Dalam jangka waktu yang cukup lama, sejak madrasah ibtidaiyah (setingkat SD) hingga aliyah (setingkat SMA), saya dididik dalam tradisi agama: pindah dari pondok ke pondok. Saya masuk kuliah tahun 1997. Saat itu, diskursus Islam kiri punya “tempat terhormat.” Para pemikir dan pembaharu dari tiga tradisi: Gus Dur (NU), Cak Nur (HMI), dan Kang Jalal (Syiah) jadi rujukan mahasiswa yang konsen di satu sisi merombak tatanan politik Orde Baru, di sisi lain merombak diskursus Islam yang kompatibel dengan agenda demokratisasi. Sayap Islam puritan punya tempat sendiri di unit-unit kerohanian Islam. Tetapi, seingat saya, mereka tidak menguasai panggung.
Banyak hal saya jumpai dari interaksi saya dengan mahasiswa lintas jurusan. Di PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Komisariat UGM, saya bekenalan dengan materi “Analisis Sosial.” Dari situ saya tahu istilah neoliberalisme. Istilah itu muncul dari upaya memahami dan menjebol otoriterisme Orde Baru yang menyungkup atmosfer kehidupan sosial, termasuk di kampus dan perguruan tinggi. Orde Baru tumbuh dari koloborasi buruk (unholy alliance) antara modal dan militer yang menghasilkan negara otoriter birokratik rente. Istilah itu saya dapat dari buku Mohtar Mas’oed, hasil disertasi Ohio yang diterbitkan LP3ES dengan judul “Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru, 1966-1971.”
Sejak saat itu saya belajar dan tertarik sekali dengan kajian ekonomi-politik, disiplin yang dipelajari anak-anak HI (Hubungan Internasional). Narasi Islam kritis punya tempat yang baik. Banyak mahasiswa bebas mengekspresikan pemahamannya, termasuk yang genit dan ‘aneh-aneh.’ Ketika Orde Baru tumbang, ledakan partisipasi membuncah, termasuk dari kelompok Islam. Islam puritan perlahan naik panggung dan menguasai organ-organ intra-kampus. Partai Keadilan adalah penjelmaan dari kelompok Rohani Islam kampus yang dikonsolidasikan menjadi sayap politik. Di luar itu, ada varian Islam lain dalam tradisi salafi Wahabi dan HTI.
Ketika Gus Dur menjadi Presiden, elemen-elemen itu bersatu mengkritisi Gus Dur. Sikap Gus Dur yang tak mau kompromi dengan Islam keras menyatukan berbagai elemen itu ke dalam satu barisan. Dalam suatu kunjungan ke Jogja, Gus Dur pernah ditolak masuk UGM. Kendatipun kelompok Islam keras ini terkonsolidasi, namun diskursus publik keislaman masih didominasi oleh Islam kritis-moderat. Lapak-lapak buku-buku keislaman disesaki, kalau boleh dibilang didominasi, oleh buku terbitan LKiS, Pustaka Pelajar, dan sejawatnya.
Meski membeli buku-buku itu dan menyaksikan gelombang pasang fundamentalisme Islam, minat saya lebih kuat ke kajian ekonomi politik. Saya pernah intens mempelajari marxisme dan mendalami pemikiran Jalan Ketiga-nya Anthony Giddens. Saya pernah hendak menulis skripsi tentang teori strukturasi-nya Anthony Giddens, tetapi kemudian belok melihat hal yang lebih dasar yaitu ruang aplikasi bagi segala teori itu: negara. Konstruksi negara modern, yang bernama nation-state, tengah digempur dari berbagai arah: atas, bawah, dan dari segala arah. Dari atas diserang globalisme yang mengkhotbah the end of nation-state. Dari bawah diserang oleh etnonasionalisme yang berujung separatisme. Dari segala arah diserang oleh fundamentalisme Islam yang mendaraskan negara teokrasi yang bernama Khilafah.
Skripsi itu jadi, setebal 417 halaman, berjudul SENJAKALA NEGARA-BANGSA: TELAAH ANALITIS ATAS FORMASI NATION-STATE DALAM TELIKUNGAN GLOBALISME, LOKALISME, DAN FUNDAMENTALISME. Kendatipun bersentuhan dengan narasi Islam, bobot karya tulis ini banyak bersinggungan dengan pendekatan ekonomi-politik. Begitu naskah ini selasai diujikan, saya sempat menandatangani kontrak penerbitan dengan salah satu penerbit di Jokja. Tetapi, karena satu dan lain hal, naskah itu batal terbit.
