Jaringan Ulama dan Islamisasi di Indonesia Timur

Jaringan Ulama dan Islamisasi di Indonesia Timur

Apakah jaringan ulama yang melakukan islamisasi di Indonesia Timur sama dengan jaringan ulama yang ada di Jawa?

Jaringan Ulama dan Islamisasi di Indonesia Timur
ilustrasi Foto: C.W Mieling Circa 1853

Demi kepentingan khazanah Islam di Indonesia, maka perlu juga mengetahui bagaimana penyebaran Islam di wilayah Timur Indonesia. Penulis secara pribadi memiliki pertimbangan untuk ikut meramaikan pengetahuan mengenai Islam di Indonesia Timur.

Di sisi lain, dalam khazanah keislaman di Indonesia, khususnya di wilayah timur, masih sedikit literatur yang secara lengkap dan detail mengenai Islam di Timur, atau walaupun ada tetapi tidak begitu banyak kajian Islam Timur di tuliskan, jika dibandingkan dengan penulisan Islam di Jawa dan Sumatera.

Hal ini bisa diakibatkan mengenai minimnya para sejarawan dalam menuliskan sejarah Islam di Timur atau tradisi kearsipan yang membuat para sejarawan sedikit sekali menuliskan penyebaran Islam di Timur.

Dalam khazanah Islam, Jawa tentu saja menjadi pusat kajian keislaman paling otoritatif dalam membicarakan Islam di Indonesia. Hal ini dikarenakan munculnya berbagai intelektual di Jawa yang gencar meneliti Islam Jawa dan ramai-ramai menuliskannya. Selain itu, munculnya berbagai pusat studi Islam Nusantara yang menjadi pendorong dalam menuliskan sejarah Islam di Indonesia. Di Jawa kita mengenal Syekh Jumadil Kubro dan Syekh Subakhir sebagai tokoh awal dalam proses Islamisasi di Jawa, kemudian diteruskan oleh generasi selanjutnya yang dikenal dengan sebutan Wali Songo.

Penting kiranya juga mengetahui penyebaran Islam di Indonesia Timur dengan berbagai kepentingan, salah satunya untuk mengetahui bagaimana penyebaran Islam di Nusantara yang dimulai dilakukan sekitar abad 15 dan 16 Masehi. Fungsinya untuk mengetahui apakah penyebaran Islam di Nusantara dilakukan dalam jejaring yang sama atau terpisah, karena mengingat berbagai perkembangan Islam di Indonesia saat ini yang seakan-akan terpisah.

Kiranya dalam menuliskan sejarah terutama penyebaran Islam di Indonesia dapat dilakukan dengan mengambil data dari manuskrip di masing-masing daerah. Manuskrip ini penting menjadi bahan pengetahuan mengenai pelaku dan proses penyebaran Islam di Nusantara. Tradisi menulis ini sudah sejak lama dilakukan oleh moyang bangsa Indonesia, dilihat dari berbagai manuskrip peninggalan orang-orang terdahulu di masing-masing daerah.

Penyebaran Islam di Timur dalam Catatan Manuskrip

Di Indonesia timur, tercecer berbagai manuskrip penting yang memberikan informasi mengenai pelaku dan proses Islamisasi di timur. Di Makassar terdapat manuskrip yang dikenal dengan Lontara Gowa dan Lontara Wajo, di Bima terdapat manuskrip yang disebut BO Sangaji, di Lombok disebut Panambo Lombok.

Jika membicarakan penyebaran Islam di Indonesia Timur, maka perlu melihat beberapa daerah yang menjadi pusat penyebaran yaitu Maluku, Tidore, Gowa, Wajo, Bima, Lombok sebagai daerah yang menjadi bagian penting sejarah penyebaran Islam di Timur.

Di antara akhir abad 15 dan awal abad 16, persinggungan pedagang muslim mulai terbentuk di Maluku mengingat pada abad itu jalur perdagangan di Maluku sedang mengalami puncak kejayaan, bahkan sudah terkenal di seluruh belahan dunia. Dalam proses Islamisasi Maluku dan Tidore sebagai dua kerajaan besar di timur, Sunan Giri dan Gresik mengirim utusannya ke Maluku untuk menyebarkan Islam diwilayah itu.

