Setelah kedatangan Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro sebagai penyebar awal agama Islam di Makassar dan Indonesia Timur, gelombang kedua penyebaran Islam di Makassar ada di bawah peran Sayyid Jalaluddin Al-Aidid dan Sayyid Ba’alawy. Kedatangan dua Sayyid ini cukup memberi pengaruh pada perkembangan Islam di Makassar, Banjarmasin dan Bima.
Sayyid Jalaluddin datang ke Makassar pada abad ke 17 Masehi, pengaruh Sayyid dan dikenal sebagai Qadi Kesultanan Gowa. Lahir di Aceh tahun 1603, dari pihak ibu bernama Syarifah Khalisah bin Alwi Jamalullail yang juga memiliki garis keturunan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Kedatangan Sayyid di Gowa saat itu pada masa kesultanan Sultan Auluddin, bani ‘Aidid belum memiliki pengaruh cukup kuat dilingkaran kesultanan Gowa.
Peran Sayyid Jalaluddin kemudian merambah ke istana, ketika mampu menyebarkan Islam di Cikoang sampai dicintai oleh masyarakat Cikoang. Kecintaan itu melekat kepada nama sang Sayyid sampai sekarang yang juga dipanggil sebagai Sayyid Cikoang. Pengaruh Sayyid Jalaluddin sampai hari ini masih lestari dalam tradisi masyarakat Cikoang dalam menyambut hari kelahiran nabi. Dalam sebutan masyarakat setempat adalah bulan Maudu Lampoa, dalam tradisi ini kitab karangan sang Sayyid dibacakan Bersama yaitu kitab atau dikenal dengan naskah A Rate (Assikkiri).
Berawal dari pengaruh di masyarakat Cikoang inilah, kemudian Sayyid Jalaluddin memiliki pengaruh pada keluarga kerajaan Gowa, kemudian menjadi guru bagi Sultan Hasanudin kurang lebih selama 16 tahun. Kemudian Sayyid Jalaluddin juga tercatat memiliki murid yang kelak menjadi ulama besar sekaligus pahlawan bagi dua negara (Afrika Selatan dan Indonesia) yaitu Syaikh Yusuf al-Makassari. Atas restu gurunya inilah Syaikh Yusuf berangkat ke Timur Tengah untuk mendalami ilmu agama (Historiografi Haji Indonesia, 2007).
Pengaruh Sayyid Jalaluddin berlanjut ketika menikah dengan putri kerajaan yaitu I Acara’ Daeng Tamami binti Sultan Abdul Kadir Karaengta ri Bura’ne bin Sultan Auluddin. Nama ‘Aidid selanjutnya masuk dalam sejarah kesultanan Gowa, karena Sultan Gowa ke 32, 33 dan 36 menjadi raja Gowa. Pada masa pemerintahan Sayid Ja’far As-Shadiq, Al-Aidid memutuskan bahwa upacara Maudu Lampoa sebagai salah satu hari besar masyarakat Gowa yang secara resmi diakui oleh kesultanan Gowa.
Dalam silsilah keluarga, Sayyid Jalaluddin adalah keluarga dari Sayyid Bahrullah Bafaqih Al-Aidid, Karaeng Poetih adalah keturunan dari Dae Ndisinga, kemudian Dae Ndisinga adalah anak kedua dari Sayyid Umar. Maka keturunan Sayyid Jalaluddin adalah Sayyid Umar bin Sayyid Rahmatullah bin Sayyid Ali Akbar bin Sayyid Umar Bafaqih Aidid bin Sayyid Jalaluddin. Keterangan keluarga besar sang Sayyid ini terdapat dalam silsilah kitab Santina.
Pada tahun 1667 terjadi perjanjian Bongaya, berawal dari adu domba yang dilakukan oleh Belanda sebagai siasat pecah-belah yang berujung pada peristiwa perang saudara antara suku Bugis di Buton dan Makassar di Gowa. Sayyid Jalaluddin juga turun berjuang melawan Aru Palaka, Raja Bone. Tidak berpihaknya Belanda pada kerajaan Gowa, membuat Gowa mengalami kekalahan. Maka muncullah perjanjian Bongaya yang mengharuskan dua kerajaan yaitu Gowa dan Bima untuk tunduk kepada kekuasaan Belanda.
Atas peristiwa ini, Sayyid Jalaluddin mengasingkan diri ke tanah Bima dan kemudian melanjutkan misi penyebaran Islam di Bima pada masa pemerintahan Sultan Bima II yaitu Sultan Sirajuddin. Di Bima, Sayyid Jalaluddin menyebarkan Islam dengan menggunakan berbagai hal antara lain melalui tradisi yaitu mengadakan upacara maulid nabi serta mengembangkan ajaran Tarekat Khalwatiyah (Fakhru Rizki, Historiografi Bima).
Sampai akhir hayatnya, selama kurang lebih 30 tahun lamanya berada di Bima, Sayyid Jalaluddin meninggal dunia pada tahun 1693. Pengaruh Sayyid Jalaluddin dalam pengembaraan Syaikh Yusuf dengan mendalami tarekat Khalwatiyah. Selain itu, masyarakat Makassar masih menjaga ajaran sang Sayyid dengan terus mengadakan upacara Maudu Lampoa sebagai tradisi peringatan kelahiran nabi sekaligus mengajarkan cinta kasih kepada alam semesta yang tergambar dalam upacara adat di Cikoang. Selain itu, sang guru juga menjadi inspirasi semangat perlawanan Sultan Hasanuddin dan Syaikh Yusuf terhadap penjajahan Belanda, berkat semasa hidup Sayyid Jalaluddin yang juga menentang keras kekuasaan Belanda. [rf]