“Tuhan telah mati, kita telah membunuhnya”, kata Friedrich Nietzsche.
Bagi sebagian pihak, pernyataannya itu dianggap sebagai penegasan bahwa ia berpaham ateis, anti-Tuhan, dan semacamnya.
Faktanya, ia memang ateis kendatipun sebelumnya sempat menjadi pengikut kristus yang taat. Dan, statement Nietzsche tersebut terucap dalam konteks mengkritisi “pengikut Kristen kala itu” bahwa ajaran-ajaran agama tidak lagi menjadi anutan orang-orang yang beragama.
Pernyataan beragama hanya sebatas ungkapan saja sedangkan ajaran-ajaran agama itu telah hilang dalam akal dan tingkah laku penganutnya.
Nietzsche melihat bahwa orang-orang yang mengaku beragama, bahkan dengan gencarnya menyuarakan ajaran-ajaran agama, sebenarnya mereka telah menjadi ateis atau agnostik. Ajaran-ajaran agama telah dicampur baurkan dengan kepentingan politik, bertentangan dengan prinsip humanisme, bahkan menjadi sumber pertumpahan darah dan perang.
Agama yang seharusnya membimbing manusia untuk menuju kesejahteraan sosial, bermoral, dan beradab justru telah berubah menjadi senjata pemandulan pikiran.
Miming, tesis Nietzsche itu tampak mengerikan jika hanya dibaca secara sambi lalu. Pertanyannya, apakah itu berlaku dalam konteks masyarakat Muslim di Indonesia? Dalam Bahasa Nietzsche, apakah masyarakat Muslim kita telah “membunuh” Tuhan?
Jawabannya tentu bisa sangat relatif. Bisa iya, bisa tidak. Tergantung dari bagaimana masyarakat Muslim di Indonesia menjalankan ajaran-ajaran agamanya.
Misalnya, ketika menjalankan agamanya, umat Muslim justru mengabaikan prinsip-prinsip fundamental dalam agama, yaitu rasa kasih sayang dan penghormatan terhadap sesama umat manusia. Praktik beragama semacam ini yang justru akan mengaburkan prinsip ketuhanan dalam diri seorang hamba. Padahal, semakin relijius seseorang, ia harusnya menjadi semakin humanis dan toleran.
Tulisan ini tidak sedang membincang sebuah isu atau membahas suatu kelompok umat beragama tertentu, namun lebih kepada coretan reflektif soal kehidupan beragama kita melalui kaca mata Nietzsche.
Pada 2021, Alvara Institute mengungkapkan bahwa Indeks Moderasi Beragama secara nasional mencapai 74,9 pada skala 0-100. Dimensi komitmen kebangsaan memiliki nilai tertinggi yaitu 84,5, kemudian diikuti dimensi penerimaan terhadap tradisi lokal (79,2), dimensi anti kekerasan (74,6), kemudian dimensi toleransi (60,6). Dimensi toleransi memiliki nilai paling rendah, tentu ini menjadi catatan tersendiri.
Tingkat moderasi beragama seseorang diukur melalui indeks moderasi beragama. Nilai Indeks Moderasi Beragama dalam rentang 0-100, makin tinggi nilai Indeks Moderasi Beragama maka makin moderat dan sebaliknya, makin rendah nilai Indeks Moderasi Beragama maka makin tidak moderat. Artinya, trend praktik beragama di Indonesia relatif tidak baik-baik amat.
Aspek toleransi menjadi yang paling rendah nilainya dan memerlukan evaluasi tersendiri padahal ia adalah basis kerukunan umat beragama. Meski demikian, secara umum masyarakat Indonesia sepertinya sudah memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi. Komitmen kebangsaan mensyaratkan persatuan. Artinya, meski variable toleransinya rendah, setidaknya masyarakat Indonesia sadar tentang pentingnya persatuan.
Hal ini menunjukkan bahwa agama masih menjadi pedoman dan landasan kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa teori Nietzsche gagal untuk membaca konteks kehidupan beragama di Indonesia. Meski demikian, tesis “Tuhan Telah Mati” bisa menjadi refleksi dan pengingat bagi kita untuk tetap berada dalam jalur yang benar dalam beragama.
Gejala soal “Kematian Tuhan” ini mungkin sedikit terlihat dalam fenomena maraknya kekerasan atas nama agama di Indonesia. Segala bentuk tragedi teror yang terjadi di Indonesia dalam satu dekade terakhir menunjukkan cuplikan kecil sebagian umat beragama kita yang semena-mena mempraktikkan agama. Mereka berpikir bahwa mereka merupakan wakil Tuhan yang sedang menyebarkan pesan-pesan-Nya di muka bumi, padahal sebaliknya mereka justru sedang mengaburkan bahkan “membunuh” sisi kasih sayang Tuhan kepada hamba-Nya.
Ketika Tuhan dan agama tidak lagi dihiraukan dan dihayati kecuali hanya sebatas formalitas saja, maka ini akan menimbulkan malapetaka yang amat besar bagi manusia. Setiap orang tidak lagi peduli terhadap nasib orang lain. Pokoknya, yang terpenting adalah dirinya.
Walhasil, manusia menjadi semakin materialis. Segala sesuatu dinilai dari untung rugi, tidak peduli itu merugikan atau merampas hak orang lain. Pada akhirnya jadilah manusia itu seperti hewan yang buas, saling membunuh dan merampas.
Hal ini menjadi instropeksi bagi seluruh umat beragama, khususnya Islam. Sebagai salah satu negara paling relijius di dunia, akan sangat memalukan jika tingkah laku warganya sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh agama. Pertanyaan lain bisa muncul dari Tesis Nietzsche sebagai refleksi kita adalah, “Apakah kita sudah benar-benar beragama?”