Sampai kepada puncaknya, Sultan Zainal Abidin menyantri di Giri untuk memperdalam ilmu agama. Masuknya kerajaan Ternate dan Tidore sebagai kerajaan Islam merupakan awal penyebaran Islam di berbagai daerah di Timur. Sunan Giri menjadi tokoh sentral paling berpengaruh dalam penyebaran Islam di wilayah Timur.

Dalam Lontara Wajo, mengenai penyebaran Islam di Gowa atau hari ini lebih dikenal dengan sebutan Makassar, orang-orang Bima lebih sering menyebutnya sebagai Ujung Pandang. Lontara Wajo menyebut bahwa penyebaran Islam di Gowa dilakukan oleh Datuk Tellue yaitu Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro dan Datuk Patimang.

Dalam Panambo Lombok disebutkan bahwa Datuk ri Bandang sebelum menyebarkan Islam, ia menyatri terlebih dahulu di pimpinan agama Giri, kemudian ini diperkuat oleh catatan seorang Graaf dan Pigeaud.

Berkembangnya Islam di Indonesia Timur ditandai dengan diterimanya agama Islam oleh masyarakat Ternate, Tidore, Gowa dan Tallo yang menjadi titik awal penyebaran Islam sampai ke tanah Bima. Kerajaan Bima adalah salah satu kerajaan yang memiliki pengaruh di Nusa Tenggara seperti di pulau Sumbawa, Sawu, Solor, Sumba, Larantuka, Ende, Manggarai dan Komodo.

Hal ini dapat dilihat dari bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat Manggarai yaitu Bahasa Mbojo (Bima). Bima sebagai daerah transit para pedagang yang ingin ke Maluku, menjadikan Bima sebagai salah satu pusat perniagaan di wilayah timur Indonesia. Hal ini pula yang membuat kesultanan Ternate dan juga Gowa yang lebih dahulu memeluk agama Islam mengirim utusan untuk menyebarkan Islam di Bima.

Dalam Panambo Lombok sendiri menyebutkan bahwa Islam langsung disebarkan oleh Sunan Giri, hal ini berbeda dengan BO Sangaji yang menyebutkan Islam masuk melalui pendakwah utusan dari Gowa yaitu Datuk ri Bandang. Walaupun ada perbedaan, namun yang pasti adalah Sunan Giri tetap menjadi tokoh kunci penyebaran Islam di Timur karena Datuk ri Bandang sebagaimana disebutkan di awal ialah santri Sunan Giri.

Peran penting Sunan Giri inilah yang membuat Islam menyebar sampai ke wilayah Indonesia Timur, jaringan para Wali Songo menyebar keseluruh penjuru Nusantara. Ini merupakan data sejarah yang membuktikan bahwa penyebaran Islam di Nusantara dilakukan dalam jejaring yang sama yang berpusat di Wali Songo.

Kekuatan yang telah dibentuk oleh Wali Songo, atau dalam hal ini Sunan Giri di wilayah timur mulai hancur ketika penjajahan datang di Nusantara. Dengan strategi pecah-belah seperti memecah belah Kesultanan Ternate dan Tidore dan juga memecah Kesultanan Gowa dan Tallo, padahal Kesultanan ini bersatu saat penyebaran Islam yang dilakukan oleh jejaring Giri.

Pada abad ke 19 jejaring ini kemudian diteruskan oleh ulama selanjutnya, terutama jejaring yang terbentuk di Hadramaut. Muncul ulama-ulama sekaliber Syekh Abdul Ghani al-Bimawi, Syekh Ibrahim al-Khulushi al-Sumbawi dan Juga Syekh Zainuddin as-Sumbawi. Selain itu muncul juga nama besar seperti Syekh Yusuf al-Makassari. Ia ikut membentuk komunitas al-Jawi di Mekah bersama ulama-ulama lain, yang lebih dulu dan yang sejaman dan tentu saja berasal dari daerah Nusantara. (AN)