Eksodus Pemain Bintang Eropa dan Realisasi Visi 2030 Arab Saudi

Eksodus Pemain Bintang Eropa dan Realisasi Visi 2030 Arab Saudi

Melalui sepak bola, wajah Saudi menjadi tampak kontras dengan model sosial keagamaan yang selama ini mapan dibangun oleh rezim Wahabisme

Eksodus Pemain Bintang Eropa dan Realisasi Visi 2030 Arab Saudi
Karim Benzema bersama dua perwakilan klub Arab Saudi, Al-Ittihad di Madrid, Spanyol, Selasa (6/6/2023). Benzema telah resmi bergabung sebagai pemain Al Ittihad selama tiga tahun. Poto oleh: AFP/JORGE FERRARI/Kompas.id

Sepak bola Arab Saudi menggila pasca dibukanya bursa transfer musim panas 2022/2023. Dimulai dengan hijrahnya Karim Benzema ke klub Al Ittihad 6 Juni lalu, beberapa klub besar Saudi lainnya juga secara masif mendatangkan pemain-pemain top Eropa ke Saudi Pro League.

Menyusul Benzema, N’Golo Kante juga bergabung ke Al Ittihad dengan mahar gratis dari Chelsea. Al Hilal juga berhasil mendatangkan dua bintang Premier League lainnya, Ruben Neves dari Wolverhampton Wanderers dan Kalidou Koulibaly dari Chelsea.

Al Ittihad dan Al Hilal mengikuti jejak Al Nassr yang terlebih dahulu mendatangkan bintang Real Madrid, Cristiano Ronaldo di musim lalu dengan mega kontrak fantastis. Di jendela transfer ini, Al Nassr kembali sukses mendapatkan Marcelo Brozovic. Gelandang andalan Inter Milan itu dibungkus dengan klausul pelepasan sebesar 23 juta euro.

Masih banyak nama besar lain yang berada dalam bidikan klub-klub Saudi. Bursa transfer yang masih berjalan tentu menjadi lahan tersendiri bagi Arab Saudi untuk berbelanja pemain. Tentu dalam rangka mengembangkan sepak bola di negara petro dollar itu.

Yap. Mengembangkan sepak bola Liga Pro Saudi merupakan satu dari beragam rangkaian revolusi budaya yang tertuang dalam Visi Saudi 2030. Sebuah mimpi yang diinisiasi oleh Putera Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman (MbS). Dengan kehadiran pemain bintang itu, MbS tidak hanya berharap stadion selalu terisi penuh oleh pendukung sepak bola Saudi, tetapi juga menghidupkan semangat berolahraga bagi generasi muda Saudi yang sempat mati di era rezim wahabisme.

Perlu diketahui, semua klub yang disebut di awal berada dalam satu payung induk perusahaan yang sama, yaitu Public Investment Fund (PIF). PIF telah mengumumkan sebagai penguasa empat klub paling sukses di Saudi, yakni Al Hilal, Al Ittihad, Al Nassr, dan Al Ahli. Bisa dikatakan, PIF merupakan proyek yang “memonopoli” Liga Pro Saudi, kompetisi kasta tertinggi negara Timur Tengah itu.

PIF, yang dikendalikan MbS, menguasai 75 persen saham keempat klub itu, kemudian menyerahkan 25 persen masing-masing saham tersisa kepada yayasan nirlaba bentukan klub. PIF juga merupakan pemilik klub Liga Primer Inggris, Newcastle United sejak Oktober 2021.

Eksodus pemain bintang itu bukan tanpa alasan. Ada skenario besar yang mendasari mengapa MbS berani jor-joran mendatangkan mereka. Dilansir Kompas, PIF bertekad untuk memberikan jatah yang adil kepada empat klub itu untuk merekrut setidaknya tiga bintang kelas dunia untuk musim 2023-2024.

Tiga bintang itu terdiri dari satu bintang kelas A yang nilai kontraknya lebih dari 200 juta euro atau sekitar Rp 3,17 triliun per musim. Kemudian dua bintang lainnya memiliki batas kontrak maksimal 100 juta euro (1,58 triliun) per tahun.

Adalah Visi Saudi 2030 yang menjadi agenda besar Arab Saudi di bawah kepemimpinan MbS. Visi Saudi 2030 adalah rencana untuk mengurangi ketergantungan Arab Saudi pada sektor minyak bumi, mendiversifikasi ekonomi Arab Saudi, serta mengembangkan sektor layanan umum seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, rekreasi dan pariwisata. Rincian visi ini diumumkan pada tanggal 25 April 2016 oleh Putra Mahkota Mohammad bin Salman.

Nah, untuk sampai pada visi itu, Saudi perlu melakukan gebrakan signifikan di beberapa lini, terutama pada sektor kebudayaan, sosial, politik, hukum, dan agama. Visi 2030 membawa misi corak keberagamaan yang moderat dan terbuka terhadap peradaban luar.

Melansir The Independent, Pemerintah Arab Saudi melihat olahraga sebagai bagian penting dari strategi Visi 2030. Negara ini banyak berinvestasi di banyak sektor karena berusaha meningkatkan kekuatan ekonominya dari cadangan minyaknya yang terbatas. Olahraga menjadi salah satunya. Olah raga paling diminati di Arab Saudi adalah sepak bola. Stadion-stadion di Saudi bahkan menjadi semacam “masjid” kedua bagi para supporter loyal klub-klub Saudi.

Sampai sini, kehadiran PIF menjadi relevan. Di satu sisi, PIF seolah mendominasi sekaligus memonopoli sepak bola Arab Saudi. Namun di sisi lain, PIF berkontribusi melebarkan lini sosial budaya Saudi melalui sepak bola hingga ke mancanegara. Penting bagi Saudi mendapatkan pengakuan dan reputasi internasional guna memuluskan Visi 2030 itu.

Melalui sepak bola, wajah Arab Saudi menjadi tampak kontras dengan model sosial keagamaan yang selama ini telah mapan dibangun oleh kelompok Wahabisme. Melalui PIF, Arab Saudi seperti sadar bahwa sepak bola merupakan instrumen yang paling efektif untuk melakukan reformasi budaya.

Hubungan yang saling menguntungkan antara Saudi dengan Eropa dalam aspek sepak bola menjadi salah satu gerak krusial Raja Salman untuk membuka pintu relasi seluas mungkin dengan harapan tidak ada yang ragu lagi untuk bernegosiasi secara ekonomi atau kultural dengan Arab Saudi.

Tujuh tahun berlalu sejak Visi 2030 dibentuk, gerak Arab Saudi benar-benar terlihat. Arab Saudi juga sebetulnya bertarung dengan Spanyol, Portugal, dan Maroko untuk tuan rumah Piala Dunia 2030. Jika terpilih, tentu Visi itu akan terasa semakin sempurna. Namun, baru-baru ini Arab Saudi menarik diri dan lebih memprioritaskan pengembangan Saudi Pro League.

Menarik untuk mengamati bagaimana Arab Saudi bernegosiasi dengan budaya luar tanpa menghilangkan statusnya sebagai tanah suci umat Islam. Kebetulan ranah yang hendak dinegosiasikan adalah sepak bola. Jika interaksi ini berhasil, Saudi bisa bersaing dengan Eropa dalam hal kompetisi sepak bola. Yang lebih penting, hal ini bisa merombak citra Saudi menjadi negara moderat yang tajir dari berbagai lini investasi dan bisnis.