Menjawab Keresahan Dian Sastro dan Alasan Kenapa Belajar Filsafat Itu Tidak Melulu Sesat

Menjawab Keresahan Dian Sastro dan Alasan Kenapa Belajar Filsafat Itu Tidak Melulu Sesat

Dear Mbak Dian, jadi begini ~

Menjawab Keresahan Dian Sastro dan Alasan Kenapa Belajar Filsafat Itu Tidak Melulu Sesat

Barangkali terlalu berlebihan jika menyejajarkan Dian Sastro dengan Nabi Ibrahim. Tapi keduanya memiliki titik temu: mereka sama-sama subjek yang aktif mencari jatidiri. Lebih dari itu, fajar pencerahan senyatanya menyingsing dari ufuk nalar kritis.

Sebagai seorang Muslim, saya tentu minder dengan argumen Mbak Dian sewaktu bilang:  gue lumayan pernah jadi spiritual tourist sih!!

“… Dan, akhirnya gue ketemunya di Islam,” lanjutnya dalam Channel Youtube Daniel Mananta Network.

Ibrahim juga begitu. Bedanya, Ibrahim muda pernah menyoal siapa sesungguhnya penguasa semesta. Dianggapnya bintang, dan bulan, dan matahari. Tapi itu semua senyatanya bisa lenyap mengikuti keteraturan alam (Q.S. Al-An’am [6]: 76-78).

Rupanya, Dian Sastro megikuti jalan ninja mendiang bapaknya. Kendati berbeda iman, keduanya sama-sama menempuh proses yang serupa, mencari dan ketemu. Pertanyaan kritis yang diajukan adalah sederhana: kalau alam semesta itu gedhe banget, dan manusia itu hanya segelintir debu, kenapa kita itu harus ada kalau pada akhirnya toh akan kiamat juga?

Buat saya, ada tiga kata kunci penting dari pertanyaan itu: alam semesta, manusia, dan kiamat. Dan, jika ditakar dengan kacamata Islam (yang saya pahami), ketiganya jelas menegaskan adanya kekuasaan Tuhan. Tapi kesimpulan ini sudah tentu kelewat jumping. Untuk itu, mari kita mulai dari konsep alam semesta.

Alam semesta adalah nyata adanya. Maujud. Keberadaannya bisa kita identifikasi melalui salah satu perangkat dari panca-indera. Lebih dari itu, Google memberi kita fasilitas untuk mengafirmasi bahwa alam semesta memang gedhe banget, setidaknya gedhe dalam kapasitas keterjangkauan Google.

Tapi, Google tidak akan ada jika perang dunia II baru terjadi hari ini. Teknologi mungkin tidak sesanter era kiwari jika tidak dipacu oleh tuntutan kebutuhan perang di akhir abad ke-20. Artinya, Google bisa ada karena memang ada yang membuatnya.

Logika yang sama adalah berlaku juga dalam konteks memahami semesta. Sebutlah bahwa semesta itu adalah apa yang dalam ilmu logika dimengerti sebagai aksiden. Mudahnya, teori dari aksiden adalah hal-hal yang ternisbahkan kepada X, tetapi jika hal-hal tersebut hilang, X tetaplah X (Azis A.F., 2021). Ini kira-kira bisa disederhanakan sebagai: Tuhan tetaplah Tuhan, kendati tanpa semesta. Perang dunia tetaplah perang dunia, kendati tanpa sokongan teknologi.

Hanya saja, perang dunia adalah sepenuhnya beda dengan Tuhan. Dalam konteks Perang Dunia II, ia berkaitan dengan kesumat Jerman saat kalah di Perang Dunia I. Tambahan, keadaan menjadi semakin kompleks ketika Perancis menyangkal laporan intelejennya tentang militer Jerman yang mengalami problem teknis kemacetan panser sebelum pecah peristiwa Blietzkrieg.

Hopp!! Mari mengheningkan cipta sejenak.

Baik.

Mungkin kita bisa bertanya, kalau Tuhan adalah yang menciptakan alam semesta, lalu siapa yang menciptakan Tuhan? Nah, inilah masalahnya. Pertanyaan ini secara tidak sadar sudah keliru sejak dalam dirinya. Lebih dari itu, pertanyaan ini berpeluang membawa kita pada kesimpulan ketiadaan alam semesta.

Logikanya begini. Dalam skenario yang disebut “regregasi tak-berhingga” (infinite regress), alam semesta dimungkinkan ada hanya jika ada yang menciptakannya. Untuk memudahkan, skemanya barangkali serupa dengan silsilah keluarga: A bin B bin C bin D bin E, dst. Jika dibalik, A mustahil ada jika tidak ada E, D, C, dan B.

