Di lihat dari luar, barangkali Iran sering dipresepsikan sebagai negara yang kurang menghargai peran perempuan, sebagaimana kita baca dari narasi media-media, terutama Barat. Pandangan demikian juga saya yakini selama bertahun-tahun. Akan tetapi, setelah datang ke Iran saya melihat sisi lain dari negara ini dari seorang tokoh sastra Iran yang masyhur, Parvin Estemami.
Perempuan memiliki peran yang tidak bisa dianggap remeh dalam dinamika kebangsaan dan kenegaraan. Peran mereka begitu dihargai. Bahkan, mereka memiliki tanggal-tanggal khusus untuk memberikan ruang penghormatan terhadap perempuan, seperti hari ibu yang diperingati bertepatan dengan hari kelahiran putri Rasulullah Saw, Siti Fatimah Az-Zahra; hari perawat nasional mengingatkan peran Siti Zainab, putri Sayidina Ali bin Abi Thalib, dan lainnya.
Tidak hanya itu, mereka juga memberikan perhatian besar terhadap pujangga perempuan kontemporer. Belum lama ini, tanggal 25 Esfand, yang bertepatan dengan 15 Maret dalam kalender nasional Republik Islam Iran diperingati sebagai hari kelahiran Parvin Etesami. Figur penyair perempuan kontemporer yang memberikan kemajuan sastra dalam peradaban kebudayaan Persia.
Parvin lahir di Tabriz pada 16 Maret 1907. Ayahnya, Yusuf Etesam Al-Muluk, adalah seorang penulis dan penerjemah sastra di masanya. Magnum opusnya, Divan-e Parvin Etesami menjadi karya fenomenal di dunia sastra kontemporer Iran abad keduapuluh dengan gayanya yang khas. Karya Parvin ini dilatarbelakangi oleh tingkat ketidakpuasaan publik terhadap rezim Pahlevi yang berkuasa di Iran ketika itu.
Para kritikus sastra memandang koleksi puisi Parvin bercorak etis dengan menggunakan bahasa populer yang ringan dan mudah dipahami untuk menyampaikan pesan sosialnya. Terobosan Parvin ini telah menggeser wacana sastra klasik Persia yang cenderung menekankan aspek emosional dan mistik untuk menyampaikan pesannya.
Puisi Parvin kaya akan pencarian makna. Meski puisinya ditampilkan dengan bahasa yang lembut, ia muncul menjadi pemikir perkasa yang menuliskan buah pemikiran tentang manusia dan berbagai aspek kehidupan dengan pesan moral dan sosial yang kuat.
Secara pribadi, saya merasa kagum dengan cara Parvin Etesami yang berani melakukan kritikan kepada pemerintah Iran saat itu yang dikuasai oleh rezim Shah Pahlevi. Di satu sisi yang menjadi catatan penting bahwa sastra di abad ke-20 dalam tradisi Iran masih cenderung membahas permasalahan emosional yang bersifat romantisisme. Berbeda dengan Parvin Etesami yang justru menggunakan argumentasi syiir atau sastra sebagai media utama untuk mengkritik kebijakan pemerintah di zamannya.
Dari sini, bagaimana posisi Parvin Etesami dalam peradaban sastra Persia kontemporer, begitupun keterlibatannya mengkritik rezim Shah Pahlevi untuk mengangkat suara rakyat saat itu. Tak heran, jika masyarakat Republik Islam Iran hingga hari ini, tepat 25 Esfand, memperingati hari kelahirannya sebagai apresiasi dan hormat publik terhadap perjuangan Parvin Etesami.
Baca juga: Langkah Iran Sembuhkan 30% Kasus Corona di Tengah Sanksi
Parvin Etesami dalam Divan-e Parvin Etesami seolah-olah ingin memperlihatkan peran penting wanita dengan segala keutamaan yang dimiliki mampu memberikan pengaruh dan perubahan yang tidak sekadar dirasakan oleh masyarakat Iran di era rezim Pahlevi, tapi juga setiap wanita Iran sepanjang masa.
Karya-karya sastra periode ini penuh dengan tema sosial berulang seperti perbedaan kelas, simpati untuk yang tertindas, kemiskinan dan perampasan kelas yang sering disertai dengan “kemarahan sosial dan panggilan untuk reformasi”.
Seorang Parvin yang wafat 5 April 1941, menjadi bukti bahwa perubahan sosial juga digerakkan oleh perempuan melalui kelembutan syairnya. Dan hingga kini, makamnya, yang berada di kompleks makam Sayidah Fatimah Maksumah, Qom, masih terus diziarahi banyak orang yang datang sambil merapalkan beberapa bait syairnya. [rf]