Dalam 2 hari terakhir, media sibuk memberitakan dua agenda aksi mengarah terorisme. Pertama adalah penangkapan seorang tersangka tindak pidana terorisme berninisial HOK, berusia 19 tahun. HOK yang berstatus sebagai pelajar ditangkap Densus 88 Anti teror pada Rabu (31/7) pukul 19.15 malam.
Berdasarkan hasil penyelidikan, dilansir Kompas, tersangka diketahui berencana melakukan aksi teror bom bunuh diri dengan menggunakan bahan peledak jenis TATP (Triacetone Triperoxide). TATP adalah bahan peledak yang cukup mudah dibuat. Dengan rakitan bom sederhana itu, ia berencana melakukan bom bunuh diri di dua tempat ibadah yang berada di kota Malang.
Berita kedua adalah penangkapan seorang terduga teroris di Stasiun Solo Balapan. Diperoleh informasi, menyadur iNews, terduga teroris itu ditangkap membawa bom aktif di Kereta Api (KA) Gajayana. Terduga teroris itu naik KA dari Malang. Sampai artikel ini ditulis, belum diketahui motif dan titik lokasi teror yang akan dituju.
Belum lagi penangkapan terduga teroris lain yang masif sejak Januari 2024. Ada yang terafiliasi Jamaah Islamiyah, Daulah Islamiyah, Jamaah Ansaru Tauhid, bahkan ISIS.
Berbagai peristiwa ini menyarikan satu premis penting bahwa ancaman teror berbasis ideologi agama masih rentan mengintai di depan mata. Laporan mengenai zero terrorism attack pada tahun 2023 jangan selalu dibincang sebagai pencapaian, tetapi sebagai alarm bahwa aliran air yang tenang juga tetap menyimpan potensi bahaya.
Terdapat dua doktrin ‘sakral’ yang sering kali mendasari aksi-aksi terorisme berbaju ideologi agama, yaitu ‘kafir’ dan ‘jihad’. Lihat saja motif terduga pelaku terorisme di Batu Malang itu. Ia tidak akan sampai meledakkan diri di rumah ibadah kalau ia tidak meyakini bahwa orang di luar agamanya itu ‘kafir’.
Mengutip Kompas, yang bersangkutan terpapar radikalisme di media sosial. Ia mengalami apa yang disebut self-radicalization atau swa-radikalisasi.
Artinya, ia mungkin saja ia terjebak pada echo chamber radikal yang memuat propaganda ‘siapa kelompok kafir’ dan ‘bagaimana seharusnya menghadapi yang kafir’. Aktivisme itu dikemas melalui dalil-dalil kemuliaan ‘jihad’.
Remaja 19 tahun seperti HOK sebetulnya adalah makanan empuk jaringan teror. Ia adalah target utama propaganda dengan memanfaatkan fase pencarian identitas yang lazim dijalani oleh seseorang dalam kelompok umur tersebut.
Swa-radikalisasi itu akhirnya mengkristal menjadi ideologi ekstremis. Ia hanya perlu menemukan mentor yang nantinya akan mengarahkannya kepada tindakan ekstrem seperti bom bunuh diri dan semacamnya. Jika sudah masuk dalam fase bom bunuh diri (suicide bombing), biasanya seorang teroris sudah sangat yakin bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kebenaran.
Apa yang dilakukan ZA (25), pelaku teror Mabes Polri yang merupakan simpatisan ISIS, juga merupakan buah keyakinan bahwa ia sedang melaksanakan mandat ketuhanan. Idealisme ini adalah fondasi militansi seseorang dan susah dihancurkan.
Bulan lalu, banyak pihak mengira potensi ancaman teror akan berkurang menyusul bubarnya Jamaah Islamiyah dan ikrar para petingginya kepada NKRI. Memang benar. Nyaris setengah tragedi teror besar yang terjadi di Indonesia adalah tanggung jawab kelompok bentukan Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar ini. Bahkan Undang-Undang Terorisme lahir utamanya adalah untuk merespon ulah Jamaah Islamiyah ini. UU Terorisme ini akan tetap relevan mengingat aksi terorisme masih merajalela meskipun Jamaah Islamiyah sudah membubarkan diri.
Tetapi akibat banyak penangkapan terduga teroris ini, banyak pihak yang jadi ragu akan pembubaran JI yang juga terkesan tiba-tiba dan terlalu diglorifikasi. Beberapa kalangan sangsi akan ‘ketulusan’ pembubaran JI dengan mangaitkannya kepada berbagai hal, dari mulai pengamanan aset pendidikan hingga strategi taqiyyah (penyamaran).
Untuk mengantisipasi keraguan itu, penting untuk melakukan pengawalan lanjutan setelah deklarasi pembubaran, utamanya terkait jaringan yang terafiliasi (langsung atau tidak langsung) kepada JI, terutama kader-kader pemuda JI yang sudah kadung militan.
Terlepas dari apakah agenda teror terduga teroris di Batu dan Solo berkaitan atau tidak, masyarakat perlu menyadari bahwa Indonesia masih belum aman dari propaganda radikal terorisme melalui media sosial.
Swa-radikalisasi masih menghantui pemuda-pemuda bangsa. Apalagi saat ini, kecerdasan buatan (AI) sudah mulai dilibatkan sebagai medium penyampai pesan. Kelompok teror internasional seperti Al-Qaeda dan ISIS mulai menyadari bahwa deepfake dan chatbot GPT dapat menunjang efektifitas propaganda jaringan teror melalui dunia maya.
Media sosial harus dipenuhi dengan interpretasi tandingan soal konsep-konsep kunci yang disalahgunakan kelompok teror. Sembari mengajak kedua generasi tersebut secara pro-aktif menormalisasi pesan-pesan damai melalui teknologi yang mutahir. Gen Z dan Alpha adalah dua generasi utama yang kudu diproteksi. Keduanya dianggap generasi kunci yang akrab dengan digitalisasi.