Dengan mewabahnya COVID-19 di berbagai daerah, banyak sekolah yang akhirnya diliburkan, dibahasakan dengan santun: belajar di rumah. Meminta anak untuk social distancing bisa jadi menjadi tantangan yang menarik bagi para orang tua. Sebab, anak-anak adalah manusia yang paling tidak bisa tinggal diam. Mereka memaknai tidak berangkat ke sekolah sama saja dengan libur. Dengan sekolah libur, sekaligus berarti bahwa mereka bisa bermain sepuasnya atau jalan-jalan bersama temannya.
Menjelaskan virus COVID-19 kepada anak, bisa jadi, akan menjadi sulit. Bukan karena kesulitan teoretis. Akan tetapi kesulitan kita menghadapi cara berpikir anak yang sama sekali berbeda dengan orang dewasa. Anak-anak, terutama yang masih berusia 2 sampai 11 tahun, menurut Jean Piaget, masih berpikir konkret, belum bisa berpikir abstrak. Virus ini, belum bisa dikatakan konkret di mata anak. Ia tidak tampak secara kasat mata, tak bisa diraba atau disentuh. Bisa jadi bagi anak COVID-19 adalah barang abstrak. Sama seperti Tuhan. Ia tetap dirumah barangkali karena, perintah orang tua, larangan orang dewasa atau karena semua orang melakukannya.
Tulisan ini mencoba untuk menawarkan cara agar anak tetap melakukan social distancing, tapi bukan dengan ketakutan. Namun pemahaman atas sebab-akibat yang lebih mencerdaskan.
Risiko sebagai Carrier
Seperti saya singgung tadi, anak-anak memiliki kecendrungan berpikir konkret. Anak-anak akan nggugu (menurut) kalau sudah ada bukti. Ketika anak-anak keluar, dan ternyata tidak terjadi apa-apa bagi mereka, tentu akan menimbulkan pertanyaan. “Lha aku nggak papa kok keluar, ngapain dilarang keluar?” Jika memang anak bertanya seperti itu, banggalah, anak anda mulai berpikir kritis, tapi disaat yang bersamaan kesabaran anda diuji.
Jika anda bingung, cobalah jawab “Sstt.. sebentar, kamu memang nggak kenapa-kenapa, virus takut sama kamu. Tapi.. jangan-jangan dia hanya sembunyi di tubuh kamu”.
Jika si kecil menjawab “Ah masa, kok nggak lihat?” Jawablah dengan tetap sabar “Kamu tahu ukuran virus? Keciiil sekali. Sampai kamu ndak bakal bisa lihat. Lebih kecil dari kutu yang gigit anumu. Dia akan keluar ketika, melihat Ayah-Ibu, Kakak-Adik, Kakek-Nenek dan semua temanmu yang berada di dekatmu. Kamu tahu apa yang terjadi jika binatang kecil itu pindah ke tubuh Ayah atau Ibu? Mereka akan menganggu sampai ke paru-paru, kalau kita tidak kuat, kamu tidak akan jumpa lagi ayah atau ibumu”. “Tak mau bukan, kamu kehilangan orang-orang disekitarmu?”
Rasa Rindu yang Tak Tertahan
Rindu tak cuma dimiliki oleh pasangan yang kasmaran, anak-anak pun demikian. Murid-murid di sekolah saya, mengeluh pada gurunya jika mereka mulai merindukan temannya. Terus-terusan bertanya, “Kapan kita bisa masuk sekolah lagi, Ma?” atau “Kapan aku bisa main lagi sama teman?”
Terlalu berisiko jika kita mengajaknya untuk menengok teman. Salah-salah, kita, atau mereka, menularkan virus pada orang lain. Untuk membuat anak-anak terhubung, Sarankanlah anak-anak untuk melakukan panggilan video kelompok bersama teman temannya. Banyak aplikasi yang tersedia, dari WhatsApp, Line, Skype hingga Zoom. Tak perlu anda awasi setiap kata yang meluncur dari mulutnya. Tinggalkan saja, amati dari jauh. Percaya saja, pembicaraan tak jauh-jauh dari gosip pertemanan atau game terbaru.
Jika rindu masih saja tak tertahankan, dan anak ngotot untuk keluar, janganlah anak ditakuti dengan beraneka macam hadis atau ayat yang melarang kita untuk bepergian di tengah wabah. Terlalu berisiko. Jangan-jangan, anak-anak malah beranggapan bahwa Tuhan mengingkan mereka untuk berpisah.
Alihkan saja, ajak anak beraktivitas bersama. Toh tidak setiap waktu kita Work from Home bukan? Anda masih bisa berjalan, berlari hingga bersepada memutar sawah, jika tak ada sawah, jalan raya juga tak apa. Yang penting, lakukan tanpa kontak fisik dan mendekati kerumunan. Jangan lupa, lekas mandi dan cuci tangan.
Jika anak anda masih saja ngeyel ingin ketemu temannya, izinkanlah. Mereka hanya butuh bicara. Tak semua pembicaraan bisa dilakukan dengan orang tua. Ada topik-topik yang hanya bisa dimengerti oleh mereka. Tak cuma bicara, mereka juga perlu bersentuhan. Antar anak anda, pastikan di rumah itu tidak ada yang sakit dengan gejala.
Selanjutnya, beritahu anak anda untuk social distancing menjauhi orang tua atau rentan. Jika anda mendidik anak anda dengan kewajiban bersalaman-cium tangan pada yang tua, ajaklah mereka untuk menggantinya, dengan menangkupkan tangan saja. Katakana padanya bahwa itu sama-sama menghormati orang tua.
Jika anak pulang, tunggulah di depan. Katakan padanya “Jika adik berani bertemu orang, adik juga harus siap dengan akibatnya. Adik bisa tertulari atau menulari virus, sehingga, konsekuensinya, adik harus mau bersih diri.”
Ajak dan ajarilah anak-saat itu juga: mencuci tangan, menutup mulut dan hidup ketika batuk atau bersin, tidak menyentuh muka mereka ketika belum mencuci tangan, dan membersihkan atau disinfect mainan anak. Semua itu kita lakukan sebagai akibat, dari ketidakmampuan kita menjaga hubungan dengan teman-orang lain. Disinilah, hukum sebab-akibat ditanamkan. Kita, dalam tahapan ini, bukan lagi melakukan social distancing, tapi lebih pada physical distancing pada anak. Bukan menjaga jarak sosial, tapi jarak fisik.
Waktu yang Tepat Bicara Kematian
COVID-19 telah memakan korban jiwa dan itulah risikonya. Ini adalah kesempatan yang bagus untuk berdialog tentang kematian. Dialog, tidak cuma bertukar kata. Ketika anda mengajak anak ke makam, itu termasuk dialog. Ketika anda mengajak tahlil setiap malam jumat, itu pun dialog juga. Kita gunakan kesempatan ini, untuk mendialogkan apapun, termasuk kematian. Apalagi Anda sedang di rumah, tidak sedang (barangkali) berduka dan banyak waktu untuk bicara.
Pasal yang pertama adalah, jangan pernah berbohong bahwa kematian sama dengan “disayangi”, “dipinjam” atau “sedang dijamu” Tuhan. Kita harus jujur. Jujur tidak harus ilmiah, tapi terangkanlah berdasar tingkat menalar anak. Jangan dikatakan pada anak, bahwa orang yang mati itu, misal adalah pamannya yang menjadi pasien COVID-19, Tuhan memanggil karena sangat cinta. Meskipun maksudnya bagus, tapi bisa jadi, dianggapnya Tuhan merebut paman tercintanya dengan kejam.
Lebih baik dikatakan dengan jujur bahwa “Ada binatang kecil sekali, Namanya COVID-19, saking kecilnya, tidak terlihat dan mudah berpindah. Binatang itu kemudian masuk ke tubuh paman. Lihat, Paman sakit kan? Beliau sempat di rumah sakit. Binatang itu kemudian, beranak pinak di dalam tubuh, menyerang paru-paru sehingga sulit bernafas dan akhirnya berhenti. Sebagian orang bisa melawannya, sebagian lagi, karena tak cukup punya kekuatan, akhirnya meninggal”.
“Adik tak mau bukan, binatang kecil itu masuk kedalam tubuh adik. Makanya, untuk mencegah binatang itu masuk, cucilah tangan adik. Tutup hidung-mulut ketika bersin, dan, jika adik merasa demam dan binatang itu masuk, jauhilah kakek-nenek juga teman-teman. Biar binatangnya tidak berpindah ke mereka. Bilang sama ayah, kita akan tanya ke dokter sama-sama”.
Pasal kedua, terangkanlah bahwa kematian adalah gejala yang terjadi pada semua manusia. Kematian haruslah diterima sebagai fase pasti yang dilewati manusia. Termasuk ayah, ibu, juga si anak. Kematian bisa datang dengan banyak cara, termasuk wabah. Ketika mati, kita sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Jika kita ingin terus melakukan banyak hal, kita harus menjaga kesehatan.
Menghargai Kehidupan dengan Menanam
Untuk itu, ajak anak untuk menghargai kehidupan. Ajaklah anak untuk menanam, sejak dari bebijian. Ajak anak untuk mengamati perkembangan, hari ke hari. Latihlah ia untuk telaten memberi asupan. Sebab jika tidak, lihatlah nak, tanaman ini akan mati, tidak bernyawa dan itu akibat kecerobohan kita. Maka rawatlah ia hingga tumbuh besar, hingga kemudian beranak-pinak atau bermanfaat. Peristiwa itu akan membangun rasa empati anak, juga kesadaranya akan pentingnya kehidupan
Untuk mencerdaskan anak, apakah tidak cukup dengan aplikasi bimbingan belajar atau apapun yang direkomendasikan sekolah? Pendidikan, bukanlah memindahkan kelas ke kamar. Sehingga tidak cukup dengan aplikasi atau tugas saja. Ada intelektual, ada pula emosional. Karena Pendidikan, sejatinya, bukan proses melulu memasukkan materi, tapi juga mengeluarkan potensi dirinya, termasuk emosinya. Sehingga, lingkungan yang baik bukanlah lingkungan yang membuat anak bisa berdiam manis membaca tulisan atau mengerjakan tugas, tetapi juga lingkungan yang membuat anak bertemu dengan banyak situasi yang membuat dia gelisah, bertanya-tanya dan kemduian bisa merekontruksi sendiri pengetahuannya.
Baca juga: Libur Sekolah, Jilbab dan Pelajaran Agama yang Tidak Relevan
Jika anda merasa, bahwa anak anda, ketika di rumah sulit untuk belajar, atau anda merasa bahwa dengan aplikasi bimbel saja tidak cukup, tentu ini menjadikan semuanya begitu gamblang. Bahwa, Pendidikan kita hanya bisa membuat anak patuh untuk belajar, tapi belum bisa menjadikan anak menjadi seorang pembelajar yang mandiri, alih-alih masih menjadi pembelajar yang terus-menerus disuapi.