Anak Muda, Ekstrimisme, dan Narasi Kiamat di Youtube

Anak Muda, Ekstrimisme, dan Narasi Kiamat di Youtube

Anak Muda, Ekstrimisme, dan Narasi Kiamat di Youtube

Jika anda termasuk orang yang pernah mengonsumsi komik “Cerita Neraka” yang cukup populer di tahun 1980-90an, maka anda termasuk generasi yang sudah cukup berumur. Tapi pernahkah kita melihat komik tersebut sebagai bagian pembelajaran soal eskatologi di kalangan anak-anak? Mungkin saja ada yang jawab iya, tapi kebanyakan kita mungkin menjawab tidak.

Komik merupakan medium populer di tahun-tahun tersebut, bukan hanya dalam bentuk buku juga ada komik yang terpampang di lembaran koran harian. Dari kritik terhadap pemerintah hingga hanya sebagai lelucon belaka, komik cukup digemari di berbagai lapisan umur dan kalangan kelas sosial. Cukup dulu soal komiknya, fokus tulisan ini pada dua hal yaitu narasi akhir zaman yang hadir di sekitar kehidupan kita lewat budaya pop, dan anak muda sebagai pemirsanya.

Mungkin sebagian besar dari kita pernah menonton film “Jihad Selfie” karya Nur Huda Ismail, pendiri Ruangobrol.id. Sedikit spoiler ya, film tersebut bercerita seorang mahasiswa asal Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di salah satu universitas di Timur Tengah. Dia tertarik mengikuti salah satu sahabatnya yang bergabung dengan kelompok teroris, ISIS.

Rasa kagum yang mengawali ketertarikan Akbar Maulana pada temannya yang memposting sebuah foto dirinya sedang memegang senjata AK-47. Sebuah postingan di media sosial bisa membius seseorang untuk bergabung dengan kelompok teroris. Beginilah fakta yang tidak bisa dibantah, media sosial bisa saja berubah menjadi lahan subur indoktrinasi yang seringkali tidak disadari atau terabaikan oleh kita.

Algoritma bernama “gelembung filter” di akun media sosial kita bisa saja menenggelamkan konten-konten yang terkait dengan narasi kiamat, karena tidak menjadi kebiasaan dari pencarian favorit. Namun, bagi sebagian besar kalangan anak muda yang cukup akrab dengan pencarian pengetahuan agama lewat berbagai platform media sosial, terutama Youtube, maka kemungkinan besar mereka akan mendapati konten-konten yang bernada narasi agama di sana.

Anak Muda dan Youtube di Pinggir Panggung Narasi Ekstrimisme

Mengapa Youtube? Ini disebabkan anak muda akan sangat mudah menemukan berbagai potongan video yang bernarasi agama, bahkan jika mereka bereksplorasi melalui kolom pencarian yang tersedia dengan memasukkan kata agama maka akan banyak sekali tersedia konten yang bisa diakses dengan mudah.

Selain itu, mayoritas Gen Z dan milenial menkonsumsi internet sepanjang hari bisa mencapai 4-6 Jam (39,0%).  Sebagai generasi yang lahir dan tumbuh di era digital, tidak heran jika Gen Z dan milenial memang tidak bisa hidup tanpa internet. Walau, akses mereka di dunia internet lebih banyak berinteraksi lebih besar pada kebutuhan untuk hiburan, seperti video streaming (54,3%) dan musik (37,7%). Bahkan, konsumsi untuk game online (36,8%) dan belanja online (18,7%) cenderung lebih sedikit. (Sumber: Alvara Institute.com)

Interaksi mereka dengan video, baik streaming atau tidak, yang cukup besar kemudian beririsan dengan rasa keingintahuan yang besar atas agama, maka menjadikan Youtube menjadi salah satu destinasi populer selama berselancar di jagat maya. Alvara Institute menegaskan bahwa munculnya Youtube, web internet dan Facebook sebagai rujukan informasi keagamaan bagi generasi muda. Gen Z dan Milenial cukup banyak yang merujuk ke Youtube, web internet dan Facebook dibanding generasi sebelumnya.

Akses yang begitu tinggi terhadap Youtube dan kemunculannya sebagai bagian rujukan informasi keagamaan di kalangan anak muda, masih belum menjawab mengapa ada narasi ekstrimisme yang berkelindan dengan agama, terutama di kisah-kisah akhir zaman, di beberapa konten Youtube. Selain itu, ada juga silang sengkarut dua hal tersebut terhadap anak muda sebagai pemirsa sekaligus konsumen dari konten informasi keagamaan tersebut.

