
“Mari ibu-ibu, bapak-bapak, kalau anak panjenengan nakal-tidak bisa ngaji silakan bisa belajar ngaji di sini. Insyaallah, anak ibu-bapak lancar ngaji dan rezekinya lancar dan berkah.”
Pada suatu pagi, 8 tahun yang lalu di jalan di Slamet Riyadi Solo, saya tergaket-kaget saat melihat pengajian Al-Qur’an dilakukan di pinggir jalan.
Kekagetan itu bertambah ketika mendengar ajakan bombastis seperti yang sebutkan di atas. Karena itulah saya mencoba belajar ngaji di tempat ini secara kilat dan menelitinya sampai sekarang.
Ngaji Al-Qur’an di pinggir jalan adalah hal yang baru dalam sejarah hidup saya. Selama menjajagi kota-kota besar di Indonesia, seperti Surabaya dan Jakarta, belum pernah menemukan fenomena Al-Qur’an dibaca di pinggir jalan. Dan di Solo, mungkin sekarang terjadi di beberapa kota lain, kita akan mudah melihat fenomena serupa.
Saya seperti melihat Indonesia dari sudut yang lain, yang berkarakter Islami sangat kuat sampai berpenghuni di jalan-jalan. Tentu saja pandangan ini tak bisa selamanya berwibawa. Namun kita yang hidup di dunia modern harus bisa menerima. Tinggal apakah kita bisa bernegoisasi dengan identitas kebudayaan muslim modern yang sedang mereka bentuk.
Yang menarik, mereka tidak hanya menyelenggarakan belajar Al-Qur’an. Tetapi juga menyediakan jasa kesehatan gratis setiap hari Minggu di hari bebas berkendara alias car free day (CFD). Mereka memulai kegiatan pukul 06.00-09.00 WIB, bertempat di depan Gramedia (sekarang di depan sekolah MAN) Solo.
Mereka menghampar tikar berwarna hijau sepanjang 20 meter, membawa Al-Qur’an, menyalakan sound system berukuran kecil dan tak lupa memasang atribut mereka. Beberapa buah meja disiapkan lengkap dengan mushaf Al-Qur’an di atasnya. Sejumlah ustaz-ustazah juga siaga menanti masyarakat yang ingin belajar. Bahkan mereka juga membawa anak mereka yang hafal beberapa ayat Al-Qur’an untuk dijadikan sebagai contoh promosi.
Kelompok ini menggelar ngaji Al-Qur’an di CFD dengan satu alasan: bertujuan berdakwah dan meminimalisir angka buta huruf kitab suci umat Islam. Menurut mereka, angka buta di Indonesia sangat tinggi sekali. Dan mereka merasa termotivasi untuk menyuarakan Al-Quran dan Islam di tengah hiruk pikuknya dengan cara belajar ngaji di pinggir jalan.
Saat saya bertanya mengapa mereka mengadakan ngaji di CFD, jawab mereka karena CFD adalah ruang terbuka mengedukasi untuk masyarakat dan sekaligus promosi komunitas. Menurut mereka, CFD selama ini hanya diisi oleh keramaian lalu lalang orang, aneka hiburan, aneka jajan dan sebagainya. Sementara mereka melihat bahwa lokasi CFD adalah tempat yang baik dalam berdakwah dan mengajarkan Al-Qur’an.
Bagi mereka, menggelar ngaji di CFD berangkali akan membawa masyarakat Solo kembali kepada Al-Qur’an. “Jika selama ini belum tersentuh di masjid, siapa tahu tersentuh di jalan,” kata mereka. Dengan alasan inilah, mereka konsisten menggelar belajar Al-Qur’an dengan metode Tsaqifa. Alasan memilih metode Tsaqifa, karena metode ini dianggap efektif dan lebih mendekatkan pada metode psikologis. Mereka mengklaim bahwa metode Tsaqifa bisa membuat orang cepat bisa baca Al-Qur’an.
Bagi saya, fenomena ngaji Al-Qur’an di CFD mencerminkan perkembangan ekspresi keberagamaan dalam ruang publik modern. Aktivitas ini menghadirkan nuansa spiritual di tengah dinamika kawasan perkotaan yang kerap diwarnai oleh hiruk-pikuk kehidupan buruk rupa politik saja. Dengan memindahkan praktik mengaji dari ruang-ruang tradisional seperti masjid atau pesantren ke ruang-ruang pinggir jalan, mereka menunjukkan bagaimana Islam dapat mengambil ceruk di tengah arus perubahan muslim yang terus berlangsung.
Dalam konteks ini, ngaji di jalan bisa menjadi aktivitas ibadah, sekaligus menunjukkan fenomena bagaimana agama hadir di ruang publik dan menjadi bagian dari wacana sosial yang lebih luas seperti interaksi sosial, identitas keagamaan, hingga aksi kolektif. Berdakwah dengan cara menggelar ngaji di jalan menegaskan identitas keagamaan di ruang publik.
Charles Tilly, dalam From Mobilization to Revolution (1978), mengatakan bahwa banyak kelompok berkumpul untuk memperjuangkan suatu nilai bersama. Mereka mencoba membangun kelompok-kelompok untuk membentuk identitas kolektif berdasarkan pengalaman dan kepentingan bersama.
Dalam kasus ngaji di jalan, kelompok yang terlibat dalam aktivitas ini secara tidak langsung berusaha mengubah persepsi masyarakat tentang praktik keagamaan. Aktivitas ini bisa dipandang sebagai bentuk resistensi terhadap kehidupan yang serba cepat dan materialistis. Bahkan mereka berupaya melepaskan dari batas ruang-ruang sakral seperti masjid atau pesantren.
Dan dalam kasus aksi ngaji di jalan, mereka ingin menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam tetap relevan dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan modern ini. Selain itu, aksi ini juga bisa sebagai respons terhadap tren gaya hidup yang dianggap semakin jauh dari nilai-nilai Islam. Dengan demikian, ngaji di jalan menjadi fenomena yang patut dilihat dari sisi lain. Bahkan dalam sisi ekstrem sekalipun.