“Sambut Kebangkitan Khilafah Islamiyah.” Begitulah tulisan yang terpampang pada salah satu rombongan konvoi Khilafatul Muslimin di Jakarta beberapa hari lalu. Tulisan itu tertulis di papan yang menempel pada punggung salah seorang pengendara konvoi berbaju hijau, warna kebesaran Khilafatul Muslimin.
Khilafatul Muslimin diinisiasi oleh Abdul Qadir Hasan Baraja. Ia lahir pada tanggal 10 Agustus 1944 di Taliwang, Sumbawa. Ia juga yang mencetuskan Darul Islam di Lampung pada tahun 1970, dan termasuk salah satu pendiri Pondok Pesantren al-Mukmin Ngruki di Surakarta.
Baraja mendirikan Khilafatul Muslimin pada tahun 1997 yang bertujuan untuk melanjutkan kekhalifahan Islam yang terhenti karena keruntuhan Turki Utsmani. Ia juga ikut ambil bagian dalam mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia pada bulan Agustus 2000, tetapi tidak aktif menjadi anggota MMI (Majelis Mujahidin Indonesia).
Perlu diketahui, konsep khilafah yang dibawanya bukan dalam pengertian mengganti pemerintahan Indonesia dengan sistem Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah laiknya cita-cita HTI. Ia hanya berambisi untuk mempersatukan umat Islam dalam satu komando tanpa mengintervensi pemerintah dan ideologi negara.
Baraja menganalogikan konsep persatuan umat ini dengan umat Katolik yang mempunyai satu pemimpin utama, yaitu Paus, di Roma Italia. Sosok Paus ini menjadi icon utama umat Katolik di seluruh dunia sehingga tidak terpecah-pecah. Namun, Paus tetap tidak ikut campur dalam pemerintahan Italia, ia hanya menjadi simbol bagi seluruh umat Kristen yang tersebar di berbagai negara di dunia.
Baraja membayangkan, Islam juga akan mempunyai satu simbol, satu pemimpin utama yang menjadi simbol persatuan umat, yaitu khalifah. Ia kemudian mendirikan Khilafatul Muslimin untuk mewujudkan misinya tersebut, di mana ia langsung didaulat oleh pengikut-pengikutnya menjadi amirul mukminin atau khalifah. Sepertinya penyematan gelar tersebut terinspirasi dari khalifah Umar bin Khatab yang menyandangnya untuk pertama kali.
Hari Selasa (31/5), mereka melakukan konvoi dengan tajuk “Menyambut Kebangkitan Khilafah”. Seperti yang kutip oleh CNN Indonesia, Amir Khilafatul Muslimin DKI Jakarta, Abudan, mengakui bahwa kegiatan itu merupakan agenda rutin untuk mensyiarkan khilafah sebagai bagian dari ibadah.
Terlepas dari apapun motif konvoi itu, saya sedikit skeptis dengan pemaparan Baraja terkait gagasan khilafahnya. Ia mengatakan bahwa ia tidak akan melakukan makar atau memberontak negara. Berkaitan dengan hal ini, saya terfokus pada pengendara konvoi lain yang menggendongg papan bertuliskan “Jadilah Pelopor Penegak Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah”. Saya mempertanyakan satu diksi dan satu frase dalam kalimat tersebut, yaitu “pelopor” dan “Minhajun Nubuwwah”.
Apa yang dimaksud “pelopor’ dalam benak simpatisan konvoi itu? Yang saya pahami, pelopor berarti dia yang merintis, yang membuka jalan, pionir, atau yang berjalan di depan. Dalam konteks Khilafatul Muslimin, apakah pelopor artinya ia yang mula-mula menjadi khalifah? Bukankah Baraja sudah mengklaim diri jika ia adalah khalifah dari Khilafatul Muslimin? Jika khilafah berarti “satu komando”, maka apakah “pelopor” bisa diartikan sebagai penggerak massa untuk mengafirmasi Baraja sebagai khalifah yang sudah didaulat sebagai amirul mukminin? Jika benar demikian, maka sungguh sangat politis sekali.
Frase “Minhajun Nubuwwah” juga nampak problematis. Narasi Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah memang tersebut dalam hadis Nabi Muhammad. Namun, Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah itu merujuk pada periode Khulafaur Rasyidin yang berlangsung selama 30 tahun yang di mulai dari khalifah Abu Bakar hingga Ali bin Abi Thalib. Padahal, khilafah era itu jelas mempunyai sistem politik dan berbentuk pemerintahan, dan khalifahnya berfungsi sebagai kepala negara atau pemerintahan, bukan sekedar mempersatukan umat Islam saja.
Itu jika merujuk pada hadis Nabi.
Jika merujuk pada sirah Rasulullah, Islam dan umat Muslim pada waktu itu memang berkiblat kepada Nabi selaku utusan yang langsung dipandu oleh wahyu Allah. Jadi dalam seluruh aspek kehidupannya, umat Islam pada masa sahabat wajar, bahkan wajib, merujuk Nabi sebagai role model dan sumber otoritatif dalam kehidupan sosial keagamaan. Jadi khilafah dengan mengikuti minhaj itu minhaj yang mana? Apakah sekedar simbol secara personal? Atau simbol secara moral?
Saya melihat bahwa ambisi Baraja mempersatukan umat Islam di sini hanya dalam tataran simbol personalitas saja, bukan dalam hal yang lebih substansial yaitu Nabi sebagai simbol moral dan ajaran Islam. Dalam bahasa lain, umat Muslim seluruh dunia mengacu pada Rasulullah sebagai sumber ajaran moral dan akhlak. Artinya, sosok ikon pemersatu umat Islam di seluruh dunia di era sekarang rasanya tidak ada urgensinya.
Kita bisa meniru sifat-sifat Islam yang santun dalam diri guru-guru kita tanpa harus menasbihkannya sebagai khalifah pemersatu umat. Para wali-wali dan para habib yang mewarisi sifat-sifat luhur Rasulullah itu bisa kita jadikan kiblat moral kita tanpa harus melantik mereka sebagai ikon Muslim internasional.
Saya hanya takut, jika pada akhirnya Khilafatul Muslimin ini terealisasi dan Baraja akan menjadi khalifahnya, ia akan cenderung terlena dalam gelar mulia itu. Term khalifah bukan hanya sekedar term politik, namun juga term yang lekat dengan nilai-nilai moral mengacu pada al-Qur’an dan Hadis.
Pada akhirnya, mempertanyakan motif konvoi menjadi kurang relevan. Yang lebih esensial adalah mempertanyakan urgensi visi misi Khilafatul Muslimin itu. Bentuk persatuan Islam apa lagi yang ingin digunakan ketika Pancasila sudah mampu mengakomodir seluruh perbedaan masyarakat Indonesia?
Wa ba’du, persatuan Islam di dunia akan terwujud ketika agama Islam mampu menjadi ajaran yang menjamin keamanan dan kesejahteraan kepada masyarakat di sekitarnya. Bukan malah menebar teror dan propaganda.
*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT