Tangis Haru, Tarian, dan Senyuman Anak-anak Pasca Diberlakukan Gencatan Senjata di Gaza

Tangis Haru, Tarian, dan Senyuman Anak-anak Pasca Diberlakukan Gencatan Senjata di Gaza

Tangis Haru, Tarian, dan Senyuman Anak-anak Pasca Diberlakukan Gencatan Senjata di Gaza
Jalur Gaza telah menjadi “kuburan” bagi anak-anak di tengah serangan tanpa henti Israel terhadap wilayah tersebut, ujar Kepala Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) pada Rabu (20/11/2024). ANTARA/Anadolu/py

Islami.co (Gaza) — Meski sempat terlambat tiga jam, akhirnya gencatan senjata di Gaza resmi diberlakukan pada tanggal 19 Januari 2025 waktu setempat. Di berbagai penjuru Gaza, anak-anak dan keluarga mereka menyambut kabar gencatan senjata dengan penuh sukacita. Mereka turun ke jalan, menari, dan mengibarkan bendera Palestina sebagai ungkapan kebahagiaan atas berakhirnya perang yang membuat mereka kehilangan banyak sanak dan keluarga.

AJ+ melaporkan bahwa warga Palestina merayakan dimulainya gencatan senjata antara Hamas dan Israel yang telah lama dinantikan.

“Masyarakat Palsetina merayakan awal dari jeda dari Genosida Israel di Gaza yang telah lama ditunggu dan sempat tertunda,” tulis AJ+ dalam salah satu unggahan beritanya.

Beberapa pengungsi mengungkapkan kebahagiannya. Seorang ibu lima anak yang mengungsi dari rumahnya selama konflik merasakan air matanya tumpah saat mendengar kabar baik itu.

“Saya bahagia, ya, saya menangis, tetapi itu adalah air mata kebahagiaan,” ujar sang ibu dikutip dari Reuters.

Anak-anak Alami Trauma, 46 Ribu Orang Jadi Korban

Meskipun gencatan senjata membawa kelegaan, tantangan besar masih menanti anak-anak Gaza. Banyak dari mereka mengalami trauma mendalam akibat pengeboman tanpa henti, dengan tanda-tanda stres dan ketakutan yang mendalam.

Hingga saat ini, menurut laporan AJ+, setidaknya 46.707 warga Palestina telah terbunuh akibat serangan Israel. Namun, jumlah korban jiwa diperkirakan masih akan meningkat.

Selain itu, kondisi kehidupan yang sulit di kamp-kamp pengungsian memperparah penderitaan mereka. Tanpa akses terhadap listrik atau gas, keluarga pengungsi harus menanggung suhu dingin yang mengancam jiwa.

“Putri saya yang berusia tujuh tahun hampir menangis di malam hari karena kedinginan,” ujar Shabet seorang ayah yang turut mengungsi di Khan Younis bersama putrinya, dikutip dari Aljazeera.

Gencatan senjata ini diharapkan menjadi langkah awal menuju perdamaian yang lebih permanen, memberikan kesempatan bagi anak-anak Gaza untuk kembali merasakan masa kecil yang aman dan bahagia.

(AN)