai modal kemajuan bersama.

Kebhinekaan sebagai realita Ilahi

Kemajemukan masyarakat adalah realita Ilahi. Secara fitrah dan hakiki masyarakat memang plural dan majemuk. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kesatuan dengan populasi lebih dari 258 juta jiwa. Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau dan memiliki 300 kelompok etnis dan 6 agama. Tiap etnis memiliki warisan budaya yang berkembang selama berabad-abad. Sampai sekarang masih tetap dijaga kelestariannya.

NKRI adalah negara yang multi-etnik, agama, budaya, bahasa dan lain sebagainya. Sejarah mencatat, kebesaran kerajaan Mataram-Hindu, Sriwijaya, dan Malaka berhasil membangun kekuasaan dan kekuatan maritimnya. Sejarah juga mencatat kebesaran dari Kerajaan Majapahit yang mempersatukan Nusantara. Kebesaran Samudera Pasai, Mataram-Islam, Maluku, Bugis dan lain-lain. Kapal-kapal Pinisi beserta pelaut-pelaut Nusantara mengarungi laut. Menjelajahi samudera, menyinggahi benua Australia, hingga benua Afrika.

Kebhinekaan Indonesia merupakan keajaiban dunia. Kebhinekaan terawat bukan karena klaim sepihak, melainkan karena adanya sikap jujur, terbuka, tanggung jawab, dan adil. Jika ada pemikiran yang mencoba membenturkan antara Islam, kebhinekaan, dan NKRI, pemikiran itu harus diluruskan. Pemikiran ini jelas tidak dapat dibenarkan dan ahistoris. Islam, kebhinekaan, dan NKRI adalah satu kesatuan tak terpisahkan.

Teladan dari guru bangsa

Sejarah panjang perjuangan umat Islam dalam memerdekakan dan membangun Republik ini sangat nyata. Janganlah melupakan jasa besar KH. Hasyim Asy’ari saat bersama umat Nahdliyin, yang menyerukan Resolusi Jihad untuk mengobarkan semangat perlawanan para pejuang Surabaya di bawah komando jihad Bung Tomo, dalam mempertahankan Kota Pahlawan dari gempuran imperialis.

Ki Bagus Hadi Kusumo sebagai pucuk pimpinan Muhammadiyah bersama tokoh umat Islam lainnya berbesar hati dengan merelakan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menggantinya dengan sila pertama Pancasila. Ini sebagai sikap penghormatan atas aspirasi saudara sebangsanya dari umat Kristiani dan Indonesia bagian timur.

Peran diplomat Muslim, Haji Agus Salim dan AR Baswedan, yang bergerilya mencari pengakuan kedaulatan kemerdekaan RI dari dunia internasional. Dengan mengedepankan semangat ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah, mereka berhasil mengantarkan RI mendapatkan pengakuan kedaulatan pertamanya dari negara-negara Islam, seperti Mesir, Lebanon, Suriah, Irak, Arab Saudi, dan Yaman. Kiprah diplomasi mereka menyudutkan Belanda di forum PBB dan mengukuhkan kedaulatan RI di mata dunia.

Sejarah ini meneladankan bahwa menjadi seorang Muslim yang lurus maka secara aksiomatis juga menjadi seorang nasionalis sejati dan pluralis seutuhnya. Karena itu, menjaga dan merawat kebhinekaan adalah salah satu agenda yang harus diteruskan oleh generasi muda.

Dengan sangat indahnya, Nabi Muhammad saw mengumpamakan umatnya laksanana satu jasad. Jika ada salah satu bagian yang mengalami sakit, maka seluruh badan ikut merasakannya. Hal ini sebagaimana hadis shahih riwayat Imam Muslim (204-261 H) dalam kitab Shahih Muslim:

عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِىْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْسَهَرِ وَالْحُمَّى

“Diriwayatkan dari al-Nu’man bin Basyir ra, Rasulullah saw bersabda: “Perumpamaan orang mukmin di dalam saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi itu ibarat satu jasad. Ketika ada satu bagian yang merasa sakit, maka sekujur tubuh yang lainnya juga ikut merasakan demam dan tidak bisa tidur.” (H.R. Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa persatuan dan kesatuan adalah sebuah keniscayaan. Antar sesama harus saling mencintai dan mengasihi. Ibarat satu jasad yang saling menopang. Di balik perbedaan bentuk dan fungsinya, setiap bagian tubuh sangatlah berguna bagi bagian yang lain. Demikian pula sesama saudara, kita juga harus mengejawantahkan nilai-nilai persatuan ini. Meskipun tidak dapat dimungkiri bahwa kita berbeda ras, suku, budaya, ataupun pendapat.

Islam merupakan rahmatan lil alamin yaitu rahmat bagi alam semesta. Islam datang ke Indonesia untuk membawa kebaikan dan rahmat, bukan untuk membawa kehancuran bagi Indonesia. Bhineka tunggal ika merupakan rahmat yang Allah swt berikan kepada Indonesia. Momentum peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-74 tahun ini, mesti kita maknai sebagai momen untuk meneguhkan semangat persatuan. Mensyukuri kebhinekaan Indonesia.

*Tulisan ini juga dimuat dalam: Buletin Muslim Muda Indonesia, Edisi 56/Jum’at, 16 Agustus 2019