Analisis Kenapa NU Disebut Mengerahkan Struktur Ke Salah Satu Paslon, Kok Bisa?

Analisis Kenapa NU Disebut Mengerahkan Struktur Ke Salah Satu Paslon, Kok Bisa?

Analisis Kenapa NU Disebut Mengerahkan Struktur Ke Salah Satu Paslon, Kok Bisa?
Ketua Umum PBNU, K.H. Yahya Cholil Staquf, saat menyampaikan pidato di puncak Resepsi Harlah Satu Abad NU.

Ke paslon mana NU melabuhkan dukungannya di Pilpres tahun 2024 ini?

Arah dukungan Nahdhatul Ulama (NU), salah satu organisasi masyarakat (Ormas) Islam terbesar di Indonesia, ini selalu ramai didiskusikan, dipertanyakan, hingga dinegosiasikan. Bahkan, dukungan NU juga sering muncul di “bisik-bisik” masyarakat di warung kopi untuk menimbang kekuatan calon-calon yang sedang berlaga di kontestasi politik. Maka, status sebagai warga NU biasanya diklaim cukup ampuh untuk menarik dukungan masyarakat.

Selain itu, pertanyaan di atas, diakui atau tidak, jelas menjadi perbincangan publik, atau malah pernah terlintas di benak kita sendiri. Soal dukungan NU ini biasanya berbagai “kabar angin” menyertainya. Publik biasanya sering menebak siapa calon yang didukung NU, dari simbol, gestur, hingga kabar burung. Walaupun, sedikit sekali warga yang memiliki keinginan untuk mengecek atau menindaklanjutinya.

Premis “NU itu Netral” bukan barang asing. Ia pernah dilontarkan dan terus diulang-ulang setiap pertanyaan soal arah dukungan NU di kontestasi politik. Gus Yahya (KH. Yahya Cholil Staquf) sebagai ketua Tanfidziyah PBNU berkali-kali menegaskan premis tersebut.

Namun, beberapa hari ini, pendirian pengurus PBNU di bawah Gus Yahya terkait sikap netral dalam konstelasi politik di tahun 2024 mulai diragukan publik. Pasca siniar (baca: podcast) Mojok yang menghadirkan KH. Nadirsyah Hosen (Gus Nadir) mulai direproduksi dan disebar di berbagai akun TikTok dan Instagram.

Dalam siniar tersebut, Gus Nadir menyebut ada indikasi pengurus PBNU mendorong jaringan strukturnya hingga tingkat paling bawah, untuk mendukung salah satu paslon, dalam hal ini disebut pasangan Prabowo-Gibran. Koran Tempo edisi 22 Januari 2024 kemarin menurunkan beberapa laporan yang menegaskan pernyataan Gus Nadir tersebut.

Gus Nadir menceritakan kronologi sebuah pertemuan yang dihadiri oleh pengurus NU, mulai dari pengurus besar hingga ranting, di kota Surabaya. Dalam pertemuan tersebut, PBNU terindikasi mendorong para pengurus hingga ke tingkat ranting menggunakan “kekuatan” mereka dalam memenangkan paslon yang mereka dukung.

Pertemuan tersebut dikritik oleh Gus Nadir, dengan mengajukan beberapa alasan, dari kenapa mendukung paslon yang tidak memiliki latar belakang NU yang kuat, hingga mengapa tidak ada mengajukan dalil fikih sebagaimana biasanya dilakukan oleh PBNU setiap mengeluarkan fatwa atau perintah.

NU adalah lumbung besar suara. Laporan yang diturunkan oleh Koran Tempo pada 22 Januari 2024 kemarin mencantumkan pernyataan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Kamaruddin, mengatakan bahwa NU selalu ditarik ke gelanggang politik elektoral karena memiliki basis massa terbesar di Indonesia. Selain itu, faktor kyai-santri yang biasanya menuntut kepatuhan dapat menjadi jaminan raupan suara yang besar.

Dalam sejarah politik Indonesia, NU pernah dua kali terlibat aktif, yakni di tahun 1955 dan 1999. Di tahun 1955, NU menjadi partai politik dan mendapatkan posisi ketiga di bawah PNI dan Masyumi. Adapun di tahun 1999, NU terlibat aktif dalam melahirkan PKB, yang berlaga di kancah politik nasional hingga hari ini.

Namun, keterlibatan aktif NU, sebagai organisasi, di kancah politik Indonesia sebenarnya terbilang kecil jika dibandingkan pergerakan NU di ranah sosial. Mengapa? Setiap irama politik nasional mulai menarik-narik NU cukup kuat, maka seruan di akar rumput akan menggema, “Kembali ke Khittah NU 1926,” tak terkecuali di tahun 2024 ini.

Apa itu Khittah NU 1926? Secara umum, dikutip dari NU Online, istilah tersebut merujuk pada garis, nilai-nilai, dan model perjuangan NU yang dipondasikan pada tahun 1926 ketika NU didirikan. Pondasi perjuangan NU tahun 1926 adalah sebagai gerakan sosial-keagamaan. Walaupun, usaha mengembalikan NU ke khittah tidak ditafsirkan beragam.

Kyai Al-Zastrouw Ng pernah menulis artikel berjudul, Khittah NU untuk Siapa. Di tulisan tersebut, beliau menjabarkan bahwa istilah tersebut tidak boleh diartikan sempit, yakni sikap melepaskan diri dari politik formal. Namun, menurut beliau, Khittah harus diimplementasikan menjadi sikap dan aksi keterlibatan aktif dalam beragam persoalan sosial keagamaan yang dihadapi umat.

Lebih jauh, Kyai Al-Zastrouw Ng juga menegaskan bahwa NU, organisasi dan aktivisnya, harus menjadi pelindung rakyat kecil -yang notabene juga warga NU- yang terkena dampak pembangunan. Hari ini, kondisi politik kita yang sedang tidak baik-baik saja, seharusnya menjadi momentum bagi NU bisa terlibat aktif dalam menghadang beragam dampak destruktif kondisi politik hari ini.

Peran aktif NU sebagai gerakan sosial pernah ditegaskan Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid). Di sebuah wawancara, Gus Dur pernah menyebutkan bahwa, “NU memakai instrumen moral untuk menciptakan orientasi politik yang benar. Bagi Gus Dur, orientasi politik itu harus menegakkan keadilan, baik sosial, politik, ekonomi maupun hukum dalam bentuknya paling konkret.

Dari penjabaran Gus Dur, kita bisa belajar bahwa NU seharusnya menjunjung tinggi moral untuk menghadirkan politik yang berkeadilan. Namun, jika melihat hari ini, politik kita banyak diwarnai aksi-aksi yang malah merusak tatanan politik berkeadilan, yang terlihat malah politik haus kekuasaan dan kerakusan belaka.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin