Muktamar Muhammadiyah ke-48: Ruang Kolaborasi Harmonis Lintas Agama di Solo

Muktamar Muhammadiyah ke-48: Ruang Kolaborasi Harmonis Lintas Agama di Solo

Di Muktamar Muhammadiyah, Ketua Umum Haedar Nashir secara tegas telah menyatakan bahwa Muhammadiyah harus berada di garda terdepan dalam perdamaian, toleransi, dan kemajuan peradaban.

Muktamar Muhammadiyah ke-48: Ruang Kolaborasi Harmonis Lintas Agama di Solo

Gereja Kristen Jawa (GKJ) Manahan Kota Solo terlibat dalam mensukseskan Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah ke-48 di Stadiun Manahan. Umat Kristen di Solo mempersilahkan kompleks gedung peribadatan milik mereka untuk digunakan para peserta dan penggembira Muktamar.

Lokasi GKJ kebetulan tidak jauh dari venue pembukaan Muktamar di Stadiun Manahan. Ketika panitia Muktamar menghubungi Gereja untuk meminta Gereja sebagai pos panitia dan tempat istirahat bagi penggembira, pendeta GKJ Manahan, Retno Ratih Suryaning Handayani, sangat menyambut baik permintaan itu. Pendeta Retno mengatakan bahwa keterlibatan Gereja dalam acara Muktamar merupakan bagian dari kolaborasi antar umat beragama.

GKJ Manahan menyiapkan gedung serbaguna di samping bangunan Gereja. Gedung itu akan berfungsi sebagai hall, aula, kamar mandi, dan klinik darurat. Pendeta Retno juga akan menggerakkan jemaat GKJ Manahan untuk membantu peserta dan penggembira Muktamar.

Selain GKJ Manahan, kompleks SD Kristen Manahan dan SD Kalam Kudus juga akan dimanfaatkan. SD Kalam Kudus menyediakan ruang kelas sebagai tempat menginap bagi para penggembira Muktamar. Umat Katholik Solo pun turut menyumbangkan kontribusi. Ketua Komisi B Hubungan Antar Umat Agama dan Kepercayaan Kevikepan Surakarta, Romo Alexander Joko Purwanto, mengatakan bahwa ia akan menyiapkan Gereja-gereja dan sekolah Katholik sebagai tempat transit bagi para penggembira, misalnya SMA Ursulin dan SMA St. Yosef yang jaraknya tidak jauh dari lokasi pembukaan Muktamar.

Menarik mengamati bagaimana karakter Muhammadiyah dan Kota Solo dalam konteks hubungan antar agama ini. Sejak awal berdiri pada 1912, Muhammadiyah tidak memposisikan diri sebagai gerakan politik, melainkan gerakan sosial keagamaan. Karakter Muhammadiyah adalah mencerahkan, mereformasi, mendobrak kebekuan dan keterbelakangan berpikir dalam umat Islam. Muhammadiyah sangat menganjurkan penggunaan akal pikiran untuk berijtihad dan menafsir ulang ajaran-ajaran Islam. Berdasarkan prinsip ini, Muhammadiyah sangat menekankan pengembangan lembaga pendidikan modern. Hasilnya, hingga tulisan ini ditulis, Muhammadiyah memiliki lebih dari 170 Perguruan Tinggi, 1.364 SMA sederajat, 1.826 SMP sederajat, 2.817 SD sederajat, 20.233 TK, Paud, dan Kelompok Bermain, serta 440 Pesantren.

Kepedulian terhadap lembaga pendidikan ini mencerminkan semangat Muhammadiyah untuk mengembangkan wawasan berpikir umat Islam. Dalam kaca mata Muhammadiyah, umat Islam tidak usah ragu untuk mengkonsumsi ilmu pengetahuan yang datang dari berbagai pusat peradaban untuk dikembangkan bagi kepentingan rakyat Indonesia.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, secara tegas telah menyatakan bahwa Muhammadiyah harus berada di garda terdepan dalam perdamaian, toleransi, dan kemajuan peradaban. Pernyataan ini sejalan dengan prinsip Muhammadiyah sejak awal ia berdiri dan berusaha untuk diimplementasi secara baik di venue Muktamar ke-48 di Solo.

Solo, menurut saya, adalah kota yang unik. Meskipun tidak menyimpan segudang tempat wisata seperti Jogja, Solo relatif sukses menjadi wadah perjumpaan lintas agama dan ideologi. Meskipun kadang masih menyisakan sedikit tensi, namun Solo selalu disorot sebagai kota percontohan pengelolaan keberagamaan di Indonesia.

Solo menjadi semacam etalase berbagai paham keagamaan, dari yang inklusif hingga eksklusif, dari yang liberal hingga radikal. Tentu ragam pola berpikir itu sering melahirkan gesekan. Namun Solo nampak selalu menemukan cara untuk meredam tensi-tensi itu. Ada yang mengatakan bahwa Solo adalah kotanya para sumbu pendek. Asumsi itu tidak sepenuhnya benar karena pada kenyataannya, branding Solo sebagai kota yang komitmen terhadap toleransi dan persaudaraan masih melekat kuat.

Solo, misalnya, menjadi tuan rumah untuk acara World Peace Forum (WPF) ke-8 pada 17-18 November 2022. Acara tersebut akan dihadiri tokoh lintas agama dan cendekiawan dunia. WPF ke-8 mengusung tema yang menonjolkan semangat persaudaraan kemanusiaan, berbunyi “Human Fraternity and the Middle Path for Peaceful,  Just and Prosperous World” yang dikemas dalam format diskusi saling berbagi gagasan (sharing ideas and discussion). WPF mengundang para tokoh dan pemuka agama lslam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu, serta kalangan akademisi, intelektual, media, negarawan, pengusaha, dan politisi dari berbagai negara.

Keterlibatan para tokoh non-Islam dalam Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah ke-48 yang sedang berlangsung saat ini turut memperkuat branding Solo sebagai kota yang sangat concern terhadap perdamaian dan harmoni antar umat beragama. Semangat Kota Solo yang direpresentasikan oleh para tokoh Kristen dan Katholik ini sejalan dengan pernyataan Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, soal perdamaian dan toleransi.

Seperti dawuh Waketum PBNU, KH. Zulfa Mustofa, Muhammadiyah adalah saudara tua bagi Nahdhatul Ulama. Dalam hal ini, Muhammadiyah mampu menjadi penegas soal prinsip toleransi dan moderasi beragama yang selama ini diperjuangkan oleh NU. Prinsip toleransi yang ditampilkan dalam Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah ke-48 mampu menjadi salah satu momentum penguatan relasi antar umat beragama, bukan hanya di Kota Solo, namun juga di Indonesia.

Prinsip ini juga ditegaskan Presiden Joko Widodo dalam sambutannya di acara pembukaan Muktamar Muhammadiyah di Stadiun Manahan (19/11). Presiden menuturkan bahwa melalui ribuan institusi yang dimiliki, Muhammadiyah diharapkan mampu secara konsisten menyebarkan Islam yang berkemajuan, Islam yang penuh dengan nilai-nilai toleransi, Islam yang menjaga persatuan, Islam yang menjaga persaudaraan dan perdamaian, sesuai dengan ajaran Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.

Yang paling penting, relasi harmoni antar umat beragama di Indonesia jangan hanya dilihat dalam kasus-kasus umat non-Islam yang memfasilitasi kegiatan umat Islam, namun juga umat Islam yang secara lapang dada memfasilitasi aktifitas keagamaan umat agama lain. Relasi lintas agama yang ideal harus bersifat resiprokal, tidak menguntungkan satu pihak semata.