Pada awal masa kerja setelah lulus kuliah, pekerjaan saya kurang lebih seperti kebanyakan engineer: menjalankan mesin, merekayasa kondisi, menganalisa dan menyimpulkan beragam data. Pada intinya, hidup dan bekerja sebagai engineer, mengharuskan saya bertindak logis. Akal rasio adalah senjata, sedang data dan fakta adalah pijakannya.
Inilah dia, perangkat lengkap manusia industri era modern. Metode logis rasional, terukur dan terstruktur secara prosedur, juga berbasis fakta dan data—dengan menafikan rasa— rupanya berpengaruh juga pada cara saya memandang dan menjalani syariat agama.
Kala itu, saya beranggapan bahwa beragama dalam segala bentuk kegiatan peribadatan maupun sosial, tak lebih dan tak kurang seperti halnya menyelesaikan persoalan engineering: harus masuk akal, prosedural, rasional, berbasis data, dan bisa dipertanggungjawabkan.
Bagus? Tidak juga.
Minimal, saya langsung mendapati kesulitan pada tahap ‘mencari data’. Untuk saya yang belajar agama sekadar dari mata pelajaran PAI yang hanya seminggu sekali itu, menemukan ‘hujjah’ dalam bersikap dan bertindak adalah persoalan tak mudah. Jangankan mencari rujukan kitab yang relevan dengan kasus yang saya hadapi, kepada siapa saya harus bertanya pun, seringkali buntu.
Dalam keadaan demikian, kemudahan teknologi menjawab kebuntuan: In Google, we trust!!
Ya, bertemulah saya dengan ‘guru’ yang dapat dengan cepat memberi respon jawaban pada soal-soal kehidupan termasuk dalam berbagai masalah agama, ialah beliau: Mbah Syaikh Gugel al-Californii.
Tebaran kutipan ayat atau hadis yang pas, penjelasan ringkas, dan keterangan ustadz-ustadz jebolan Saudi—-kemudian sering disebut markasnya Islam— yang rata-rata bergelar Lc bahkan Doktor, membuat saya meyakini bahwa itulah sebenar-benarnya Islam.
Memang, dalam pandangan saya ketika itu, seperti halnya keprofesian era modern, ilmu agamapun harus disampaikan oleh mereka yang proven dengan pendidikan tingginya. Ditambah metode yang selalu merujuk pada teks-teks (yang tampak seperti prosedur-prosedur), membuat agama yang dimasuki melalui pintu pendekatan ‘industrial’ demikian menjadi logis dan masuk akal.
Ringkas kata, saya beranggapan, itulah cara beragama yang benar.
Lambat laun mendalami cara beragama demikian nganu, menjadi wajar jika kemudian banyak praktek-praktek beragama saya yang diluar ‘prosedur dalil’. Saya lalu berpikir bahwa ada yang keliru dengan cara beragama seperti itu.
Terlebih, beberapa ustadz rujukan Mbah Syaikh Gugel menodong dengan ancaman bid’ah, sesat, bahkan kafir. Praktek beragama tanpa dalil, membuka kemungkinan ketaatan yang berujung neraka. Betapa pahit.
Benar bahwa banyak soal dibahas dan dikemukakan penyelesaian masalahnya, namun rupanya segala solusi keagamaan tadi, dalam ranah implementasinya teramat menghimpit perasaan dan pikiran karena sering berbenturan dengan konteks kehidupan pada kenyataan. Seperti misalkan, saya dapati beberapa teman yang keluar dari pekerjaannya sebab takut riba, atau satu dua tetangga yang tidak mau srawung lagi karena mendapati fakta adat budaya masyarakatnya dihukumi sesat atau bahkan syirik.
Tampak, dengan mengambil guru Mbah Syaikh Gugel dan turunan-turunannya, justru membuat agama menjadi persoalan yang seringkali merunyamkankan urusan keseharian. Tak heran, banyak yang merasa agama menyulitkan, bahkan, lebih parah lagi, laku sebagian umat beragama dianggap menyebalkan. Seolah menjulangnya iman, harus dibayar dengan kehidupan yang tidak nyaman dan tidak menyenangkan. Sesuatu yang bertolak belakang dengan semangat Islam yang rahmatan lil alamin.
Tentu saja ada yang aneh dengan cara beragama seperti ini.
Belakangan, setelah lebih banyak membaca dan bergaul dengan lingkungan pesantren, saya dapati bahwa isi dan penyampaian Mbah Syaikh Gugel yang selalu bermuara pada kaidah dan prinsip untuk kembali pada Qur’an dan Hadits memang ditujukan sebagai antitesis atas fakta banyaknya umat Islam yang dinilai telah banyak melakukan penyimpangan dari jalan lurus. Istilah bekennya adalah purifikasi.
Nah, gerakan puritan ini rupanya memang terorganisir dalam ideologi yang dasar-dasarnya diletakkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, sehingga disebutlah sebagai gerakan: Wahabi.
Gerakan kembali pada Qur’an dan Hadits secara gagasan jelaslah mulia. Namun demikian, seperti pergolakan yang saya alami di atas, perlu kiranya kita berani melakukan verifikasi atas gagasan tersebut.
Oleh karena itu, dengan merujuk pada beberapa literatur yang membahas gerakan Wahabi, termasuk salah satunya karya Nur Khalik Ridwan, kita berharap menemukan titik terang menyangkut cara beragama yang baik, benar, dan sesuai tujuan diturunkannya agama, yakni menjadi rahmat untuk semesta alam.
