Sulit rasanya membayangkan jika semua warung makan di Indonesia hanya menjual mie rebus. Mie rebus sangat lezat. Tidak heran kalau semua warung makan yang menjual mie rebus pasti laris manis. Selain itu, makanan yang terbuat dari mie instan ini seringkali dijual murah, dengan bumbu yang gurih dan bikin lidah bergoyang.
Namun, bisakah anda bayangkan jika semua rumah makan hanya menjual mie rebus? Semua food court di mal, semua angkringan, dan ibu-ibu kantin di sekolah. Anda sedang haus misalnya setelah jogging. Namun, para pedagang hanya jualan mie rebus. Karena ceritanya, mereka tidak suka keberagaman. Pokoknya semua hal harus sama termasuk masalah kuliner. Akhirnya, anda pun minum pakai kuah mie rebus, dan pingsan saat perjalanan ke rumah. Ini hanya soal kuliner.
Dalam realita kehidupan dunia, tidak ada satu pun ciptaan Tuhan yang benar-benar tunggal tanpa ada unsur-unsur perbedaan di dalamnya. Menurut al-Qur’an, kemajemukan atau pluralitas adalah kepastian. Dengan kata lain, al-Qur’an secara afirmatif menjelaskan keesaan Khaliq dan pluralitas selain Dia. Dengan demikian, al-Qur’an sendiri merupakan referensi paling otentik bagi pluralitas.
Tarmizi Taher, dalam tulisannya Membumikan Ajaran Ketuhanan: Agama dalam Transformasi Bangsa, membahasakan pluralitas sebagai hukum Tuhan yang diciptakan agar manusia mensyukuri perbedaan yang ada. Dengan kata lain, secara teologis, pluralitas adalah sunnatullah.
Ketika pluralitas dipahami sebagai sunatullah maka pengingkaran terhadap pluralitas adalah kekufuran terhadap sunatullah itu sendiri. Jika sunatullah tersebut diyakini sebagai suatu kebenaran yang tak terpungkiri, maka pengingkarannya berarti suatu kekufuran terhadap kebenaran. Konsekuensinya, upaya menyeragamkan manusia ke dalam satu pandangan, sistem, cara, keyakinan, dan kehidupan adalah usaha yang sia-sia dan bertentangan dengan ketetapan dan takdir Allah. Hal itu hanyalah membawa kepada kesia-siaan dan kegagalan.
Secara filosofis, pluralitas dibangun dari prinsip pluralisme, yaitu sikap, pemahaman dan kesadaran terhadap kenyataan adanya kemajemukan, keragaman sebagai sebuah keniscayaan, sekaligus ikut secara aktif memberikan makna signifikansinya dalam konteks pembinaan dan perwujudan kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang manusiawi dan bermartabat.
Pluralitas dalam pandangan Islam dipahami sebagai suatu kekuasaan dari ayat Allah yang tidak tergantikan. Tidak ada satu dimensi pun dipandang maslahat kecuali dengan hadirnya dimensi yang lainnya, sehingga terjadi interaksi dan dialog yang terus terjadi di antara berbagai komunitas yang berbeda. Dalam kaitan ini, Allah berfirman dalam QS. al-Rum ayat 22 yang berbunyi,
وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦ خَلْقُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَٰنِكُمْ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّلْعَٰلِمِينَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui,”
Salah satu penafsiran terhadap lafal “alsinatikum” adalah perbedaan anggota pengucap dari suatu individu, yaitu adanya perbedaan bahasa, dialek, getaran suara, bentuk tubuh manusia, sidik jari tidak ada yang sama persis. Keseluruhan ini merupakan ayat Tuhan yang pasti.
Dalam hal ini, Zamakhsyari mengatakan bahwa pluralitas tersebut merupakan satu ayat dari ayat Allah yang mencakup jenis pengucapan, sehingga tidak ada dua pengucapan dari dua orang manusia yang sama desahnya, kerasnya, ketajaman suaranya, kelembutannya, kefasihannya, dialeknya, susunan katanya, gaya bicaranya dan hal-hal lain yang menyebabkan antara satu manusia dengan manusia lain memiliki keunikan tersendiri.
Ayat tersebut, secara eksplisit dan implisit, mengungkap pengakuan Allah sendiri terhadap fakta pluralitas yang teraktualisasi bagi diri manusia dan menjadi keniscayaan mutlak yang tidak mungkin dibantah oleh siapapun.
Dengan kata lain, al-Qur’an mengakui manusia sebagai individu-individu yang unik, parsial, plural dan sekaligus sebagai ayat Allah Yang Maha Kuasa. Tidak dapat dibayangkan akibat buruk apa saja yang akan menimpa manusia dan tata kehidupannya jika Allah menjadikan jenis makhluk ini sama persis secara keseluruhan.
Menurut Muhammad Abduh, pluralitas makhluk yang dapat disaksikan oleh mata kepala sangat berkaitan dengan kebebasan kehendak Tuhan. Menurutnya, Tuhan berbuat dengan kemauan yang bebas. Tidak satupun di antara tindakan tindakan Tuhan dengan segala aktifitas penciptaan makhluk-Nya didasarkan pada sebab-akibat atau karena ada suatu tekanan. Artinya, Tuhan dengan segala kehendak bebas-Nya yang tak terbatas pada akhirnya memutuskan untuk mendesain makhluk-Nya menjadi beragam.
Al-Qur’an tidak hanya menguraikan pluralitas secara global, tetapi menanamkan kaidah-kaidah mendasar bagi pluralitas. Kaidah-kaidah itu terspesifikasi ketika al-Qur’an menegaskan adanya pluralitas agama yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya di dalam kehidupan manusia.
Kaidah-kaidah pluralitas dalam al-Qur’an dijelaskan paling tidak dalam tiga aspek. Pertama, nas-nas yang menegaskan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dari pasangan (lebih dari satu). Hal ini membuktikan tidak adanya ketunggalan dalam masyarakat dan menegaskan pluralitas yang dimulai dari satu pasangan atau banyak pasangan di dalam masyarakat.
Kedua, ketetapan prinsip berderajat untuk mengeskplorasi keberagaman kelompok yang ada dalam masyarakat. Bahkan, Nabi-nabi pun memiliki derajat yang berbeda-beda. Ketiga, prinsip berlomba dalam berbagai kebajikan yang secara eksplisit memberikan penghargaan kebebasan individu. Dengan demikian, al-Qur’an merupakan sumber utama dalam mengapreseasi terjadinya pluralitas atau kemajemukan dalam kehidupan dunia ini.