Mohamad Syafaat: Jejak Napoleon Bonaparte dalam Arsip Kementerian Agama

Mohamad Syafaat: Jejak Napoleon Bonaparte dalam Arsip Kementerian Agama

Mohamad Syafaat: Jejak Napoleon Bonaparte dalam Arsip Kementerian Agama
Mohamad Syafaat

Di rumah sederhana yang dipenuhi tumpukan dokumen, debu dan aroma kertas tua bercampur kopi hitam menyambut siapa pun yang datang. Memasuki pintu belakang, di sanalah Mohamad Syafaat, seorang pegawai Kementerian Agama, menata hidupnya di antara lembaran sejarah yang nyaris dilupakan institusinya sendiri.

Ia bukan sekadar birokrat. Ia adalah penjaga ingatan. Dan lebih dari itu, ia penulis yang keras kepala dalam menghadapi birokrasinya, narasi resmi yang terlalu rapi tanpa kritik dan cenderung seragam.

Tak banyak yang tahu, Syafaat menyimpan puluhan mungkin ratusan dokumen dan arsip penting. Berasal dari masa-masa awal berdirinya Kementerian Agama, banyak di antaranya tak lagi tersimpan di rak-rak lembaga negara. Namun ia menemukan kembali dalam kotak-kotak kayu tua di pasar loak, toko online, dan surat-menyurat personal dari tokoh-tokoh awal Kemenag.

Bagi Syafaat, ini bukan sekadar benda, melainkan saksi sejarah yang bersuara.

“Buku sejarah resmi terlalu banyak melewatkan konflik, ketegangan, bahkan kebimbangan para perintis,” katanya dalam satu obrolan. “Kementerian Agama bukan lahir begitu saja sebagai representasi umat Islam. Ia lahir dalam pusaran tarik-menarik kepentingan nasionalisme, Islamisme, dan birokrasi warisan kolonial.”

Ia kritik tajam beberapa buku sejarah resmi Kemenag yang menurutnya terlalu normatif dan cenderung melanggengkan kebohongan. Syafaat merasa narasi semacam itu gagal menangkap kerumitan dinamika keagamaan dan politik di awal kemerdekaan. Ia menyebut tokoh-tokoh seperti Wahid Hasyim, HM Rasjidi, Anwar Harjono, dan Saifuddin Zuhri punya cerita sendiri tentang kompromi dan ketegangan.

Dukungan moral dan intelektual datang dari Hengki Ferdiansyah. Kolega muda yang tengah berada di Leiden. Berkat Hengki, Syafaat mendapatkan akses ke arsip-arsip Belanda yang menunjukkan dengan gamblang bagaimana logika kolonial mengatur relasi negara dan agama lewat regulasi penghulu, pencatatan pernikahan, dan kontrol terhadap lembaga pendidikan Islam.

“Yang saya cari bukan glorifikasi,” ujar Syafaat.

“Berdasarkan pembacaan saya terhadap sejumlah dokumen, jelas sekali ada ketidakjujuran dalam penulisan sejarah resmi Kementerian Agama. Fakta penting banyak diabaikan. Kita perlu membangun narasi masa depan Kemenag bukan dari satu versi tanpa kritik, tapi dari pemahaman mendalam atas apa yang telah terjadi.”

Dalam kesendiriannya ia menulis catatan dari kardus kosong yang ditempel di dinding garasi rumah. Kadang ditemani suara istri atau anaknya mengaji, kadang hanya oleh siaran berita.

Syafaat menggarap bukunya pelan-pelan, bahkan bisa dibilang lambat. Tidak ada tenggat dari penerbit, tidak ada tekanan dari institusi. Tapi ada semangat: kobaran api sejarah kementerian yang ia cintai tidak terjerumus kepalsuan.

Dari Sejarah Kementerian Agama ke Napoleon Bonaparte

Ramadhan lalu dia berkunjung ke rumah saya. Dengan gaya bicaranya yang meledak-ledak menceritakan sejumlah temuan menarik berdasarkan hasil bacaannya, dia akan ceritakan dalam pengantar editor dalam buku terjemahan Caught Between Three Fires tentang penghulu yang akan diterbitkan beberapa saat mendatang.