Minat ekonomi-politik terus ke jenjang pasca. Kali ini menyentuh topik yang jarang disinggung: ekonomi-politik energi. Sewaktu tesis selesai dikerjakan, dan dibaca pembimbing, sontak pembimbing saya, Julian Aldrin Pasha (mantan jubir Presiden SBY) bilang: “Di sini tidak ada yang pas menguji tesis kamu. Kita bisa datangkan penguji dari luar. Kamu punya referensi nama?” Saya sebut nama Kurtubi, pengamat minyak yang lagi naik daun (sekarang beliau anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Nasdem). Pembimbing kemudian mengontak Dr. Kurtubi dan menjawab perlu memeriksa kelayakan naskahnya. Setelah saya serahkan, beliau mengontak pembimbing dan bersedia menguji. Akhirnya ujian memang didominasi oleh penguji tamu. Begitu dinyatakan lulus, tesis ini saya tawarkan ke LP3ES dan alhmadulillah setuju untuk menerbitkan. Buku ini terbit tahun 2009 dengan judul “DI BAWAH BENDERA ASING: LIBERALISASI INDUSTRI MIGAS DI INDONESIA.”
Sejak penulisan tesis hingga diterbitkan dan sampai sekarang, minat saya sebenarnya lebih banyak ke ekonomi-politik migas. Buku ketiga saya terbit Oktober 2017, oleh penerbit yang sama dengan judul “TATA KELOLA MIGAS MERAH PUTIH.”
Di sela-sela itu, perkembangan internet dan penggunaan media sosial telah menjangkau babak baru dakwah Islam. Dunia maya mengantarkan panggung bagi ustadz-ustadz baru, yang diikuti banyak orang melalui berbagai kanal, terutama youtube dan belakangan ini livestream fesbuk. Banyak santri kalong, yang mencecap ilmu tidak langsung dari guru dan kiai, tetapi dari tayangan dan siaran. Santri-santri baru ini mendapatkan ilmu Islam dari ceramah dan tayangan. Mereka terima produk jadi yang sudah ditanak dan dijejalkan ustadz. Tidak perlu belajar nahwu, sharaf, dan bahasa Arab! Tidak perlu susah payah mempelajari ilmu alat untuk mengakses sendiri sumber-sumber tradisi Islam. Jika ustadz-nya punya kualifikasi ilmu, mendingan. Banyak juga yang tidak!. Jika ustadznya arif, lumayan. Banyak juga yang pakai kacamata kuda. Dan ini justru yang paling banyak di dunia maya. Mereka anggap paham mereka sendiri yang benar. Yang lain salah dan sesat. Kaca mata kuda ini juga diikuti santri-nya, terutama santri kalong. Mereka tidak mau terima perbedaan. Ringkas cerita, babak baru dakwah maya ini ditandai oleh serangan massif terhadap manhaj Islam moderat.
Sedikit banyak pernah belajar ilmu agama di pondok, saya terpanggil untuk ikut mengimbangi narasi “madzhab kebeneran tunggal” yang perkembangannya, saya rasa, meresahkan. Pengikutnya banyak dari kalangan muda terpelajar. Sebenarnya hak setiap orang memilih madzhab sesuai dengan selera dan keyakinannya. Yang jadi masalah, orang selera soto lantas mengharamkan bakso, seolah soto halal dan bakso haram. Padahal, dua-duanya halal. Pengikut madzhab Hanbali menjelek-jelekkan pengikut madzhab Syafi’i, padahal Ahmad ibn Hanbal adalah murid dari Muhammad ibn Idris as-Syafi’i.
Di media sosial, mereka menyerbu narasi yang berbeda dengan ajaran ustadznya. Beberapa tulisan saya, semula saya posting di fesbuk dan kemudian ditayangkan di beberapa kanal berikut ini, pernah diserbu oleh para santri kalong dari madzhab kebeneran tunggal. Kalau sempat saya layani, kalau capek saya abaikan. Musim natal tahun lalu (23 Desember 2016), saya pernah nulis tulisan berjudul “Apakah Non-Muslim itu Kafir?” dan diserbu oleh para santri kalong itu. Musim Natal tahun ini, saya tulis tulisan berjudul Selamat Natal. Ada serbuan, meski tidak sesengit tahun lalu.
Narasi Islam Inklusif nampaknya perlu dimassifkan di dunia maya. Meski sebenarnya lebih tertarik menggeluti isu ekonomi-politik migas, subjek ini tidak bisa diabaikan demi kelangsungan konsensus kebangsaan. Tulisan-tulisan ini bagian dari keresehan saya yang terekam, yang mungkin kelak akan saya bukukan, paling tidak untuk konsumsi anak-anak saya sendiri.
Akhirul kalam, saya ingin mengajak sahabat-sahabat lebih keras bicara dan bersuara tentang manhaj Islam moderat, melalui tulisan-tulisan argumentatif, biar resonansinya di dunia maya bersaing dari gaung kamar sebelah yang memekakkan telinga.
Wallahul muwaffiq wa ilayhil musta’an..