Kriteria Pemimpin dalam Referensi Klasik Islam

Kriteria Pemimpin dalam Referensi Klasik Islam

Orang yang tidak disiplin atas perintah dan larangan Allah sangat sulit dipercaya untuk mengurus hal lain di luar dirinya. Termasuk juga orang yang tidak dapat mengendalikan nafsu amarahnya.

Kriteria Pemimpin dalam Referensi Klasik Islam

Ada baiknya sebelum memilih pemimpin, kita tengok terlebih dahulu kriteria-kriteria pemimpin ideal yang pernah disebutkan para ulama klasik.

Dalam memilih pemimpin, Islam tidak pernah menyebutkan nama secara langsung, tetapi hanya memberikan kriteria-kritera yang ideal, baik keistimewaan secara personal maupun keistimewaan secara eksternal. (Imam Al-Ghazali, Al-Iqtishad fil I’tiqad, Beirut, Darul Fikr, 1417 H/1997 M: 169).

Ulama besar dan juga hakim agung dari Mazhab Syafiiyah, Imam Al-Mawardi (Abad Ke-10 M) dalam karyanya yang sangat terkenal di bidang tata negara, Al-Ahkamus Sulthaniyyah, menyebut tujuh kriteria pemimpin negara yang menjadi acuan dalam memilih kepala negara.

Perlu diketahui, tren suksesi zaman itu hanya mengenal dua bentuk, yaitu (1) kepala negara yang dipilih oleh ahlul halli wal aqdi, sejenis dewan agung yang memiliki hak untuk mengangkat dan memberhentikan kepala negara; dan (2) kepala negara yang ditunjuk oleh kepala negara sebelumnya (istikhlaf).

Banyak orang memiliki pandangan berbeda perihal syarat atau kriteria pemimpin. Tetapi berikut ini adalah tujuh syarat (muktabarah) pemimpin menurut catatan Imam Al-Mawardi:

1. Adil, yaitu memiliki rekam jejak yang baik (nanti akan dijelaskan lebih lanjut).

2. Ilmu yang menjadi sarana baginya untuk mengambil langkah-langkah darurat dan mengambil kebijakan; ilmu tingkat mujtahid.

3. Kelengkapan dan fungsi pancaindra yang baik.

4. Kelengkapan jasmani atau anggota badan yang mendukung mobilitas fisiknya.

5.Visi dan wawasan kenegaraan yang memadai dalam membuat kebijakan publik dan menciptakan kemaslahatan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

6. Keberanian dan ketangkasan menjaga kedaulatan tanah air dan menaklukkan musuh.

7. Nasab Quraisy berdasarkan hadits Nabi Muhammad saw untuk memprioritaskan bangsa Quraisy dalam masalah kepemimpinan. (Al-Mawardi, Al-Ahkamus Sulthaniyyah, Beirut, Darul Fikr: 1380 H/1960 M: 6).

Kontroversi syarat ketujuh

Abdul Wahab Khallaf pakar hukum Islam Abad Ke-20 memberikan catatan atas tujuh syarat pemimpin yang disebutkan Al-Mawardi. Khallaf memberikan catatan terkait relevansi tujuh poin tersebut.

وأما الشروط الستة الأولى من العدالة والعلم وسلامة الحواس وسلامة الأعضاء والرأي والشجاعة فظاهر اشتراطها وكلها ترجع إلى العدالة والكفاية والقدرة على حمل المسلمين ان يتبعوا قانونهم ومنع غيرهم ان يعتدى عليهم وكلها لا بد منها ليقوم الإمام بواجبه من حراسة الدين وسياسة الدنيا

Artinya, “Enam syarat pertama pemimpin, yaitu adil, ilmu, sehat pancaindra, sehat jasmani, visi, dan keberanian, itu semua sudah klir. Semuanya merujuk pada keadilan, kecakapan, dan kemampuan untuk mengondisikan warga negara taat pada regulasi dan memastikan pihak lain tidak menganiaya warga negaranya. Semua syarat itu dibutuhkan agar kepala negara dapat menjalankan kewajibannya, yaitu menjamin kebebasan beragama dan memenuhi kebutuhan duniawi,” (Abdul Wahab Khallaf, As-Siyasatus Syar’iyyah aw Nizhamud Daulah Al-Islamiyah, Beirut, Book Publisher, 1437 H/2016 M: 48).

