
Apa yang terlintas dalam pikiran kita ketika disebut kata al-Qur’an?” Ini adalah pertanyaan yang kerap kulempar pada mahasiswa kelas yang baru. Pada umumnya jawaban yang muncul adalah: sebuah mushaf yang bertuliskan ayat-ayat mulai dari surat al-Fatehah sampai dengan an-Nas.
Salahkah jawaban di atas? Tentu tidak!
Definisi al-Qur’an yang kita wariskan dari generasi ke generasi memang demikian dg berbagai keterangan tambahan. Jawaban ini berdampak pada cara menilai sebuah tindakan itu sesuai atau tidak dengan.al-Quran adalah dengan mengecek apakah sejalan dengan teks al-Qur’an atau tidak. Meskipun jika perubahan konteks hari ini menyebabkan dampak kezaliman.
Hal serupa mungkin terjadi saat kita mengenang RA Kartini. Apa hal pertama yang terlintas dalam pikiran kita?
Mungkin seorang perempuan bersanggul yang mengenakan kain panjang dan kebaya. Salahkah? Tentu tidak! Sebab sejarah menunjukkan foto sosok beliau seperti itu. Jika hanya ini yang dikenang, mungkin cara meneladani beliau juga jadi bertumpu pada tampilan fisiknya.
Prinsip dan Nilai
Al-Qur’an tentu saja dijiwai oleh sekumpulan prinsip dan nilai yang jika diperas, maka sarinya adalah TAKWA, yakni prinsip tunduk mutlak hanya pada Allah (Tauhid) untuk menjalankan perintah mewujudkan kemaslahatan seluasnya di bumi (amanah Khalifah fil-Ardl).
Prinsip ini melahirkan sistem nilai yang bertumpu pada kemaslahatan umum pada sesama manusia, bahkan makhluk Allah sehingga keadilan menjadi keniscayaan (bersikaplah adil karena ia lebih dekat dengan takwa).
Karena itu, penting membangun satu kesadaran bahwa al-Qur’an adalah firman Allah yang memerintahkan keadilan dan melarang kezaliman, termasuk pada perempuan. Ingat al-Qur’an ingat perintah dan larangan Allah ini sehingga kita menjadi waspada atas bentuk-bentuk penafsiran manusia atasnya yang justru melahirkan kezaliman, termasuk pada perempuan karena ia bertentangan dengan prinsip dan nilai yang menjiwai al-Qur’an, meskipun secara tekstual cocok!
RA Kartini adalah perempuan Muslimah yang kritis terhadap ketidakadilan di masyarakatnya, terutama pada perempuan, lalu bergerak mengatasi semampunya. Ia adalah sosok yang menjadi versi diri terbaik sesuai dengan kondisi yang dihadapinya, termasuk saat menghadapi pilihan dilematis berkaitan dg perkawinannya.
Kita perlu melihat relasi kuasa antara keluarga beliau dan calon suami. Apa yang mungkin terjadi pada keluarganya jika ia berkeras menolak perjodohan dg laki-laki berkuasa yang tidak lagi single itu. Ia pun bernegosiasi untuk mengambil keputusan yang bahayanya paling ringan (akhoffudl dlarurain), baik bagi diri, keluarga, maupun perempuan yg sedang diperjuangkan.
RA Kartini juga kritis pada konstruk sistem pengetahuan agama yang ada waktu itu yang tercermin dari dialog dengan KH. Saleh Darat, guru ngaji beliau.
Hal ini mengingatkan kritisnya sayyidah Aisyah RA kala mendengar periwayatan hadis-hadis yang menyudutkan perempuan. RA Kartini tidak hanya kritis tapi juga punya empati tinggi pada korban kezaliman, khususnya perempuan.
Ingat RA Kartini, ingat sosok perempuan yang mampu menjadi makhluk yang berakal budi di tengah masyarakat yang, apalagi kala itu, masih memandang perempuan termasuk dirinya hanya sebagai objek seksual.
Perempuan, bahkan hingga kini, masih dianggap wajar dipaksa nikah yang tentu saja akan dilanjutkan dengan unwanted hubungan seksual, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Padahal pengalaman biologis khas perempuan ini sudah wahnan ala wahnin meski dilakukan dengan suami yang sangat dicintai.
Pikiran beliau bahwa pendidikan bagi perempuan sebelum usia matang perlu diprioritaskan daripada perkawinan dianggap tidak penting. Begitupun rasa takut, sedih, duka lara atau sebaliknya bahagia, ridlo, suka cita juga tidak penting. Akhirnya beliau wafat di usia sangat muda tak lama setelah melahirkan anak pertamanya.
Semoga kita bisa berposes menjadi makhluk berakal budi sehingga mampu berpegang teguh pada prinsip dan nilai al-Quran untuk bergerak dari kezaliman menuju cahaya (minadz dzulumati ilan nur) dan mampu meneladani RA Kartini sebagai perempuan ber-Nalar Kriitis Muslimah yang menggerakkan kaumnya sehingga Habis Gelap Terbitlah Terang.
Aamiin YRA