Babak Baru Hubungan Iran-Arab Saudi: Menguntungkan atau Merugikan?

Babak Baru Hubungan Iran-Arab Saudi: Menguntungkan atau Merugikan?

Hubungan antara Iran-Arab Saudi yang membaik dapat dilihat sebagai awal positif bagi kontestasi kedua negara, atau ini hanya perselisihan yang ditangguhkan?

Babak Baru Hubungan Iran-Arab Saudi: Menguntungkan atau Merugikan?
China memediasi Iran dan Arab Saudi (foto: Wallstreet Journal)

Babak baru hubungan antara Iran dan Arab Saudi kembali memasuki fase perdamaian. Pasalnya, atas mediasi China, Iran dan Arab Saudi memutuskan untuk berdamai pada 10 Maret lalu.

Situasi ini bakal menimbulkan dampak besar bagi konstelasi di kawasan Timur Tengah. Sebelumnya hubungan antar kedua negara sangat alot dan seringkali berbenturan. Sementara dalam waktu dua bulan, kedua negara bakal membuka kedutaan besarnya di Riyadh dan Teheran. Hal ini tentu patut dilihat sebagai inisiatif positif untuk perkembangan baru bagi situasi di Timur Tengah.

Dalam hal ini, China melakukan intervensi terhadap diplomasi di Timur Tengah. Sebelum China turun tangan, Amerika Serikat adalah negara yang memediasi dan menjadi aktor penting dalam beberapa perdamaian dan normalisasi di Timur Tengah, seperti halnya normalisasi antara Uni Emirat Arab dengan Israel, Bahrain, dan beberapa negara Teluk lainnya, termasuk Arab Saudi dengan Israel.

China menegaskan untuk tidak campur tangan dalam masalah dalam negeri masing-masing negara dan bakal menghormati kedaulatan nasional kedua negara. Tentu mediasi China tersebut bakal memberikan dampak besar bagi kontestasi abadi antara Iran dan Arab Saudi.

Nampaknya China melihat peluang dari hubungan Iran-Arab Saudi yang selama ini memanas. China juga dapat dilihat sebagai aktor penengah dan berusaha mengurangi kekuatan politik AS di Timur Tengah. Untuk itu, China seringkali memberikan bantuan dan suplai dana untuk mengatasi sanksi ekonomi yang harus diderita Iran selama ini. Dalam persoalan ini, China kembali menjadi aktor di luar kawasan yang mampu membawa perdamaian bagi perang di kawasan. Kesepakatan yang dibuat oleh China ini juga bakal membuka peluang dalam berbagai kerjasama ekonomi dan keamanan antar kedua negara.

 

Dominasi China

Keikutsertaan China menjadi mediator ketegangan antara Iran-Arab Saudi juga bakal meredakan ketegangan. Arab Saudi saat ini lebih fokus pada upaya mensukseskan Visi 2030 yang menjadikan negara Bani Saud ini mampu mengelola ekonomi, keuangan, dan turisme di kawasan maupun internasional.

China juga bakal menjadi mitra bagi Arab Saudi dan memberikan berbagai peluang dalam pembangunan pabrik rudal dan kapasitas militer. Dominasi China atas perdamaian antara Iran-Arab Saudi juga berupaya meng-counter keinginan AS yang selama ini bersikukuh dalam upaya membuka hubungan diplomatik antara Arab Saudi-Israel.

Selain itu, hubungan antara Suriah dan Arab Saudi juga telah sepakat membuka kembali kedutaan mereka pasca pemutusan hubungan diplomatik yang lebih dari satu dekade. Keputusan ini menjadi lanjutan mediasi China yang sebelumnya telah sukses mendamaikan Iran dan Arab Saudi yang selama ini berseteru. Normalisasi hubungan antara Arab Saudi dan Suriah juga menjadi momentum penting dalam upaya mendamaikan negara-negara Arab kaitannya dengan Assad. Selama ini ia dijauhi oleh banyak negara Barat dan Arab pasca perang saudara Suriah yang dimulai sejak 2011.

Memang selama ini perseteruan antara Suriah dan Arab Saudi dikarenakan Arab Saudi dan Qatar mendukung pemberontak Suriah. Namun, Bashar al-Assad mampu mengalahkan pemberontakan di sebagian nesar Suriah atas bantuan Iran dan Rusia yang selama ini menyokong bantuan dana dan persenjataan bagi militer Suriah. Selama ini kedua negara juga saling bersitegang satu sama lain dan belum menemukan solusi perdamaian dalam berbagai persoalan yang dihadapi kedua negara.

Dominasi China atas mediasi dalam perseteruan Iran-Arab Saudi juga dapat dibaca sebagai upaya menaruh cengkeraman kuasa politiknya atas Timur Tengah yang selama ini dipenuhi berbagai perseteruan yang tak pernah berakhir.

Selama ini, intervensi Amerika Serikat selalu menjadi manuver yang tidak dapat dibantah oleh negara manapun. Amerika Serikat nampaknya juga melihat inisiasi China tersebut sebagai upaya untuk mendominasi Timur Tengah, terutama peranannya atas perselisihan Iran-Arab Saudi yang sudah bertahun-tahun tidak mampu berdamai dan menemukan titik tengahnya.

Perdamaian atau Perselisihan yang Ditangguhkan?

Hubungan antara Iran dan Arab Saudi yang membaik dapat dilihat sebagai awal positif bagi kontestasi kedua negara, atau ini hanya perselisihan yang ditangguhkan? Pasalnya, situasi politik antar negara di kawasan Timur Tengah juga seringkali berubah dengan cepat. Baru saja perdamaian terbentuk, tetapi dalam hitungan beberapa hari atau bulan perseteruan kembali memanas. Artinya, konstelasi politik di kawasan tidak dapat diprediksi secara presisi. Berbagai faktor dan alasan yang membuat hubungan antar negara saling berkontestasi. Persoalan ekonomi, politik, dan kalkulasi lainnya menjadi salah satu hal yang seringkali memicu terjadinya perseteruan.

Ego sentris antar kedua negara, baik dalam persoalan dalam negeri dan isu kawasan menjadi pemicu terjadinya konflik. Rekonsiliasi antara Arab Saudi dan Iran diharapkan mampu memberikan kontribusi penting dalam mengakhiri perang saudara di Yaman dan mengurai perselisihan politik di Lebanon dan Irak yang tak kunjung selesai. Dalam hal ini, kelompok Houthi yang menjadi loyalis Iran bisa membuka diri untuk bernegosiasi dan rekonsiliasi dengan kelompok-kelompok lain di Yaman dalam upaya mengakhiri perang di negara tersebut.

Sementara konflik Irak juga seharusnya bisa terselesaikan dengan adanya rekonsiliasi Iran-Arab Suadi. Apalagi kekuatan Syiah di Irak mampu menjadi kekuatan penting dalam melakukan usaha damai.

Di lain pihak, perdamaian antara Iran dan Arab Saudi juga bakal merugikan Israel. Pasalnya, sebelumnya Israel telah membentuk aliansi antara Israel-Arab yang berupaya memperkuat kekuatan politik, ekonomi, dan stabilitas keamanan regional. Namun, dengan adanya rekonsiliasi antara Iran-Arab Saudi bakal membuat rencana Israel gagal. Bahkan, beberapa kebijakan strategis yang tertuang dalam Abraham Accord pada tahun 2020 hanya menjadi omong kosong semata dan tidak dpaat terimplementasikan dengan baik. (AN)