Khallaf mengkritisi syarat ketujuh yang menjadi kriteria pemimpin. Menurutnya, kriteria ketujuh diperselisihkan para ulama (ikhtilaf) karena ketidakpastian kualitas riwayat hadits yang menyebut nasab Quraisy sebagai syarat pemimpin selain banyaknya dalil agama yang mengabaikan nasab dan menolak fanatik sektarian berdasarkan ras, tetapi pada kontribusi sosial dan variabel lain yang lebih substantif. Kalau pun ras Quraisy itu disyaratkan, itu harus dibaca pada konteks zamannya dan bukan tujuan utama. Sementara kita tahu bahwa hukum Islam dibangun bukan untuk satu generasi, zaman, dan kelompok bangsa tertentu. (Khallaf, 1437 H/2016 M: 48).

Ulama besar Mazhab Syafiiyah, Imam Haramain (Abad Ke-10 M), juga membuat catatan perihal kriteria pemimpin yang harus diperhatikan oleh dewan Ahlul Halli wal Aqdi atau oleh pemimpin sebelumnya berdasarkan istikhlaf. Imam Haramain membagi empat jenis kriteria pemimpin.

1. Kriteria pemimpin perlu ditinjau dari kesehatan pancaindra.

2. Kelengkapan (dan kesehatan) fisik (anggota tubuh). Tentu ulama membuka ruang diskusi terkait kelengkapan dan kesehatan fisik.

3. Kriteria yang lazim semacam persyaratan umum [tentu yang berlaku di zamannya], yaitu jenis kelamin laki-laki (karena kultur domestik bagi perempuan di zamannya), merdeka (karena dahulu zaman perbudakan), pikiran yang terang, dan baligh/cukup umur. (Meski kita bisa berdiskusi perihal jenis kelamin dan penentuan batas usia).

4. Keistimewaan yang menjadi capaian individu. Keistimewaan ini meliputi keilmuan individu sederajat ulama mujtahid, ketakwaan/kewaraan (adil dalam bahasa Al-Mawardi), dan kecerdasan pikiran yang mendukungnya untuk mencari titik temu pendapat/kepentingan masyarakat yang beragam.

Dari sini kita dapat mengambil simpulan bahwa kriteria pemimpin yang perlu diperhatikan meliputi kesehatan jasmani (pancaindra dan anggota tubuh), persyaratan umum yang mendukung, dan kelebihan yang berkaitan dengan aspek personal berupa akal sehat dan ketakwaan yang ditunjukkan dengan rekam jejak yang baik.

ومن لم يتق الله لم تؤمن غوائله ومن لم يصن نفسه لم تنفعه فضائله

Artinya, “Siapa saja yang tidak bertakwa kepada Allah maka tidak dapat dijamin (bebas) dari kejahatannya. Siapa yang tidak mengendalikan dirinya, maka kelebihan lain dirinya tidak berarti,” (Imamul Haramain, Ghiyatsul Umam fi Tiyatsiz Zhulam,” Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1424 H/2003 M: 36),

Imam Haramain menaruh perhatian penting pada aspek personal. Imam Haramain menggunakan term takwa dan wara’ (‘adil/‘adalah dalam term Al-Mawardi). Orang yang tidak disiplin atas perintah dan larangan Allah sangat sulit dipercaya untuk mengurus hal lain di luar dirinya. Termasuk juga orang yang tidak dapat mengendalikan nafsu amarahnya.

Orang yang tidak takwa dan wara dalam agama disebut fasik. Tindakannya yang melanggar larangan agama disebut fusuq. Dalam hal ini, Imam Haramain dan Imam Al-Mawardi menggunakan term yang sama, fasik/fusuq, sebagai lawan term ‘adil/‘adalah (Imam Al-Mawardi) dan takwa/wara’ (Imam Haramain). Bahkan seorang ayah fasik yang sangat mencintai anaknya, kata Imam Haramain, tidak bisa dipercaya sekalipun untuk mengelola keuangan anaknya sendiri yang dicintai dan dikasihinya itu.

