Normalisasi Cyberbullying Terhadap Difabel, Yuk Hentikan

Normalisasi Cyberbullying Terhadap Difabel, Yuk Hentikan

Orang dengan disabilitas lebih rentan terhadap cyberbullying. Cyberbullying merupakan perundungan yang dilakukan di dunia maya untuk mengintimidasi orang lain, mengucilkan, mengejek, dan mempermalukan.

Normalisasi Cyberbullying Terhadap Difabel, Yuk Hentikan

“Dijual sama kandangnya, nggak?”, “Kirain boneka t-rex”, “Menakutkan”, “Cacat”, itu merupakan perkataan orang-orang di kolom komentar unggahan foto penyandang disabilitas bernama Nana. Saya yang membacanya saja jadi diam sejenak dan tak bisa berkata apa-apa.

Orang dengan disabilitas lebih rentan terhadap cyberbullying. Cyberbullying merupakan perundungan yang dilakukan di dunia maya untuk mengintimidasi orang lain, mengucilkan, mengejek, dan mempermalukan. Pelaku perundungan itu bisa saja orang yang dikenal, maupun orang acak (random) di sosial media. Mereka dengan mudah lupa atau tidak sadar sudah menyakiti orang lain dari komentar singkatnya yang memungkinkan membuat dampak negatif berkepanjangan.

Ketika mendapatkan perundungan di sosial media, Nana merasa malu, marah, sakit, dan rendah diri. Ia diam, memendam, menarik diri dari lingkungan, hingga berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Kita sebagai teman perlu lebih peka terhadap perilaku orang-orang di sekitar kita. Apabila ada potensi untuk bunuh diri, kita perlu memberikan perhatian lebih, mencoba menawarkan bantuan untuk konsultasi ke psikolog, dan sebagainya.

Ada pula difabel yang tidak merasa kalau ia sedang mendapatkan cyberbullying, atau berupaya mengabaikan setiap ejekan yang ia dapatkan. Selalu menyangkal apa yang dialami juga bukan tindakan yang tepat, karena apabila dilakukan terus menerus, bisa menjadi emosi yang terpendam dan bisa meledak kapan saja. Hal ini tentu bisa saja berpotensi untuk merugikan diri sendiri dan orang lain di masa mendatang.

Meskipun mendapatkan dukungan dari banyak orang, ia juga mendapatkan komentar bernada kasihan, juga ejekan kepada fisiknya. Ejekan di komentar tersebut termasuk kekerasan mental yang membuat aktivitas Nana jadi terganggu dan pekerjaan terbengkalai.

Teknologi digital saat ini telah mengubah kebiasaan cara orang-orang bersosialisasi dan menujukkan diri. Kesempatan baru seperti merepresentasikan diri serta promosi diri bisa didapatkan melalu sosial media. Nana kerap mengunggah video dirinya sedang beraktivitas. Dari situ ia mendapatkan banyak pengikut dan endorsement.

Nana sebagai difabel kadang melakukan penindasan kepada diri sendiri seperti bilang “aku jelek” dan “aku nggak berguna”. Selain itu, Nana melakukan digital self harm, yang mana video-video yang Nana buat itu kadang menjadikan dirinya sendiri sebagai guyonan, misalnya adegan ketika Nana jatuh dan banyak komentar datang dari netizen yang menganggapnya menghibur, “Mau ketawa takut dosa”, “Dia dulu yang mulai …”.

Melansir dari netsafe.org.nz, orang melakukan digital self harm untuk membuat candaan, membuktikan diri kalau ia mampu, ingin mendapatkan simpati dari orang lain, ingin melihat siapa yang benar-benar teman, tidak tahu harus berbuat apa, ingin mendapatkan perhatian, dan mencari bantuan.

Tidak jarang, pengalaman korban yang valid itu diragukan, diremehkan, disuruh sabar, disuruh ikhlas, dan diminta memaafkan pelaku. Korban cyberbullying kadang mendapatkan perilaku tidak mengenakkan itu dari akun-akun anonim. Mereka berani berbicara kasar dan blak-blakan tanpa saringan karena identitas tidak terlihat, jadi merasa lebih aman.

Identitas di sosial media bisa mereka sembunyikan, namun dampaknya bagi korban bisa bertahan lama dan ada kemungkinan mengakibatkan trauma. Terkadang korban juga disalahkan ketika mengunggah foto, padahal yang salah adalah mereka yang berkomentar tanpa disaring terlebih dahulu.

Meskipun pernah berpikiran untuk bunuh diri, namun Nana merasa beruntung karena memiliki teman-teman dan keluarga yang mendukung kemampuannya menggambar. Dukungan dari orang-orang terdekat bisa membuat korban merasa ia tidak sendiri, merasa mendapatkan kasih sayang yang cukup, dan merasa berharga.

Melansir dari phhp.ufl.edu, orang-orang dengan disabilitas membutuhkan pendidikan yang dapat diakses tentang pencegahan bunuh diri dan mengakses sumber daya. Profesional dan anggota keluarga yang memberikan dukungan untuk penyandang disabilitas juga membutuhkan pendidikan tentang cara mengidentifikasi masalah kesehatan mental dan cara mengakses dukungan.

Cyberbullying yang terjadi di duna maya itu dampaknya nyata, maka harus dihentikan. Perundungan di sosial media bukan hal yang patut disepelekan. Bagaimana cara menghentikan perundungan?

Kalau kamu korban, kamu bisa:

– Bercerita kepada orang yang terdekat, atau yang dipercaya

– Mengizinkan diri untuk ditolong oleh psikolog

– Mengambil screenshots (tangkapan layar) sebagai bukti ketika melapor

– Memblokir dan membatasi akun pelaku

– Mengabaikan komentar orang asing

Kalau kamu teman, kamu bisa:

– Tidak mewajarkan berucap kasar dan merugikan orang lain

– Memberikan pemahaman kalau korban tidak salah, yang salah adalah pelaku

– Menemani korban ke psikolog

– Peka terhadap teman yang mengisyaratkan ingin bunuh diri

Selain itu, perlu memberi edukasi bagi orang tua dan guru untuk penghentian cyberbullying. Perilaku kasar dan komentar buruk di sosial media sejak anak-anak tidak boleh di normalisasi maupun dibiarkan. Semua orang berhak akan nyaman di internet. Mari, hentikan cyberbullying bersama-sama!