Kenapa ada ekstrimisme di kisah akhir zaman? Mungkin pertanyaan ini melintas dalam pikiran kita, karena berbeda sekali dengan cerita komik kiamat di masa lalu yang hanya bertumpu pada betapa menakutkan dan bahagianya kehidupan di akhir zaman nanti. Sebelum ke sana, kita akan mulai masuk terlebih dahulu ke ranah anak muda sebagai mayoritas konsumen konten tersebut.

Relasi antara anak muda sebagai konsumen yang cukup aktif dengan Youtube sebagai rujukan informasi keagamaan, malah menempatkan anak muda pada posisi yang rumit. Bagaimana tidak, sebagai pemirsa konten anak muda yang menikmati konten yang dikonstruksi sebagai ruang publik yang dikontrol secara budaya, ekonomi dan politik.

Hal tersebut di atas yang berimbas pada cerita “Akhir Zaman” yang menjadi objek yang tidak bisa dipandang hanya sebagai transmisi pengetahuan belaka, karena tidak sedikit dari konten tersebut justru turut memupuk dan mendengungkan ideologi ekstremisme di kalangan anak muda. Padahal Pam Nilan pernah menuliskan kesalehan di anak muda muslim Indonesia sebenarnya memiliki kultur hibriditas yang kompleks, yang tidak berbeda jauh dari dinamika kepemudaan di tempat lain.

“Seperti anak muda di mana-mana, konstitusi budaya gaya pemuda setempat menandakan proses fraktur pembentukan identitas yang relevan dengan konstruksi aktif lintasan kehidupan di dunia yang tidak pasti” begitu tulis Pam Nilan.

Dalam menciptakan biografi atau identitas mereka sendiri sampai batas tertentu, bisa saja menampilkan model keberislaman dengan gaya tersendiri, yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Di poin inilah keberagamaan anak muda yang mengandalkan transmisi pengetahuan lewat media baru, seperti Youtube bisa terjatuh pada mispersepsi atas ajaran agama yang tersebar di sana jika tidak diberikan panduan yang jelas.

Di tengah era keterbukaan informasi sekarang ini, proses pembentukan identitas anak muda berpadu dengan nilai dan ajaran agama, akhirnya tidak bisa dihindari ada kemungkinan masuknya nilai-nilai lain yang bisa saja malah membentuk pribadi yang berbeda dengan keberagamaan generasi sebelumnya.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa ajaran Islam tentang akhir zaman atau kiamat sudah sejak lama berinteraksi dengan budaya pop, apalagi di era internet seperti sekarang ini. Beberapa konten youtube bernarasi akhir zaman, terutama digawangi oleh dua penceramah yaitu ustad Zulkifli Ali dan Rahmat Baequni, bisa terselip narasi ekstrimisme di dalamnya.

Bagaimana tidak, stigma atau cap negatif kerapkali pada dilekatkan kelompok minoritas, seperti Syiah, dengan berdalil pada kedatangan Dajjal, maka imaji anak muda akan digiring untuk berpihak atau “berbaiat” pada pihak yang mereka anggap benar. Dengan bergabung atau berbaiat menjadi yang tentara Allah untuk membela agamanya, menjadi narasi paling sering terselip untuk memikat anak muda. Sulit bagi mereka yang sudah silau dengan narasi tersebut untuk keluar, karena alasan berbuat untuk agama seakan membius untuk bisa berbuat apa saja, termasuk kekerasan, kepada kelompok yang berbeda.

Apalagi di tengah kondisi geo-politik dunia sedang panas, maka narasi tersebut seringkali diselipkan seperti kasus Tolikara atau Wamena. Arkian, agama yang ditampilkan di konten-konten tersebu tidak dalam wajah kemanusiaan, di mana sering mengabaikan oknum pelaku kekerasan hanya menunggangi dalil agama sebagai legitimasi aksi kekerasan mereka. Pembahasan konten bernarasi ekstrimisme di Youtube akan lebih diperjelas di tulisan berikutnya, sila ditunggu.

Dengan mengonsumsi konten seperti di atas, anak muda bisa saja dengan mudah terpengaruh untuk melakukan kekerasan pada mereka yang berbeda. Misalnya, perundungan atau bullying mungkin bisa dilakukan tanpa rasa bersalah sedikitpun, karena sudah merasa perilaku tersebut bagian dari membela kehormatan Islam.