فأما التقوى والورع فلا بد منهما إذ لا يوثق بفاسق في الشهادة على فلس٬ فكيف يولي أمور المسلمين كافة والأب الفاسق مع فرط حدبه وإشفاقه على ولده لا يعتمد في مال ولده٬ فكيف يؤتمن في الإمامة العظمى فاسق لا يتقى الله؟ ومن لم يقاوم عقله هواه ونفسه الأمارة بالسوء ولم ينتهض رأيه بسياسة نفسه فأنى يصلح لسياسة خطة الإسلام؟

Artinya, “Adapun takwa dan wara [bagi pemimpin] itu [suatu keharusan] tidak boleh tidak karena kesaksian atas uang dari orang yang fasik tidak dapat dipercaya, bagaimana ia dapat dipercaya untuk mengatur urusan umat Islam secara keseluruhan? Seorang ayah fasik yang sangat mencintai dan mengasihi anaknya tidak dapat dipercaya untuk mengelola harta anaknya, bagaimana seorang fasik yang tidak bertakwa kepada Allah bisa diberi kepercayaan untuk menjadi pemimpin tertinggi? Orang yang akal sehatnya tidak dapat mengendalikan diri dan nafsu amarahnya, dan visinya tidak tergerak untuk mewujudkan [kemaslahatan] dirinya, bagaimana layak dipercaya untuk memperjuangkan [kemaslahatan publik] sebagai khittah agung Islam,” (Imamul Haramain, 1424 H/2003 M: 47)

Kitab teologi standar (Ahlussunnah wal Jamaah) yang dibaca di pesantren, Jauharatut Tauhid, menyebutkan kewajiban menurut syariat bukan sekadar menurut akal sehat untuk memilih pemimpin yang adil. Sifat adil menjadi standar moral dan etik bagi pemimpin dalam teologi kelompok Sunni.

Sifat adil menjadi kriteria yang perlu diperhatikan masyarakat dalam memilih pemimpin ketika tidak ada penunjukan pemimpin dengan namanya langsung dari nash Al-Qur’an/hadits atau tidak ada penunjukan dari pemimpin sebelumnya (istikhlaf), (Imam Al-Baijuri, guru besar Al-Azhar pada Abad Ke-19).

وعدم الفسق لأن الفاسق لا يوثق به في أمره ونهيه

Artinya, “[Kriteria ‘adil artinya orang yang bersangkutan] ‘tidak fasik,’ karena orang fasik tidak dapat dipercaya baik perintah maupun larangannya,” (Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Tuhfatul Murid ala Jauharatit Tauhid, Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: 118).

Fasik/fusuq sebagai lawan kata ‘adil/‘adalah atau kata takwa/wara adalah perbuatan dosa yang kita kenal. Fasik/fusuq ini, kata Imam Al-Mawardi, sebuah tindakan yang mencederai adil atau takwa/wara seseorang. Fasik/fusuq mencakup dua bentuk: (1) syahwat dan nafsu amarah yang terwujud dalam tindakan yang diharamkan [zina, pencurian, pembunuhan, khamar, judi, riba, makan babi, dan mahzhurat lainnya sebagai kejahatan] dan tindakan mungkar [sejenis pidana ringan atau pelanggaran etika yang disepakati sebagai kemungkaran]; dan (2) akidah syubhat atau sejenis teologi dan keyakinan yang menyimpang atau berada di luar arus utama teologi Ahlussunnah wal Jamaah. (Al-Mawardi, 1380 H/1960 M: 17).

Kriteria dan syarat pemimpin tentu bersifat dinamis. Kriteria dan syarat itu bisa berbeda pada setiap zaman dan wilayah menurut regulasi yang berlaku. Bahkan prosedur dan mekanisme pengangkatan pemimpin itu sendiri bersifat dinamis.

Zaman Islam klasik, tentu kita hanya mengenal mekanisme pemilihan pemimpin oleh dewan agung Ahlul Halli wal Aqdi/Ahlus Syura/Ahlul Ikhtiar dan sebutan lainnya atau penunjukan oleh pemimpin sebelumnya (istikhlaf), bukan pemilihan langsung oleh setiap warga negara yang memiliki hak suara seperti zaman demokrasi modern sekarang ini.

Terlepas dari kriteria dan prosedur formal yang dinamis itu, sebagian besar kriteria pemimpin (yang masih tersisa terutama syarat yang bersifat substantif) yang dicatat para ulama masih relevan saat ini sebagai acuan.

AK