Menjadikan seorang yakin akan sesuatu memang bukan hal mudah. Bahkan dalam Al-Qur’an sosok Nabi SAW, yang memiliki pribadi memukau pun, dihibur berkali-kali dengan pernyataan bahwa hidayah sejatinya dari Allah, bukan tugas beliau memaksakan keyakinan. Rasulullah SAW dengan pribadi lembut yang mampu memukau siapapun di sekitarnya, beliau yang paling mulia dan yang paling bisa memuliakan, sehingga setiap orang akan menemukan paduan kenyamanan, keindahan dan keteduhan pada beliau, masih saja menemui orang-orang yang tidak mau percaya.
Kontra-narasi yang diusung orang-orang bebal untuk melawan dakwah Rasulullah SAW adalah logika mereka mengenai ketidakmungkinan seorang dapat hidup kembali ketika telah mati jadi debu. Pun mengenai hari kiamat, meskipun tidak membantahnya, mereka tetap menanyakan kapan tepatnya kejadian dahsyat tersebut wujud demi mengetahui bahwa beliau tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Dalam banyak riwayat Nabi SAW hanya memberi jawaban mengenai waktu terjadinya kiamat dengan pertanda. Mengenai pertanda kiamat ini salah satunya adalah al-dukhan, riwayat mengenai ini pun selalu dikutip oleh para mufasir ketika mengulas interpretasi QS. Al-Dukhan ayat 10.
Dalam surat al-Dukhan ayat 10, Allah berfirman:
فَارْتَقِبْ يَوْمَ تَأْتِي السَّمَاءُ بِدُخَانٍ مُبِينٍ
Artinya:
“Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata”
Di dalam tafsirnya, al-Qurthubi mengutip tiga pendapat mengenai ini. Pertama, bahwa al-dukhan adalah salah satu syarat atau pertanda kiamat yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Al-dukhan ini mendiami bumi selama empat puluh hari, memenuhi kolong langit. Adapun orang-orang mu’min maka akan tertimpa al-zukam semacam flu, pilek atau demam, sementara pada orang-orang kafir al-dukhan akan masuk melalui hidung dan telinga mereka sehingga mereka sesak nafas.
Al-Qurthubi juga menukil riwayat bahwa al-dukhan ini belum pernah terjadi sebelumnya. Ia menyebut nama-nama yang sepakat dengan ini yakni sayyidina Ali, ibn Abbas, Abu Hurairah, Zaid bin Ali, al-Hasan, dan ibn Abi Mulaikah. Al-Qurthubi mengutip dari al-Mawardi riwayat marfu’ dari Abu Said al-Khudri bahwasanya al-dukhan menimpa manusia pada hari kiamat. Mukmin akan terkena al-zukam sementara orang kafir akan dirasuki al-dukhan melalui telinga.
Selanjutnya al-Qurthubi menukil satu hadis panjang dari Shahih Muslim riwayat dari Hudzaifah bin Usaid al-Ghifari perihal sepuluh pertanda datangnya kiamat yang salah satunya adalah al-dukhan. Pada riwayat ini al-dukhan disebutkan akan memenuhi barat dan timur serta akan menetap hingga empat puluh harmal. Orang mukmin akan terkena seperti al-zukam sementara orang kafir layaknya orang tak sadarkan diri, al-dukhan keluar dari mulut, mulut, hidung, mata, telinga, dan anusnya.
Beberapa manusia modern yang membaca pendapat pertama dalam tafsir al-Qurthubi di atas mengindentikkan al-dukhan dan al-zukam dengan pandemi covid-19. Pembacaan model ini mengarah pada pengertian bahwa pandemi yang tengah mewabah ini merupakan salah satu tanda dari hari akhir. Selanjutnya orang-orang yang sudah terbawa dengan narasi ini dihimbau untuk lekas bertaubat kepada Allah SWT.
Saya pribadi sangat setuju dengan himbauan agar kita semua bertaubat kepada Allah, namun menafsirkan QS. Al-Dukhan dengan mengidentikkannya pada covid-19 sebagai salah satu pertanda kiamat tentu tidak dapat diterima secara nalar. Kesalahan pikir ini kentara dilihat dari dua aspek.
Pertama, apa yang diterangkan al-Qurthubi di atas bukanlah kaul satu-satunya. Dua pendapat sesudahnya justru melemahkan kaul pertama tersebut. Lagipula apabila ada yang meyakini pendapat pertama lebih unggul lantas mengatakan bahwa al-dukhan adalah covid-19 maka keyakinan ini juga tertolak dengan adanya fakta bahwa wabah ini telah wujud lebih dari 40 hari.
