Palestina itu Persoalan Kemanusiaan, Tidak Hanya Pemeluk Agama Tertentu

Palestina itu Persoalan Kemanusiaan, Tidak Hanya Pemeluk Agama Tertentu

Palestina itu Persoalan Kemanusiaan, Tidak Hanya Pemeluk Agama Tertentu
Warga Palestina mengibarkan bendera di protes di Gaza. Foto ini diambil tahun 2012 lalu. (AP Photo/Majdi Mohammed)

Setiap tensi peperangan di Palestina meningkat, maka netizen Indonesia merespon cepat sekali. Terlebih, media sosial dan gawai telah meningkatkan level perhatian kita atas kondisi pengepungan dan beragam serangan ke masyarakat Gaza, Palestina. Video, foto, hingga meme terkait kondisi terupdate di sana bisa kita dapatkan dengan mudah.

Menariknya, isu Gaza, Palestina di Indonesia tidak sekedar terkait kemerdekaan, penyerangan, pengepungan, hingga beragam peristiwa berdarah yang terjadi. Namun, di berbagai kesempatan, sembari membagikan dan mengumpulkan rasa simpati, kita tidak jarang juga mereproduksi beragam wacana tersebut dengan menyandingkannya dengan narasi lain, seperti superioritas agama atau hak tanah tersebut, ketimbang memandangnya sebagai persoalan kemanusiaan.

Maka, wajar jika kita hari ini dalam menghadapi persoalan penindasan di Palestina menjadi rentan terjebak pada “jebakan batman.” Seorang pendakwah populis, kemarin, mengadakan diskusi dengan tema “Siapa yang berhak atas tanah Palestina?” Di kesempatan berbeda, dua tokoh berdebat di sebuah program televisi terkait siapa yang berhak atas tanah Palestina, kelompok Yahudi atau Muslim.

Narasi yang dibangun dalam kegiatan atau perdebatan di ruang digital tersebut mungkin sering kita jumpai akhir-akhir ini. Alangkah disayangkan narasi ini biasanya hanya melihat Palestina sebagai penindasan atas umat Islam, ketimbang perlawanan atas kemanusiaan.

Saya termasuk orang yang percaya bahwa, “Tidak ada solusi ideal dalam kasus Palestina.” Oleh sebab itu, saya lebih memilih melihat persoalan Palestina sebagai perlawanan atas kemanusiaan, ketimbang mendorongnya sebagai permasalahan pemeluk agama tertentu. Alangkah disayangkan jika Palestina mulai bergeser dari persoalan kritis kemanusiaan.

Memang, saya melihat apa yang terjadi di Palestina adalah permasalahan kemanusiaan yang kompleks. Agama, politik, ekonomi, hingga geo-politik yang saling sengkarut dalam sebuah wilayah bernama Palestina. Jika kita terus mendorongnya pada permasalahan pemeluk agama tertentu, maka bisa saja kita malah bisa menimbulkan masalah baru, yakni permusuhan pada agama lain.

Kritik Noam Chomsky atas penindasan Zionis Israel di tanah Palestina mungkin bisa menjadi rujukan kita bersama. Jika kita mengulik bagaimana suara Chomsky atas konflik Palestina, maka kita akan mendapatkan penjelasan bahwa Palestina adalah persoalan penindasan atas hak kemerdekaan seluruh warga di sana. Penduduk Palestina adalah korban dari “Penjara Terbuka” di tanah mereka sendiri.

Mereka harus hidup di pengungsian dalam beberapa dekade ini. Suara mereka atas hak kemerdekaan malah dianggap sebagai pemberontakan. Maka Chomsky mengusulkan kita dalam melihat permasalahan Palestina sebagai persoalan kemanusiaan. Saya melihat pandangan Chomsky ini lebih bisa melihat persoalan Palestina lebih fair dan komprehensif.

Sedangkan, Ilan Pappe, akademisi lahir dan besar di Palestina, menyebutkan bahwa persoalan Palestina tidak bisa dilepaskan dari narasi “Pembersihan Etnis” atas warga Palestina, demi berdirinya negara Israel. Faktor inilah yang terus didorong oleh Pappe dalam melihat persoalan Palestina.

Usulan isu “Pembersihan Etnis” dari Pappe atas persoalan Palestina selaras dengan ide Chomsky. Walaupun terdapat perbedaan dalam menyikapinya, Pappe dan Chomsky menawarkan ide dalam melihat konflik di Palestina harus mendorong narasi kemanusiaan.

Mengapa kemanusiaan? Alasan paling utama adalah pembelaan atas kemanusiaan adalah hal yang mulia, dan bisa menjadikan dunia lebih damai ketimbang menonjolkan narasi primordial yang kaku. Apakah narasi agama tidak bisa dijadikan pembelaan atas kemanusiaan? Tentu saja bisa. Namun, agama rentan sekali mengerdilkan atau mengeksklusi peran dan eksistensi pemeluk agama lain yang juga penduduk Palestina.

Memang, tidak ada solusi ideal untuk persoalan Palestina. Narasi berhak atau tidak berhak atas Palestina harus lebih didorong kepada hak kemerdekaan masyarakat, ketimbang diskusi terkait etnis atau pemeluk agama mana yang lebih berhak. Sebab, Palestina, termasuk Gaza, juga dihuni oleh pemeluk Kristen, Katolik, hingga Yahudi. Mereka semua adalah korban pembersihan etnis atau pengambilan paksa tanah mereka.

Tanah Palestina yang diambil dan diduduki oleh Israel adalah masalah kemanusiaan. Sebagaimana kata Milan Kundera, “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.” Jadi, kita sebagai muslim yang simpati atas persoalan Palestina mesti sentiasa ingat bahwa konflik ini adalah penjajahan atas kemanusiaan.

Sebab, narasi identitas yang sering diselipkan dalam persoalan kemanusian di Palestina rentan sekali mendorong kebencian atas agama lain. Makanya, isu Palestina biasanya juga dihadirkan sebagai penindasan atas umat Islam belaka, padahal ada masyarakat Palestina beragama lain yang turut merasakan penindasan tersebut.

Selain itu, kemanusiaan juga menghadirkan perjuangan atas narasi kekuasaan yang lalim. Menurut Chomsky, kita sebagai manusia harus sentiasa ingat bahwa pendudukan Palestina adalah kejahatan kemanusiaan. Agama malah bisa mengaburkan perjuangan atas tanah Palestina hanya milik salah satu agama saja. Padahal, Palestina adalah persoalan kemanusiaan paling kompleks yang hingga hari ini belum selesai.

 

Palestina, Merdeka!!!