Sikap mencintai negeri dan bangsa ada dalam setiap individu seseorang dan tidak dapat dibantah siapapun. Setiap insan memiliki rasa mengagumi negerinya sendiri dan bercita-cita agar negerinya dapat bersaing dengan negeri-negeri lainnya. Sikap demikian itu, menurut Sejarawan Barat; Hans Kohn, adalah sikap nasionalisme. Nasionalisme merupakan suatu sikap atau faham yang mengajarkan untuk mencintai bangsanya sendiri.
Namun, akhir-akhir ini faham nasionalisme banyak yang menentang. Faham ini masih ada yang meragukan untuk diaplikasikan oleh orang Muslim dengan berbagai argumentasinya. Seperti misalnya nasionalisme tidak boleh diyakini dan dipraktikan oleh orang Islam sebab berasal dari Barat; produk kafir, atau argumentasi lainnya, dengan alasan: karena nasionalisme akan memecah belah persatuan umat Islam karena umat Muslim akan terkotak-kotak dalam negara bansga (nation state).
Kenyataan di atas dianggap berbeda dengan Islam yang mengajarkan persatuan seluruh umat tanpa dibatasi dengan wilayah-wilayah tertentu (ummatan wahidah). Benarkah demikian? Benarkah Islam bertentangan dengan nasionalisme? Bagaimana sesungguhnya Al-Quran dalam memandang nasionalisme?
Tafsir Qur’an Nasionalisme
Tafsir QS. Al-Baqarah [2]: 126:
وَ إِذْ قالَ إِبْراهيمُ رَبِّ اجْعَلْ هذا بَلَداً آمِناً وَ ارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَراتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ قالَ وَ مَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَليلاً ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلى عَذابِ النَّارِ وَ بِئْسَ الْمَصير
Dan( ingatlah ), ketika Ibrahim berdoa: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman:” Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”
Ayat ini merupakan proyeksi kecintaan Nabi Ibrahim AS terhadap negerinya. Dalam tafsir Departemen Agama disebutkan, tanda cinta Ibrahim AS beliau curahkan dengan doanya dengan penuh harapan agar negeri Makkah menjadi negeri yang aman dari bencana dan pertumpahan darah sebagaimana dulu telah menimpa kaum-kaum sebelumnya. Selain itu, Nabi Ibrahim berdoa agar penduduk Makkah diberikan kesejahteraan berupa buah-buahan, baik untuk orang-orang yang beriman atau bahkan untuk orang kafir sekalipun.
Al-Alusi dalam tafsir Ruh al-Ma’ani juga menegaskan bahwa ayat di atas merupakan sikap cinta yang ditunjukan Nabi Ibrahim kepada negeri Makkah. Beliau sangat berharap agar negeri tersebut menjadi negeri terbaik bagi penduduk-penduduknya. Menururt al-Alusi, Nabi Ibrahim berdoa untuk negerinya dalam dua hal, dalam hal keamanan negeri dan dalam kesejahteraan ekonominya.
Ibrāhim [14]: 35:
وَإِذْ قالَ إِبْراهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِناً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنامَ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.”
Al-Buruswi dalam kitab tafsirnya; Ruh al-Bayan, mengatakan bahwa konteks ayat ini adalah ketika Nabi Ibrahim AS selesai merenovasi Ka’bah dengan anaknya yaitu Nabi Ismā’il AS. Menurut al-Buruswī, ayat ini merupakan bentuk munajat Nabi Ibrahim kepada Allah agar negerinya menjadi negeri yang aman, yaitu dijauhkan dari pertumpahan darah, penyakit lepra dan penyakit kusta.
Selain itu, beliau juga memohon agar Allah menjauhkan penduduk negerinya dari menyembah berhala-berhala sebagaimana generasi-generasi yang sebelum generasinya.
Hal yang serupa juga dijelaskan oleh Quraish Shihab, ia menyatakan bahwa ayat ini merupakan doa yang dipanjatkan oleh Nabiyullah Ibrahim As untuk keamanan negeri Makkah. Menurut beliau, keamanan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut bukanlah keamanan takwini; keamanan yang selamanya akan eksis tanpa campur tangan manusia, akan tetapi keamanan syar’i; keamanan yang dapat diraih dengan usaha dan campur tangan manusia yang ada di dalam Makkah atau yang memasukinya.
Menurut pakar Tafsir Indonesia itu, maksud doa Nabi Ibrahim AS adalah agar keturunanya dijauhkan dari menyembah berhala, agar mereka selalu diluruskan dalam fitrah sucinya, yaitu agar ketauhidan pada diri mereka tetap terpelihara dan kokoh.
Refleksi Atas Penafsiran
Ada banyak pelajaran yang bisa kita petik dalam kisah Ibrahim AS yang telah dijelaskan dalam dua ayat Al-Quran di atas. Pertama, secara tersirat, sikap nasionalisme telah tertanam dalam diri Nabi Ibrahmi AS yang berusaha dengan doa agar negerinya diberikan keamanan, kesejahteraan, bahkan keimanan agar tidak menyembah berhala. Kenyataan ini memberi kesimpulan selanjutnya bahwa Al-Qur’an mengonfirmasi nasionalisme sudah sejak lama, yaitu sejak zaman Nabi Ibrahim.
Kedua, Islam menghendaki sikap nasionalisme jika memang tindakan-tindakan dalam proses menjunjung nasionalisme tersebut demi kepentingan umat, tidak untuk memecah belah antar umat muslim. Nasionalisme dalam Al-Quran sebagaiman dipraktikan oleh Bapak Ibrahim ialah nasionalisme kemaslahatan semua manusia, tanpa memandang perbedaan agama.
Ketiga, Nasionalisme tidak sama sekali bertentangan dengan Islam. Sumber Al-Quran membuktikannya dengan menunjukkan betapa sangat besarnya sikap nasionalisme Nabi Ibrahim. Memang secara historis umum, kemunculan nasionalisme berasal dari Barat. Akan tetapi sesungguhnya al-Quran telah lama – 400 abad yang lalu – memberikan perhatian terhadap Nasionalisme. Kalaupun ada argumentasi nasionalisme dari Barat, Islam pun tetap boleh menggunakannya selagi esensinya memang baik untuk umat secara umum.
Wallahu A’lam.