Bencana alam mungkin menjadi satu momen tersendiri untuk menguji apakah manusia benar-benar memiliki sifat kemanusiaan. Sejak Minggu lalu (1/1), Gereja Kristen Muria Indonesia di Kudus mempersilahkan pengungsi banjir untuk bermukim di ruang aula Gereja. Tidak hanya itu, para pengungsi yang beragama Islam juga diperkenankan untuk melakukan shalat di dalam aula Gereja.
Gereja tersebut menjadi salah satu tempat pengungsian 127 warga korban banjir sejak awal tahun 2023. Seperti yang dikutip BBC Indonesia, total ada sekitar 876 warga yang terpaksa mengungsi. Selain Gereja, banyak warga yang juga mengungsi ke balai desa, sekolah, tempat ibadah, dan Gedung DPRD. Intensitas hujan yang tinggi menyebabkan banjir yang menggenangi sebanyak 22 desa di lima kecamatan di Kudus.
Dalam tafsir liar saya, fasilitas yang diberikan Gereja terhadap umat Muslim saat banjir Kudus tersebut menjadi semacam satire terhadap fenomena korban gempa Cianjur yang menolak bantuan hingga melepas label gereja. Oknum yang terkait merasa bahwa bantuan gereja itu merupakan bentuk propaganda dan kristenisasi terselubung yang dilakukan oleh umat Kristen melalui aksi solidaritas gereja.
Nampaknya, oknum seperti itu tidak ditemukan di Kudus. Mungkin jika mereka ditawari gereja sebagai tempat pengungsian, mereka akan menolak dengan tegas. Lha wong label gereja di tenda bantuan saja dicopot, apalagi disuruh masuk ke bangunan gereja. Padahal yang saya tahu, gereja itu bersih, rapi, dan layak. Kasarnya, tetap terlalu mewah untuk jadi camp pengungsian.
Kudus memang lekat dengan kota toleran. Kultur ini bisa dilacak lewat, misalnya, cerita Kebo Gumarang (kerbau atau sapi piaraan Sunan Kudus) yang dijadikan simbol toleransi karena sang Sunan melarang Muslim di Kudus agar tidak menyembelih sapi karena merupakan hewan suci yang dihormati oleh umat Hindu.
Simbol lainnya juga terlihat dalam bentuk bangunan Masjid Menara Kudus atau Masjid Al Aqsa Manarat Qudus. Bentuk Masjid Menara Kudus yang menyerupai bangunan candi itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat pada saat itu yang masih dipengaruhi budaya Buddha dan Hindu, sehingga arsitekturnya memadukan konsep budaya Islam, Hindu dan Buddha. Di kompleks masjid juga ada delapan pancuran untuk wudhu yang diatasnya terdapat arca yang mengadaptasi keyakinan Buddha. Arca tersebut memiliki arti Delapan Jalan Kebenaran atau Asta Sanghika Marga. Menara masjid ini memiliki bentuk yang menyerupai candi Jawa-Hindu dan terbuat dari bata merah. Menara setinggi 18 meter itu dihiasi 32 piring keramik, sedangkan badan menaranya dibangun dan diukir dengan motif tradisi Jawa-Hindu.
Melalui hikmah Sunan Kudus itu, benih-benih toleransi dibangun. Semangat itu terus lestari generasi ke generasi yang sampai sekarang salah satu manifestasinya adalah Gereja Kristen Muria Kudus. Pengurus gereja setempat mengatakan bahwa fasilitas tersebut merupakan bentuk kepedulian serta penghargaan terhadap kepercayaan dan ibadah umat beragama yang beragam.
Dalam pandangan saya, sikap Gereja Kristen Muria ini melahirkan dua sudut pandang. Dari perspektif pluralisme, aksi tersebut patut diapresiasi sebagai upaya untuk tetap menjaga harmoni di tengah keberagaman. Pengurus Gereja setidaknya menjadi simbol bahwa kerukunan antar umat beragama masih menjadi kultur di Indonesia. Aksi Gereja Kristen menjadi representasi wajah “toleransi” antar umat beragama di Indonesia.
Mengapa saya menggunakan tanda kutip untuk mengapit kata toleransi? Karena faktanya, sikap toleransi kita pada hakikatnya masih timpang. Bagaimana bisa umat Kristen selalu memberikan contoh bertoleransi kepada agama lain, sedang kita masih sibuk dengan kecurigaan. Mulai dari fasilitas Gereja Kristen Jawa Manahan untuk Muktamar Muhammadiyah di Solo, bantuan untuk korban gempa Cianjur, hingga alih fungsi gereja menjadi tempat bernaung.
Jika menggunakan istilah mayoritas-minoritas, seluruh gereja itu hendak mengatakan bahwa sebagai minoritas, kita sudah berbesar hati merangkul. Lalu sebagai mayoritas, apakah kalian sudah “semerangkul” itu? Lagi-lagi, itu hanyalah bahasa liar saya.
Cita-cita ideal bagi kehidupan plural adalah fase di mana saya tidak perlu lagi “mengglorifikasi” sikap toleransi seperti ini. Idealitas itu adalah ketika toleran sudah menjadi aspek yang inheren dengan pluralisme. Jika membincang masyarakat plural, maka ia otomatis membicarakan soal masyarakat yang toleran.
Sekali lagi, aGereja Kristen Muria Kudus memberi kita kesempatan (lagi) untuk belajar bagaimana hidup dalam keberagaman. Bukan ragam identitas itu yang indah, melainkan bagaimana masing-masing identitas itu saling menjaga satu sama lain, terutama Ketika terjadi musibah.