Kedua, pendapat lanjutan dari al-Qurthubi adalah riwayat dari al-Bukhari mengenai kelaparan yang menimpa kaum Quraisy sehingga langit dalam pandangan mereka menjadi gelap berkabut. Al-Qurthubi juga mengutip riwayat lain dari al-Bukhari perihal kaum Quraisy yang menentang Nabi SAW sehingga beliau mendoakan agar mereka ditimpa paceklik layaknya yang dialami kaum Nabi Yusuf as. Sehingga mereka ditimpa kekeringan dan kesukaran sampai-sampai mereka memakan tulang belulang. Merekapun meminta beliau agar berkenan memohon hujan, maka beliau mohonkan, lantas hujan pun turun. Ayat 11 dan 12 adalah gambaran permintaan mereka kepada Nabi SAW. Namun setelah kekeringan selesai, mereka kembali kafir seperti diterangkan pada ayat 15.
Al-Razi menyatakan bahwa pendapat ini lebih rajih dengan adanya munasabah atau korelasi dari ayat 10 hingga ayat 16. Sebelum mereka kembali pada kekafiran seperti yang digambarkan pada ayat 15, kebebalan mereka telah terlebih dahulu dapat diprediksi terlebih setelah kita membaca ayat 13 dan 14. Bahwa bagaimana mungkin mereka akan beriman hanya dengan modal kekeringan yang sementara jika kepada mereka telah datang bukti yang lebih nyata dan lebih agung yakni Al-Qur’an.
Sebaliknya orang-orang itu malah menyebut beliau mendapat ajaran orang lain dan gila. Imam al-Suyuthi dan al-Mahalli dalam Jalalain pun lebih memilih pendapat ini dengan menerangkan singkat perihal kelaparan yang menimpa kaum Quraisy sehingga penglihatan mereka menjadi kabur layaknya terdapat kabut yang mengambang di kolong langit.
Pendapat al-Qurthubi yang ketiga tidak begitu masyhur, menerangkan bahwa ayat ini berkenaan dengan fath Makkah dan perasaan takut khusus yang menimpa musyrikin sehingga mereka seakan berkabut.
Jika kita mengamati betul pada tiga pendapat tafsir al-Qurthubi di atas maka selayaknya kita tidak menyebut pandemi covid-19 sebagai tanda kiamat. Lebih-lebih membungkusnya dengan narasi yang justru membikin orang bergidik dan pikirannya makin rusuh. Narasi ini jelas lebih merisaukan kapan datangnya kiamat daripada persiapan untuk menghadapinya. Sementara Nabi SAW dalam riwayat yang masyhur ketika ditanya perihal kapan datangnya kiamat oleh seorang badui beliau justru menjawab dengan pertanyaan, “Apa yang telah kau persiapkan?” Orang tersebut menjawab, “Aku tidak menyiapkan banyak shalat, puasa, maupun sedekah, akan tetapi aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Beliau kemudian menjawab, “Engkau bersama yang kau cintai.” Artinya persiapan keimanan yang lurus lebih dibutuhkan daripada pengetahuan akan kapan tepatnya kiamat itu terjadi.
Menarasikan mengenai kiamat seraya menyuruh orang untuk lekas bertaubat tentu saja berpotensi besar mewujudkan kengerian pada sebagian orang, dampaknya sistem imun tubuh terancam dan bisa jadi justru membuat pandangan berkabut. Sebelumnya al-dukhan sama sekali tidak sesuai jika diidentikkan dengan covid-19, dengan adanya narasi tersebut, membuat orang yang mengimaninya melihat kolong langit sesak dengan kabut.
Apakah seorang dengan pandangan berkabut dapat melakukan taubat dengan sempurna? Tentu penerimaan taubat murni hak Allah SWT. Ikhtiar kita hanyalah sebisa mungkin melakukan taubat dengan hati yang tulus, sementara ketulusan jarang ditemui ketika seorang dikuasai ketakutan. Sekali lagi jarang belum tentu tidak ada. Allah Maha penerima taubat. Semoga kita mendapatkan petunjuk pada jalan taubat yang sesungguhnya.
Jelasnya penafsiran yang mengaitkan covid-19 dengan al-dukhan dan kiamat dikhawatirkan mengarahkan kaum Mukmin menjadi penakut dan mudah panik. Slavoj Žižek dapat dengan tenang bilang bahwa pandemik ini hanyalah kontingensi natural dalam bentuknya yang paling murni. Kita kaum Mukmin harusnya bisa membaca dan melihat diri dari sudut yang paling dalam saat ini. Mungkin kita terlalu lama sendiri untuk merasakan ‘bersama’ sehingga butuh secara bersama-sama untuk benar-benar sendiri mendekat kepada Yang Esa. Kita meyakini bahwa Allah berkehendak yang terbaik, Dia yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kita sebagai orang yang beriman sebaiknya tidak panik, tidak bebal memaksakan penafsiran al-dukhan dan kiamat sebagai covid-19. Pandemi ini bukan tanda dari kiamat.