***
Diktum kembali pada Qur’an dan Hadis, dalam pemahaman gerakan Wahabi, diwacanakan dengan benar-benar merujuk pada teks-teksnya, tanpa banyak mempertimbangkan keluasan disiplin ilmu Islam, seperti misalnya dengan menolak takwil yang dibahas dalam Bab 2 Bagian 3 buku berjudul Sejarah Lengkap Wahhabi; Perjalanan Panjang Sejarah, Doktrin, Amaliah, dan Pergulatannya ini.
Pada dasarnya, penolakan atas takwil (pemaknaan lahir teks ke dalam konteks) memang menjadi salah satu dari empat kaidah dasar yang diletakkan Muhammad bin Abdul Wahab dalam Arba’u Qawaid. Pada Bab 3 bagian 1, Nur Khalik menjelaskan dengan rinci perihal empat kaidah yang menjadi dasar pendiri wahabisme tersebut. Keempat kaidah ini, menurut Muhammad bin Abdul Wahab, berlaku untuk semua aspek agama meliputi ilmu tafsir, ushul, suluk, hadits, maupun halal-haram.
Meskipun terdapat beberapa pengulangan, Nur Khalik dengan ciamik membandingkan prinsip tersebut dengan pendapat fuqaha (ahli fiqh) perihal beberapa kaidah ushul fiqh.
Menyoal maraknya rujukan sejenis yang diberikan Mbah Syaikh Gugel, juga tema-tema senada yang selalu ditampilkan, dapat kita tarik benang merah bahwa ideologi Wahabi secara de facto memang telah menguasai arena dakwah. Hal ini tak bisa dilepaskan dari peran serta Saudi yang menggencarkan wacana purifikasi dalam beragama. Berkat donasi Saudi, misalnya, tak heran bila orang-orang puritan menjelma menjadi kekuatan besar di dunia Islam modern.
Hubungan Saudi dengan Wahabi adalah hubungan panjang yang pada buku Nur Khalik ini dibahas dalam bagian tersendiri pada bagian 2 dengan enam bab pembahasan. Pada Bagian ini, penulis menjabarkan detail Kerajaan Arab Saudi mulai dari asal muasal dan sejarah pendirian, kewilayahan, tokoh sentral seperti As Saud, sampai pengaruh eksternal dari imperium Utsmani, yang secara umum akan membuka banyak informasi mengapa Arab Saudi berbentuk seperti sekarang ini.
Namun demikian, dalam pandangan saya, pada Bagian 2 ini, keterkaitan pembahasan dengan Wahabi sebagai salah satu sempalan ajaran Islam tak terlalu dibahas dengan mendalam, kecuali keterhubungan dalam aspek sejarah dalam rangka saling menguatkan satu sama lain.
Dalam bagian tersebut, kita akan mendapati hubungan antara Wahabi dengan As Saud adalah hubungan mutualisme timbal balik yang saling menguntungkan dan membutuhkan; yang satu tidak dapat eksis tanpa lainnya. Dikala keluarga As Saud ingin menyingkirkan semua pesaingnya untuk menguasai semenanjung Arab dan Wahabiyah ingin menggencarkan gerakan purifikasi di seluruh pelosok Arab, maka bertemulah dua kepentingan tersebut dalam satu kongsi yang cukup prospek.
Pada akhirnya bergabungnya kekuatan politik dan ajaran, membuahkan hasil dengan berjatuhannya satu demi satu kerajaan di Saudi yang puncaknya adalah jatuhnya ke kerajaan Riyadh dalam kendali As Saud. Berangkat dari masa itu, Wahhabi mengokohkan posisinya sebagai kekuatan keagamaan baru yang disokong oleh mesin politik terkuat dalam tatanan pemerintahan baru jazirah Arab.
Pada potongan terakhir buku Wahabi, penulis mengemukakan beberapa pendapat dari para pengkritik dan pembela gerakan Wahhabi, meskipun secara umum, tampak lebih banyak pembahasan dari sisi kritik dibanding dengan bahasan pembelaan pada Wahabbi.
Bagian ini sebenarnya adalah bagian terpenting, selain karena akan kembali disuguhi tema-tema fundamental mengenai Wahhabi, kita juga akan mendapati satu Bab khusus yang menjabarkan keterkaitan Wahabi dalam konteks ke-Indonesia-an, yakni pada Bab 6 Bagian 3.
Pada akhirnya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, buku ini adalah rujukan yang baik untuk mempelajari lebih dalam mengenai gerakan Wahabi. Pembahasan panjang dan mendetail adalah pisau bermata dua yang tak hanya bisa memberi faedah ilmu pada pembacanya secara komprehensif, namun pada saat yang sama, jika tidak dipelajari dengan jujur dan seksama, akan terbangun pemahaman yang salah kaprah.
Maka, akan lebih bijaksana kiranya pembacaan buku ini didampingi dengan literatur lain, syukur-syukur disertai diskusi dengan seorang pakar atau guru yang tersambung sanad keilmuannya hingga Rasulullah SAW.
DATA BUKU
Judul : Sejarah Lengkap Wahhabi: Perjalanan Panjang Sejarah, Doktrin, Amaliyah dan Pergulatannya;
Penulis : Nur Kholik Ridwan ;
Penerbit : iRcisod, 2020 ;
Tebal : 833 halaman
Sumber Bacaan:
Khaled Abou El Fadl, Sejarah Wahabi & Salafi (Jakarta: Serambi Ilmu, 2015)
John L. Esposito (Ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 2001)