Bagaimana Interaksi Rasulullah dengan Penyadang Disabilitas?

Bagaimana Interaksi Rasulullah dengan Penyadang Disabilitas?

Salah satu contoh kepedulian Islam terhadap kemanusiaan adalah memuliakan disabilitas. Islam tidak membenarkan pandangan yang menganggap remeh, apalagi rendah, kelompok disabilitas.  Karena itu, tidak dibenarkan melakukan diskriminasi terhadap kelompok disabilitas.

Bagaimana Interaksi Rasulullah dengan Penyadang Disabilitas?

Ajaran Islam bersifat universal dan sempurna. Apapun permasalahan pada masa sekarang memiliki rujukannya di dalam Islam. Imam Syafi’i mengatakan, tidak ada permasalahan apapun melainkan ada jawabannya di dalam al-Qur’an. Ini sekaligus menjadi bukti bahwa al-Qur’an bukan kalam manusia, tetapi kalam Allah SWT.

Di antara nilai universal Islam ialah kemanusiaan. Islam mendukung penuh nilai-nilai kemanusiaan. Tidak ada satupun dalil di dalam al-Qur’an dan hadis yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan, inti dari ajaran Islam memanusiakan manusia.

Salah satu contoh kepedulian Islam terhadap kemanusiaan adalah memuliakan disabilitas. Islam tidak membenarkan pandangan yang menganggap remeh, apalagi rendah, kelompok disabilitas.  Karena itu, tidak dibenarkan melakukan diskriminasi terhadap kelompok disabilitas. Mereka mesti diberi ruang dan diperlakukan sama dengan manusia lainnya. Mereka juga dapat berhak mendapatkan jaminan, pemberdayaan, dan perlindungan dari negara.

Pemerintah Indonesia, dalam Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas, disabilitas didefenisikan sebagai orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, atau sensorik dalam jangka waktu lama dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Karenanya, sebagai anak bangsa, penyandang disabilitas memiliki hak sama dengan warga negara lain, dan mereka mesti diberi peluang untuk menyalurkan potensi dan bakatnya dalam masyarakat dan negara.

Interaksi Nabi dengan Penyandang Disabilitas

Ada beberapa ayat di dalam al-Qur’an yang menunjukkan kepedulian Islam terhadap penyandang disabilitas. Misalnya, surat al-Nur ayat 61, yang isinya tentang kesetaraan dan larangan mendiskriminasi penyandang disabilitas. Allah berfirman:

لَيْسَ عَلَى الْاَعْمٰى حَرَجٌ وَّلَا عَلَى الْاَعْرَجِ حَرَجٌ وَّلَا عَلَى الْمَرِيْضِ حَرَجٌ وَّلَا عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَنْ تَأْكُلُوْا مِنْۢ بُيُوْتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اٰبَاۤىِٕكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اُمَّهٰتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اِخْوَانِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اَخَوٰتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اَعْمَامِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ عَمّٰتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اَخْوَالِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ خٰلٰتِكُمْ اَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَّفَاتِحَهٗٓ اَوْ صَدِيْقِكُمْۗ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَأْكُلُوْا جَمِيْعًا اَوْ اَشْتَاتًاۗ فَاِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوْتًا فَسَلِّمُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ مُبٰرَكَةً طَيِّبَةً ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ

Artinya:

“Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, (di rumah) yang kamu miliki kuncinya atau (di rumah) kawan-kawanmu.

Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri. Apabila kamu memasuki rumah-rumah hendaklah kamu memberi salam (kepada penghuninya, yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, dengan salam yang penuh berkah dan baik dari sisi Allah. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya) bagimu, agar kamu mengerti.” (Surat al-Nur ayat 61)

Ayat ini turun untuk menghapus stigma buruk terhadap penyandang disabilitas. Dalam ayat ini dijelaskan pada masa sebelum Islam, orang tidak nyaman ketika makan dengan orang buta atau orang yang sedang sakit, karena khawatir. Selain ayat di atas, surat ‘Abasa juga diturunkan sebagai respons terhadap penyandang disabilitas.

Dalam banyak riwayat, surat ini turun merespons peristiwa yang dialami Abdullah bin Ummi Maktum. Pada waktu itu, Nabi Muhammad sedang berdiskusi dengan pembesar Quraisyh: Abu Jahl, ‘Utbah bin Rabi’ah, Abas bin Abd al-Muthollib, dan Walid bin Mughirah. Nabi berdiskusi dengan para pembesar ini dengan harapan mereka tertarik masuk Islam.

Pada saat asyik diskusi, Abdullah bin Ummi Maktum datang menemui Nabi Muhammad untuk bertanya tentang Islam. Karena Nabi tengah fokus berdialog dengan  kaum Quraisy, sikap Abdulllah bin Ummi Maktum tersebut membuat Nabi memandangnya dengan muka masam, menandakan tidak senang, sebab percakapan mereka terputus.

Tindakan acuh tak acuh Nabi itu,  mendapat teguran dari Allah, sehingga turun surat ‘Abasa. Inti dari surat ini juga menegaskan Islam ajaran universal, yang tidak memandang status dan fisik manusia. Abdullah bin Ummi Maktum, yang notabenenya bukan siapa-siapa, dan juga secara fisik memiliki kekurangan, tetapi oleh Al-Qur’an dimuliakan dan Allah memberikan teguran (lit taklim) kepada Nabi Muhammad, sebab acuh pada orang yang meminta diajarkan Islam dan didengarkan ayat Al-Qur’an.

Pada sisi lain, ada juga seorang sahabat Nabi Muhammad yang mengalami tunadaksa (pincang) yang bernama Amr bin al-Jamuh. Kendatipun penyandang disabilitas, Amr termasuk sahabat Nabi yang taat dan loyal terhadap Islam. Nabi Muhammad pun sangat menghormati dan menyayangi Amar, sebab kecintaan terhadap agama Islam.

Pada suatu saat, Amr yang juga seorang tunadaksa datang menemui Nabi. Kedatangannya bermaksud untuk ikut bergabung dengan para sahabat dalam perang Uhud melawan kaum pagan Makkah. Ia keukeuh, ikut bergabung dalam medan perang dengan pasukan kaum muslimin, meskipun kakinya pincang. Ia berharap menemui syahid dan menginjak surga dengan kaki pincangnya.

Benar saja, kendati anak-anaknya dan juga Rasulullah melarangnya ikut berperang, tetapi niat Amar sudah bulat ingin ikut ambil bagian dalam jihad. Kendati pun mati, ia ingin mati dalam keadaan syahid, karena membela agama Allah. Benar saja, dalam peperangan tersebut, Amar bin Al-Jamuh meninggal dunia. Ia menjadi salah satu dari sekian sahabat Nabi yang syahid.

Dari kisah ini, kita bisa melihat bahwa Islam adalah agama yang ramah disabilitas. Agama yang mengajarkan cinta dan kasih kepada semua makhluk hidup tanpa terkecuali. Islam juga menganjurkan untuk tidak mengolok-olok siapa pun, terlebih jika itu penyandang disabilitas. Sebab visi Rasulullah sebagai pembawa agama Islam adalah  agama rahmatan lil ‘alamiin— bentuk kasih sayang alam semesta.

*Artikel merupakan hasil kerja sama dengan Rumah KitaB atas dukungan investing in women dalam mendukung perempuan bekerja