Betapa terkejutnya saya ketika ia menjelaskan seluk beluk temuannya. Karena ia tidak putus-putus bercerita dengan begitu semangat, lalu, saya berseloroh, “kalau begini ceritanya, bisa juga menjelaskan dampak Revolusi Perancis terhadap adminstrasi Kementerian Agama?”

Lalu ia jawab serius, saya kembali jadi pendengar yang baik. Dan ia menjelaskan tentang Napoleon Bonaparte.

Napoleon Bonaparte, yang sering dikenang karena ambisi militernya, sebenarnya telah meninggalkan jejak administratif lebih permanen daripada penaklukan wilayah, yakni tentang sistem pencatatan sipil. Jejak ini, bermula dari Prancis pasca-revolusi, menyebar ke berbagai penjuru Eropa dan bahkan mencapai Hindia Belanda, membentuk fondasi birokrasi modern yang masih dapat kita lihat hingga hari ini dalam praktik pencatatan nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) di Indonesia.

Sebelum Revolusi Prancis 1789, urusan pencatatan kelahiran, pernikahan, dan kematian adalah domain gereja Katolik. Pastor di setiap paroki punya otoritas tunggal pencatat identitas warga, bukan hanya kebutuhan religius tetapi juga administratif. Revolusi menghapus dominasi gereja dalam urusan negara. Dengan semangat sekularisme dan kesetaraan menjadi ruh revolusi, negara mengambil alih fungsi-fungsi gereja tersebut. Puncaknya pengesahan Code Civil des Français tahun 1804, yang dikenal juga sebagai Code Napoléon, yang menjadikan pencatatan sipil sebagai tugas resmi pejabat sipil negara. Dalam hukum ini ditegaskan, “The civil status of persons shall be recorded by public officers of the civil state” (Pasal 34–101).

Ketika Napoleon menaklukkan sebagian besar daratan Eropa, ia tidak hanya membawa pasukan tetapi juga sistem hukum baru. Negara-negara seperti Belanda, Belgia, Italia utara, dan Jerman bagian barat menerima sistem civil registry sebagai bagian dari reformasi administratif. Di Belanda sendiri, sistem ini resmi diterapkan pada 1811 ketika negeri itu berada di bawah kekuasaan Louis Bonaparte, adik Napoleon, yang ditunjuk sebagai raja.

Setelah kekuasaan Prancis berakhir, Belanda tidak serta-merta membuang sistem pencatatan sipil itu. Ia menjadi bagian dari struktur birokrasi modern Belanda dan kemudian dibawa serta ke Hindia Belanda pasca-1816. Namun, kolonialisme memiliki logika sendiri. Sistem pencatatan sipil tidak diberlakukan seragam di antara semua penduduk. Orang Eropa dan Timur Asing seperti Cina dan Arab diwajibkan mengikuti pencatatan sipil bergaya Eropa.

Namun bagi penduduk pribumi, terutama umat Islam, pemerintah kolonial menciptakan saluran khusus: para penghulu. Mereka bukan saja tokoh agama, tetapi juga bagian dari struktur administratif negara kolonial. Peran mereka dilembagakan dalam Priesterraad (Dewan Agama), dan mereka diberi otoritas mencatat peristiwa nikah, talak, dan rujuk.

Muhamad Hisyam, dalam disertasinya di Universitas Leiden berjudul Caught Between Three Fires: The Javanese Pengulu under the Dutch Colonial Administration, 1882–1942 (2001), rinci menjelaskan bagaimana posisi penghulu yang semula otoritatif dalam masyarakat Islam, perlahan-lahan dijinakkan dan dibirokratisasi negara kolonial. Mereka dijadikan pegawai negeri, tunduk pada regulasi negara, dan kehilangan banyak otonomi keagamaannya. Ini merupakan bentuk kolonialisasi otoritas Islam yang subtil namun sistemik. Buku ini telah dialihbahasakan Dedi Slamet Riyadi tahun 2024.

