Tak dapat dimungkiri bahwa Pemilu 2019, terasa berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Keterbelahan sosial yang terjadi di masyarakat tampak lebih menganga. Terlebih jika dilihat dari perseteruan antar pendukung dua kubu di media sosial. Istilah cebong dan kampret deras mengalir dipertukarkan. Padahal dua istilah ini tidak pantas disematkan untuk sesama anak bangsa. Selain itu, dalam beberapa kesempatan, saling ejek, saling usir, bahkan saling baku hantam sempat terjadi.
Sudah barang tentu, hal ini patut disayangkan. Di tengah proses pematangan demokrasi Indonesia pasca reformasi, budaya politik sebagian elit dan masyarakat ternyata belum begitu matang. Tak pelak, ragam cara masih dilakukan untuk mendapatkan legitimasi, seraya mendelegitimasi pihak lain. Tak terkecuali adalah eksploitasi isu SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Perbedaan suku, agama, dan ras yang sedari awal menjadi kekayaan bangsa Indonesia berubah menjadi mesiu untuk bermusuhan. Jika sesama anak bangsa tidak segera berbenah, tidak menutup kemungkinan ironi ini akan terualang di pemilu-pemilu selanjutnya. Imbasnya, persatuan Indonesia akan terkoyak dan melemah.
Memudarnya persatuan Indonesia merupakan sinyal buruk bagi masa depan kemajuan bangsa. Tanpa persatuan, berat rasanya generasi penerus bangsa mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Hal ini tentunya bertentangan dengan teladan dakwah Nabi Muhammad SAW. Padahal, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Kesemuanya mengakui bahwa Nabi Muhammad adalah uswatun hasanah, suri teladan terbaik bagi umat. Di titik inilah peran cendekiawan, ulama, dan agamawan sangat penting. Ulama yang menjadi panutan umat harus mampu menjadi garda terdepan dalam membina persatuan dan keutuhan bangsa. (terlampir di lembar terakhir hasil penelitian PusPiDeP Yogyakarta: 2018)
Seharusnya, keberhasilan Nabi dalam mengokohkan persatuan antar sesama Muslim di atas menjadi panduan dan oase inspirasi. Demikian pula, kepeloporan Nabi Muhammad SAW dalam mewujudkan persatuan masyarakat Yatsrib. Jika dibandingkan, terdapat kemiripan antara keragaman kota Yatsrib dengan keragaman suku dan agama di Indonesia. Jika keragaman di Yatsrib disatukan Nabi Muhammad SAW dengan Piagam Madinah, maka sudah benar adanya jika keragaman Indonesia disatukan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila.
Memberdayakan Keragaman Indonesia
Semestinya bangsa ini mencoba membaca kembali gagasan-gagasan yang telah diwariskan oleh para pendiri bangsa. Mereka meninggalkan bekal untuk bangsa ini berupa Pancasila. Dengan kelima silanya, Pancasila merupakan formula yang tepat untuk merekatkan kemajemukan yang ada di negeri ini.
Pada dasarnya, bangsa Indonesia sedari awal mengambil sikap bijaksana, seperti keserasian tanpa menghilangkan kreativitas seseorang, kesediaan berkorban untuk mengorbankan kepentingan sendiri demi kepentingan orang lain, tanpa mengharapkan imbalan yang merupakan terjemahan bebas dari pepatah Jawa “sepi ing pamrih, rame ing gawe”, dan seterusnya. Karena adanya sikap yang demikian bijaksana dalam dirinya, bangsa Indonesia seharusnya menjadi bangsa pecinta perdamaian dan ramah. Baik dengan sesama anak bangsa atau dengan bangsa lain.
Keragaman tidak harus diseragamkan. Perbedaan tidak harus dihilangkan. Akan tetapi harus terbingkai dalam semangat persatuan. Hal demikian tentunya kita pahami sebagai bentuk implementasi dari dasar negara kita yaitu Pancasila, khususnya yang tertulis jelas dalam sila ketiga. Persatuan Indonesia.
Di satu sisi, bijak menyikapi keragaman merupakan bukti kuatnya keimanan. Allah ta’ala telah menegaskan dalam al-Qur’an bahwa sudah menjadi sunnatullah manusia diciptakan dalam keragaman suku dan ras. Hanya saja, keragaman ini bukan untuk saling bertikai dan bermusuhan, akan tetapi agar saling mengenal dan belajar. Ujungnya adalah saling menopang untuk bekerja sama mewujudkan kebaikan bersama.
Allah swt berfirman dalam al-Quran, surat al-Hujurat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya:
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (Q.S. Al- Hujurat: 13)
Seperti yang ditegaskan oleh Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah bahwa ayat 13 surat al-Hujurat adalah pedoman mengenai prinsip dasar hubungan antar manusia. Hal ini didasari pada penggunaan panggilan yang ditujukan kepada manusia dari segi jenisnya, bukan dengan atribut panggilan lainnya.
Setelah memahami manusia sebagai makhluk yang setara dan keutamaan dirinya dilihat dari ketakwaan kepada pencipta-Nya, sudah selayaknya kita sebagai manusia yang hidup dalam sebuah negara menempatkan diri secara adil, tentang bagaimana kita bersikap dan bertindak sehingga mampu mewujudkan sebuah tatanan yang mengarah kepada persatuan.
*Tulisan ini juga dimuat dalam: Buletin Muslim Muda Indonesia, Edisi 53/Jum’at, 26 Juli 2019