Diketahui, masyarakat Arab pra-Islam, adalah masyarakat yang hidup di zaman Jahiliyah. Mereka tidak mengenal agama tauhid dan hidup secara nomaden. Pola hidup penduduk Arab berpindah-pindah tempat dari satu wilayah ke wilayah lain, karena faktor geografis. Mereka sering berpindah tempat tinggal yang bisa digunakan bertani dan bertani.
Begitu juga dengan tata susunan masyarakat Arab Jahiliyah. Menurut Nourouzzaman Shiddiqie dalam bukunya “Sejarah Muslim” (1981), masyarakat Arab yang paling bawah dinamakan Clan atau Qaum. Kemah merupakan satu keluarga. Kumpulan dari kemah-kemah membentuk Hayy. Kumpulan Hayy menyusun Clan.
Clan memiliki tali hubungan darah, membentuk sebuah suku yang disebut Qabilah. Semua anggota Clan menganggap dirinya saudara. Menariknya, ‘Ashabiyah (fanantisme) merupakan jiwa dari Clan. Setiap keturunan dari seseorang, maka diberi nama Clannya dengan Banu (anak dari seseorang).
Clan yang diberi nama perempuan memberi petunjuk bahwa orang-orang Arab juga menganut sistem turunan berdasar garis Ibu. Seseorang dapat menjadi anggota suku tertentu dengan syarat beberapa tetes darah dari anggota sejati Clan tersebut.
Seorang budak yang ada dikalangan masyarakat Arab pra-Islam yang dimerdekakan, tetapi masih menggantungkan diri pada keluarga bekas tuannya, maka ia berstatus sebagai Mawla. Sementara itu, orang asing dapat meminta perlindungan pada suatu suku, dan orang yang mendapat perlindungan hukum disebut Dakhil.
Satu suku yang lemah secara keseluruhan meminta perlindungan pada clan yang lebih kuat. Hal lain yang menjadi ciri khas masyarakat Arab yaitu peralatan rumah tangga yang dimiliki oleh satu keluarga. Air, ladang tempat beternak, dan tanah pertanian, adalah milik bersama semua anggota clan yang harus dipertahankan bersama pula, karena hanya kebersamaan clan lah yang dapat melanjutkan kehidupan .
Clan Dipimpin oleh Seorang Syaikh
Setiap clan dipimpin oleh seorang syaikh atau juru bicara. Kemudian syaikh dipilih oleh dan dari kalangan clan yang bersangkutan. Syarat menjadi seorang syaikh, salah satunya, mempunyai kemampuan, kecakapan, sabar, dan berani.
Syaikh bukanlah jabatan turun temurun, karena orang-orang Arab pada umumnya dan orang Baduwi adalah demokrat tulen. Namun sering terjadi seorang syaikh dipilih dari kalangan satu famili tertentu. Seorang syaikh berkewajiban memelihara kebiasaan dan ketertiban masyarakatnya, menjaga kehormatan clan, dan memimpin perang.
Syaikh tidak Mempunyai Kewenangan Menetapkan Hukum
Syaikh harus berkonsultasi dengan majelis clan jika berkaitan dengan keputusan tentang hukum adat, militer, dan masalah kepentingan bersama. Majelis Clan beranggotakan pemimpin keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa seorang Syaikh tidak memiliki kewenangan hukum. Syaikh bisa jatuh dari kedudukannya, jika majelis clan tidak lagi memberikan kepercayaan kepadanya.
Aturan Hukum Masyarakat Arab
Seorang syaikh bertindak sebagai hakam (arbiter) dalam setiap perkara yang diajukan padanya demi memelihara ketertiban masyarakat dan mempertahankan kelanjutan sukunya. Vonis yang dijatuhkan berdasar adat istiadat yang telah berlaku turun temurun. Hal ini karena orang Arab Badui tidak mengenal lembaga hukum.
Wibawa seorang syaikh menjadikan pendapatnya diakui sebagai kebenaran. Vonis paling berat yang dapat dijatuhkan adalah pengusiran ke luar suku. Setiap pengusiran sama dengan tercabut hak untuk mendapatkan perlindungan. Jika tidak mendapat perlindungan hukum dari suku lain, orang yang divonis tersebut bisa jadi mati (dibunuh) tanpa ada orang yang menuntut balas atas kematiannya itu.
Syaikh berkewajiban mencari penyelesaian atas sengketa yang terjadi antar suku demi keselamatan suku. Jika anggota terbunuh, maka syaikhlah yang berkewajiban mengajukan tuntutan pembalasan dendam dan harus dibayar juga dengan darah, atau cukup membayar ganti rugi (diyat).
Hal ini tergantung pada kuat-lemahnya suku yang dihadapi. Bisa juga berdasarkan pertimbangan lain, seperti ada hubungan persahabatan dan lainnya. Syaikh juga berkewajiban menawarkan cara penyelesaian dengan syaikh dari suku yang dirugikan.
Baca Juga: Apa Bedanya Arab Jahiliyah dengan Jahiliyah di Era Modern
Jika pihak dirugikan mau menerima diyat, maka jumlah diyat ini dipikul bersama oleh seluruh anggota suku. Jika diyat tidak terpenuhi, maka seluruh anggota, tanpa memandang siapa yang melakukan kejahatan pembunuhan itu, terancam jiwanya untuk dibunuh. Keadaan inilah yang selalu mengakibatkan timbulnya perang antar suku. Terlebih kondisi sosial politik masyarakat Arab Jahiliyah selalu diwarnai perebutan kekuasaan. (AN)