Sekalipun begitu, jika mau diruntut, ini tetap bakal ada ujungnya, yaitu manusia pertama. Islam meyakininya sebagai Adam. Game of Throne mungkin menyebutnya sebagai “The First Man”. Lalu, jika sudah sampai sini, pertanyaan selanjutnya tetap akan muncul sampai takberhingga: siapa yang menjadikan Adam atau The First Man mengada?

Nah, kan, mbulet!! HAHA

Gini aja. Kalau kamu pernah nonton film 3 Idiots, semoga kali ini akan memudahkan. Dalam scene kondangan, Pia melapor kepada bapaknya bahwa ada yang ganjil di pesta itu: tiga orang tak dikenal. Ya, siapa lagi kalau bukan Rancho, Farhan, dan Raju (3 idiots) yang sedang mencari makan secara ilegal.

Ternyata, bapaknya Pia adalah seorang Rektor tempat tiga idiot itu kuliah. Mereka menyebutnya Viruz. Alhasil, Viruz pun segera mengenali siapa tamu tak undang dalam pesta malam itu.

Ditanyakan kepada Rancho, “Mana undanganmu?”

Rancho bilang undangannya dibawa Farhan. Farhan menuding Raju. Raju pun bingung karena tidak ada yang dia tuding lagi. Tapi ini skenario asli dalam film.

Sekarang, mari kita bayangkan skenario lain menggunakan “regregasi takberhingga”.

Ditanyakan kepada Rancho, “Mana undanganmu?”

Rancho bilang undangannya dibawa Farhan. Farhan menuding Raju. Raju menuding, sebut saja, A. A menuding B. B menuding C. Dan seterusnya sampai tak-berhingga.

Pertanyaannya, apakah undangan itu sendiri benar-benar ada? Tentu saja tidak!!

Tepat di aras kesadaran inilah alam semesta mustahil ada jika kita menggunakan skenario “regregasi takberhingga”. Mengapa?

“Tidak ada sesuatu yang dapat muncul dari ketiadaan,” pikir Parmenides, Filsuf generasi awal sekitar 540-480 SM.

Namun agar belagak sedikit ngintelek, mari kita pinjam skema dari silogisme disjungtif. Adanya alam semesta hanya dimungkinkan lewat dua skenario: rangkaian sebab yang berhingga (finite); atau rangkaian sebab takberhingga (infinite). Keduanya adalah mustahil terjadi bersamaan. Bila salah satu dari kedua skenario itu terbukti batal, maka sisanya adalah benar, alias harus ada sebab pertama.

Syahdan, karena semesta terbukti ada dan nyata (dapat diakses melalui panca-indera), berarti ia meniscayakan Dzat yang menciptakannya. Persoalannya adalah, siapa? Agama-agama menyebut pencipta semesta sebagai Tuhan atau Dewa. Ilmuan Yunani kuno mungkin menyebutnya sebagai “Zat Dasar”. Tapi, Islam menamai Pencipta sebagai Allah (Q.S. Al-Ikhlas: 1-3).

Itu tentang alam semesta.

Lalu, sekarang adalah kiamat. Kiamat dipercaya sebagai akhir dari semesta. Seperti kata seorang bijak bestari, “yang menyedihkan dari pertemuan adalah perpisahan.” Dan, sayang, perpisahan itu memang niscaya.

Sebagai sesuatu yang maujud (diciptakan/diadakan), alam semesta pastilah memiliki akhir. Itulah kiamat, kendati ia adalah satu perkara tersendiri. Kapan ia terjadi itu masih misteri. Nabi Muhammad pun tidak memastikan tanggalnya. Yang dikasih-tahu hanyalah kisi-kisi.

Pertanyaan selanjutnya, di mana letak peran manusia?

Terus terang, saya khawatir akan terlalu panjang, tapi bila punya waktu luang, sesekali renungkanlah Q.S. Al-Baqarah [2]: 30-33 dan Q.S. Al-Ahzab [33]: 72. InsyaAllah ada pencerahan di sana.

Walakin, saya berani bertaruh bilamana semua keterangan ini jelas sangat tidak memuaskan hasrat keingintahuan Dian Paramita muda yang sedang mencari, dan mencari, dan mencari argumen kebenaran. Sederhana saja, tulisan ini masih sangat bias Muslim, sementara dia telah belajar banyak dari argumen dari agama lain tentang pasal kejadian.

 

Saran Bacaan

Azis Anwar Fachrudin, 2021., Mantiq, Yogyakarta: IRCiSoD.

Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Bandung: Mizan.

Syu’bah Asa, 2000., Dalam Cahaya Al-Qur’an, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.