Sejarawan Husni Rahim dalam bukunya Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang (Logos, 1998), menelusuri lebih jauh bagaimana warisan sistem kerajaan Islam dalam administrasi pencatatan pernikahan berpadu dengan sistem kolonial yang berasal dari Prancis. Demikian pula Aqib Suminto dalam Politik Islam Hindia Belanda (LP3ES, 1985) menunjukkan bagaimana pemerintah kolonial memanfaatkan institusi keagamaan demi stabilitas politik.

Daniel S. Lev, dalam Peradilan Agama Islam di Indonesia: Suatu Studi tentang Landasan Politik Lembaga-lembaga Hukum (Intermasa, 1986), memberi fondasi teoritis bahwa hukum Islam dalam praktik kolonial bukan hanya didomestikasi, tetapi juga dikomodifikasi. Penghulu tidak hanya dimanfaatkan mengatur kehidupan rumah tangga masyarakat Islam, tetapi juga dijadikan instrumen pengawasan dan integrasi sosial.

Menariknya, sistem pencatatan ala Prancis ini tidak hilang pasca-kemerdekaan. Ia terus hidup dalam bentuk ganda: Dinas Catatan Sipil untuk masyarakat umum, dan KUA untuk umat Islam. KUA, yang berada di bawah Kementerian Agama, menjadi ruang kontestasi antara modernitas birokratik dan tradisi hukum Islam. Namun, sedikit yang menyadari bahwa formulir-formulir yang mereka isi di KUA, hingga format surat nikah yang mereka pegang, adalah buah dari warisan Napoleon.

Bahkan, Syafaat, yang juga editor terjemahan Caught Between Three Fires karya Hisyam menyebut bahwa sistem pencatatan di KUA tidak bisa dilepaskan dari pengaruh revolusi Prancis. Pengetahuannya yang mendalam bahkan mampu menautkan peran Napoleon dalam mendefinisikan ulang fungsi negara dalam urusan sipil yang kemudian menular hingga pelosok Nusantara. Apalagi, kini muncul dokumen-dokumen dari Hengki di Leiden yang menunjukkan betapa sistematis dan terencana kolonialisme administratif ini.

Dalam skema sejarah panjang itu, kita melihat bahwa Napoleon tidak hanya mewariskan mitologi penaklukan bangsa-bangsa di Eropa, tetapi juga sistem dokumentasi sipil yang rasional, tersentralisasi, dan berusia panjang.

Jika KUA hari ini menginput data nikah ke dalam sistem digital Kementerian Agama, artinya sedang melanjutkan dari satu gerakan yang dimulai lebih dari dua abad lalu di Prancis.

Jika arsip adalah bentuk kekuasaan modern, maka Napoleon adalah arsitek utamanya. Dan kita semua, hingga hari ini, adalah bagian dari sistem itu. Pengaruh Napoleon terhadap sistem pencatatan sipil sangat besar. Ia menciptakan syarat negara modern yang memonopoli pencatatan peristiwa penting, lalu mengekspornya ke Eropa dan koloni-koloninya. Belanda sebagai koloni Prancis mewarisi sistem itu, lalu membawanya ke Hindia Belanda. Di sini, sistem itu disesuaikan dengan kondisi sosial-religius melalui posisi penghulu, yang hingga kini menjadi basis kerja KUA.

Warisan Napoleon hidup di balik setiap akta nikah yang ditandatangani di KUA hari ini.

***

Mohamad Syafaat tekun menyusun potongan demi potongan sejarah Kementerian Agama. Seperti seorang arkeolog dalam sunyi mengerjakan arsip dan riuh pikirannya, ia menjaga agar kita semua tidak kehilangan arah, agar agama dan negara terus bisa berdialog tanpa saling menenggelamkan.

Dan mungkin, kelak, sejarah akan mencatat Syafaat bukan sekadar sebagai pegawai. Tapi sebagai orang yang menghidupkan kembali apa yang pernah dilupakan.