Islam Indonesia 2023: Mengkaji Fenomena Disrupsi Melalui Sudut Pandang Islam

Islam Indonesia 2023: Mengkaji Fenomena Disrupsi Melalui Sudut Pandang Islam

Islam Indonesia 2023: Mengkaji Fenomena Disrupsi Melalui Sudut Pandang Islam

Direktur Embun Kalimasada, Hadza Min Fadhli Robby, mengatakan bahwa wacana “disrupsi” yang sering dibahas di kampus-kampus seringkali hanya dibahas melalui perspektif sekuler. Hal ini tak lebih karena diskusi itu didominasi oleh diskursus Barat.

“Bagaimana dampak disrupsi terhadap kapitalisme, misalnya. Atau konsekuensi era disrupsi terhadap neo-liberalisme. Tetapi jarang tema ini dibahas melalui kaca mata Islami,” ujarnya dalam disksui dan peluncuran buku “Islam Indonesia” edisi keempat pada Selasa (28/2) di Auditorium Gedung Yayasan Badan Wakaf UII, Yogyakarta.

Turut hadir dalam acara ini, Rizki Dian Nursita, Dosen Program Studi Hubungan Internasional UII. Ia menulis Industri Halal Indonesia Menuju Pasar Global. Pembicara kedua adalah Kurniawan Dwi Saputra, mahasiswa doktoral Fakultas Filsafat UGM, yang menulis Meneguhkan Kemandirian dan Peran Deliberatif: Revitalisasi Pendidikan Islam Indonesia di Era Disrupsi.

Dalam diskusi, Rizki Dian Nursita menjabarkan bagaimana upaya Indonesia untuk mentas di panggung internasional melalui industri produk halal. Ia memberikan sudut pandang politik ekonomi dan diplomasi internasional dalam membincang industri produk halal di Indonesia.

Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, kehalalan sebuah produk menjadi hal yang sering dibicarakan atau berkembang menjadi sebuah diskursus yang selalu diperbincangkan oleh publik.

“Akan tetapi, yang sering dibahas adalah soal substance, zat ini baik atau tidak, halal atau tidak dalam Islam. Sedangkan pembahasan tentang bagaimana strategi politik luar negeri Indonesia dalam rangka menjadi global halal hub ini sangat jarang dibahas,” tegas Rizki.

Menurut Rizki, sektor industri halal ini tegak lurus dengan pasar Muslim di Indonesia yang sangat melimpah. Hal menjadikan industri ini tidak dapat dinafikan dari peta ekonomi domestik.

Di sisi lain, Indonesia bukan hanya negara yang menaruh perhatian pada status kehalalan sebuah produk. Di berbagai negara lain, bahkan negara dengan Muslim minoritas pun, status halal rupanya menjadi concern tersendiri dari segi politik ekonomi, seperti Korea dan Jepang.

Realitas pasar dan dinamika industri tersebut dibahas dalam konteks disrupsi yang melanda dunia, terutama di tiga tahun terakhir, yaitu Pandemi Covid-19 dan ancaman resesi 2023.

Wakil Presiden Indonesia, KH. Ma’ruf Amin, menyatakan bahwa Indonesia memiliki visi untuk menjadi global halal hub pada 2024. Apa yang disampaikan (dituliskan) oleh Rizki tersebut juga mengulas tentang apa saja yang sudah dilakukan Indonesia hingga 2023 ini dan apa saja yang masih bisa dikembangkan hingga 2024 nanti.

“Banyak kemudian anggapan bahwa ini adalah proses islamisasi. Nah, yang perlu terus dinarasikan adalah bahwa halal ini bukan eksklusif untuk Muslim saja. Narasi kerahmatan dalam ekonomi halal ini harus terus disebarkan,” terangnya.

Disrupsi ini juga menjadi bahasan utama dalam tulisan narasumber kedua, Kurniawan Dwi Saputra. Ia menggarisbawahi bahwa Pendidikan Islam di Indonesia telah terbukti memainkan peran yang sangat besar bagi konstruksi budaya keislaman Indonesia yang damai dan toleran.

Hingga konteks modern saat ini, ada beberapa model pendidikan Islam di Indonesia, yaitu pondok pesantren, madrasah, pondok modern (konvergensi antara pesantren dan madrasah), dan pesantren kontemporer (pesantren sains, entrepreneur, internasional, dan lingkungan).

Tentu saja, bahasan tentang model institusi pendidikan Islam tersebut, menurut Kurniawan, berbenturan dengan tuntutan untuk beradaptasi dengan peraturan baru pemerintah yang mengatur pendidikan nasional, yaitu UU. No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren dan RUU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional).

“Disrupsi itu misalnya begini, apakah pesantren sains itu harus ada kyai menurut UU Pesantren yang sudah direvisi, atau harus lulusan pesantren jika ingin nyantri di pesantren modern. Meskipun memang sudah difasilitasi oleh UU itu, poinnya adalah proses perumusan UU Pesantren atau RUU Sisdiknas itu memang kurang menggunakan proses deliberatif dengan melibatkan publik,” terang Kurniawan.

Kurniawan juga menyoroti soal tantangan krisis multidimensi yang datang bersama dengan karakter disrupsi era digital. Di tengah pola-pola kehidupan lama yang tergeser oleh kecanggihan teknologi, menurutnya, pendidikan Islam Indonesia perlu merevitalisasi perannya dalam mewujudkan tujuan pendidikannya, yaitu peningkatan harkat manusia menuju deraja ahsanu al-taqwīm.

Diskusi itu disempurnakan oleh komentar dua penanggap; Suwarsono Muhammad, Ketua Pengurus Yayasan Badan Wakaf UII, dan H.E. Dr. Arief Rachman M.D., Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia untuk Afghanistan. Suwarsono menyebut soal perbedaan disrupsi yang lalu dengan yang sekarang. Sedangkan Arief Rachman, salah satunya, menegaskan soal peran Presidensi G20 terhadap pemuda Indonesia sebagai pelaku disruptif dalam merubah tantangan menjadi peluang.

Sebagai informasi, diskusi tersebut merupakan forum peluncuran buku keempat yang diprakarsai oleh Embun Kalimasada setelah sebelumnya menerbitkan Islam Indonesia 2020, Islam Indonesia 2021, dan Islam Indonesia 2022. Agenda ini merupakan bagian dari ikhtiar mengembangkan seni dan budaya yang berjiwa Islami sebagaimana yang menjadi latar belakang berdirinya Embun Kalimasada.