Sudah hampir delapan bulan sebagian besar masyarakat Indonesia disibukkan dengan perdebatan yang terjadi antara dua pendukung pasangan capres dan cawapres yang berkontestasi dalam perhelatan pemilu tahun ini. Perdebatan tersebut tidak hanya terjadi di dunia maya, namun, terkadang menjadi topik hangat yang selalu menjadi buah pembicaraan di dunia nyata. Buah dari perdebatan tersebut berujung pada polarisasi masyarakat, menjadi dua kelompok, kelompok pendukung 01 yang akhirnya mendapatkan julukan “cebong” dari kelompok 02, serta kelompok pendukung 02 yang nantinya lebih sering disebut “kampret” oleh kelompok 01.
Bahkan, polarisasi yang terjadi tidak hanya dalam tataran masyarakat pada umumnya saja. Pada ulama/ahli agama mereka pun mempolarisasinya. Satu kelompok ulama dianggap sebagai ulama yang ikhlas, sedangkan kelompok ulama lain dianggap ulama yang haus akan jabatan. Polarisasi ulama seperti inilah, yang pada akhirnya selalu digunakan oleh salah satu pendukung paslon bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah mengikuti ulama, sedangkan pendukung paslon lainnya bukanlah orang-orang yang mengikuti ulama yang ikhlas, karena ulama yang ikhlas hanyalah mereka yang mendukung paslon pilihannya.
Sejatinya polarisasi masyarakat yang penuh dengan narasi tendensius ini bisa mengancam persatuan masyarakat indonesia. Hal ini terlihat, dari adanya dugaan kasus (meskipun masih bersifat isu) tentang terjadinya perceraian antara suami dan istri hanya karena berbeda pilihan, bahkan, terjadinya kasus pilah pilih masyarakat dalam memberikan penghormatan terhadap ulama/tokoh agama, padahal, bangsa ini, dengan tradisi pesantrennya dan budi luhurnya terhadap para alim ulama, terkenal dengan menghormati ulama tanpa pilah pilih ulama mana yang harus dihormati.
Awalnya, perkiraan saya, panasnya perdebatan antara pendukung 01 dan pendukung 02 akan berakhir setelah pemilu dilaksanakan. Namun, kenyataan di lapangan malah berbalik 120 derajat dari perkiraan saya. Pasca pemilu, khususnya setelah quickcount diumumkan perdebatan malah semakin menjadi-jadi, muncullah dugaan bahwa paslon petahana yang dimenangkan oleh QC melakukan kongkalingkong dengan lembaga-lembaga pelaksana QC untuk menebar opini bahwa petahana yang memenangkan pemilu berdasarkan hasil QC, yang dalam realita pendukung paslon 02, merekalah yang menang sesungguhnya berdasarkan lembaga survei internal BPN Prabowo Sandi.
Lebih parah lagi, ketika data yang masuk KPU memang memenangkan paslon petahana (walaupun data belum masuk secara keseluruhan), dan ada terdapat beberapa kesalahan input data oleh pegawai KPU yang tidak sesuai dengan form C1, muncullah dugaan KPU, Bawaslu, dan lembaga yang harusnya menjadi wasit, malah ikut bermain dalam pemilu kali ini, apalagi dugaan tersebut disertai dengan unduhan-unduhan video yang sebagiannya (mungkin) bisa menjadi bukti, namun sebagian lainnya masih perlu ditanyakan. Karena, ada satu video yang saya lihat secara full, yang turut dishare sebagai bukti atas dugaan kecurangan KPU dalam pemilu kali ini, namun sepertinya video itu adalah video tentang pilkada di Lampung, jika dilihat dari isi perdebatannya.
Bahkan, untuk meyakinkan publik tentang kemenangan paslon 02 yang didukungnya (tanpa tahu siapa yang memulai), mereka menantang pendukung paslon petahana untuk juga menshare dokumentasi C1 yang membuktikan bahwa paslon petahana unggul atas paslon yang mereka dukung, sambil ditambahkan narasi “petahana hanya unggul di QC, dan paslon kami unggul di RC, ini buktinya (beberapa dokumentasi form C1), jika memang berani ayo tampilkan form C1 yang memenangkan paslon petahana”.
Melihat narasi seperti itu, saya hanya ingin mengatakan yang offside untuk tidak memposisikan diri di posisi yang tidak tepat, bukan hanya KPU dan Bawaslu (dalam dugaan mereka), tapi mereka juga telah melakukan offside karena tidak memposisikan diri mereka di posisi yang tepat. Setiap paslon pasti memiliki tim saksi untuk mencatat setiap dugaan kecurangan yang ada, dan itu sudah cukup, tak perlu setiap pendukung bertindak sebagai wasit dalam kontestasi pemilu ini, percayakan semuanya kepada mereka yang menjadi wasit dalam kontestasi ini.
Jika nanti mereka tidak puas dengan hasil akhir ada jalan lain untuk menggugat, yaitu melalui MK. Namun, jika MK juga sudah tidak dipercaya entah siapa yang bisa dipercaya. Karena jika semua pendukung bertindak sebagai wasit dan mengklaim paslon yang didukungnya adalah yang menang, maka disana terdapat potensi konflik antar dua pendukung. Karena yang memiliki pendukung militan, bukan hanya satu kubu, tetapi keduanya.
Teringat dawuh Rasulullah SAW “Jika urusan diserahkan bukan pada ahlinya maka tunggulah kehancuran yang akan terjadi” serta dawuh syeikh Ibnu Athailah As-sakandari “…..keinginanmu untuk ikut-ikutan terlibat dalam sebuah aktivitas, padahal Tuhan tak memposisikanmu pada maqam tersebut itu adalah bentuk kemerosotan”. Dari dawuh Rasulullah SAW dan syeikh Ibnu Athailah, kita harus bisa mengukur diri apakah kita pantas untuk menjadi wasit dalam kontestasi ini? Karena informasi yang sampai kepada kita tidaklah komprehensif. Dan apakah kita pantas ikut-ikutan beraktivitas menghakimi siapa yang menang ? padahal itu bukan kapasitas kita.
Sebagai penutup, saya berterima kasih kepada KPU, Bawaslu, dan semua lembaga yang mensukseskan hajatan pesta demokrasi kita, namun, untuk kpu, saya mohon berusahalah agar tidak terjadi lagi kesalahan input data yang bisa melahirkan praduga publik bahwa KPU ikut bermain, serta bertindaklah jurdil. Dan untuk para pendukung paslon, mari kita terima apapun hasil yang diputuskan nantinya, dan jika kita tidak puas dengan keputusan akhirnya, tim khusus yang disiapkan para paslon bisa mengajukan banding dengan bukti-bukti yang ada, tak perlu kita yang ikut-ikutan menumpahkan emosi kekecewaan kita, yang nanti malah menjerumuskan kita kepada tindakan inkonstitusional, yang bisa menggangu stabilitas negara tercinta, padahal stabilitas sebuah negara, adalah syarat mutlak berjalannya kehidupan bernegara. Tabik