Kira-kira 23 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, Mekah menjadi saksi terbenamnya kepongahan Abrahah. Tidak banyak yang tahu bahwa agresi militer Abrahah ke Mekah pada mulanya adalah untuk menghancurkan Ka’bah.
Abrahah adalah gubernur Abyssina. Di sana ia membangun gereja untuk menandingi kemasyhuran Ka’bah. Saking ambisnya, gereja itu dilapisi emas dan perak. Tapi bangunan molek dan megah yang dibangun oleh Abrahah ternyata gagal melampaui kepopuleran Ka’bah.
Di bawah pengaruh emosional marah, kesal, kecewa, dan geram, Abrahah lalu membuat keputusan yang cukup berani sekaligus ngawur: menghancurkan Ka’bah. Keputusan konyol yang, kelak, berujung celaka.
Abrahah menuju Mekah dengan mengendarai seekor gajah yang disusul beberapa gajah di belakangnya. Ia berkemah di al-Mughammas, satu lokasi yang berjarak sekitar 3,65 kilo meter dari Mekah ke arah Thaif.
Dari tempat berkemah Abrahah mengutus seseorang untuk menyampaikan pesan kepada pemimpin suku Quraisy tentang maksud kedatangannya. Abrahah semula hanya bermaksud menghancurkan Ka’bah, alih-alih berperang.
Sebelumnya, pasukan Abrahah telah lebih dulu menyita harta benda kaum Quraisy, termasuk dua ratus ekor unta milik Abdul Muththalib, sosok yang didaulat sebagai juru kunci Ka’bah. Pikir Abrahah, mereka akan berang atau menyatakan perang.
Sejurus kemudian Abdul Muththalib menemui Abrahah. Menurut beberapa riwayat Abrahah sempat berdiri menyambut Abdul Muththalib dan bahkan menyilakan tamunya duduk. (Ibnu Hisyam mencatat bahwa Abdul Muththalib dikenal sebagai sosok yang sangat berwibawa dan bahkan memancarkan kharisma yang khas)
Yang menarik adalah respon dingin Abdul Muththalib terhadap Abrahah. Lewat penerjemah Abrahah, Abdul Muththalib meminta agar dua ratus unta yang telah dirampas itu segera dikembalikan kepada pemiliknya, yaitu Abdul Muththalib itu sendiri.
Abrahah tentu saja terkejut. Kesakralan Ka’bah ternyata tidak lebih berharga ketimbang dua ratus ekor unta.
“Begitu melihatmu, aku pada mulanya kagum kepadamu. Tetapi kekagumanku segera sirna setelah engkau meminta kembali dua ratus ekor untamu itu dan tidak menyinggung sedikitpun tentang rumah yang engkau dan leluhurmu agungkan. Padahal, aku datang ke sini bermaksud untuk merubuhkannya,” ujar Abrahah.
Abdul Muththalib tetap bersikap dingin. Ia hanya menjawab secara singkat. “Unta-unta itu adalah milikku, sedangkan Ka’bah itu ada pemiliknya sendiri yang akan melindunginya.”
Emosi Abrahah pun semakin membuncah. Kali ini ia berargumen laiknya guru SD yang meminta bukti keberadaan Tuhan.
“Lihatlah, pemilik rumah itu sekarang tidak dapat menghalangi maksud kedatanganku.”
“Silakan saja, kita lihat nanti. Tapi kembalikan dulu unta-untaku!!” balas Abdul Muththalib.
Merasa tertantang, Abrahah segera meminta pasukannya agar mengembalikan dua ratus unta milik Abdul Muththalib.
Abdul Muththalib sendiri bergegas kembali ke Mekah dan meminta agar para warga sipil mengungsi ke bukit atau lembah di luar perbatasan. Alasannya adalah pasukan Abrahah terlampau kuat untuk masyarakat Mekah.
Tentu sangat tidak worth it bagi klan Qurasiy yang gemar berdagang jika energinya justru dihabiskan untuk menghunus pedang. Jadi percobaan untuk melakukan konfrontasi fisik pun menjadi tidak relevan karena mereka pada dasarnya tidak terlatih untuk melakukan perang.
Oleh Abdul Muththalib, dua ratus ekor unta yang dikembalikan Abrahah pun segera disembelih. Kira-kira di depan pintu Ka’bah, ia pun menganggit doa. “Wahai Tuhanku, aku tidak berharap kecuali kepada-Mu. Mereka adalah urusan-Mu. Sungguh, musuh Ka’bah adalah musuh-Mu. Halangilah mereka yang berniat menghancurkan negeri-Mu”
Di sisi lain, Abrahah bersiap dengan pasukan gajah untuk menghancurkan Ka’bah. Sewaktu pasukan hendak digerakkan ternyata gajah yang ditempatkan di posisi terdepan enggan bergerak jika tujuannya adalah Mekah. Sebaliknya, gajah-gajah itu akan patuh bila diarahkan menuju utara, yaitu Yaman atau Syam.
Prediksi Abdul Muththalib sepenuhnya akurat. Kejumawaan Abrahah berbalas dengan sesuatu yang terlampau menyakitkan. Serbuannya ke Ka’bah bukan saja gagal, tetapi justru menerbangkan nyawanya sendiri.
Pasukan Abrahah tewas mengenaskan. Al-Quran merekam peristiwa ini dengan potret yang cukup mencekam.
“dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong; yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar; lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)” (Q.S. Al-Fiil: 3-5)
Peristiwa itulah yang kelak disebut “Tahun Gajah”, tahun kelahiran seorang cucu dari kakek yang pemberani dan sangat percaya diri. Allahumma Shalli ala Sayyidina Muhammad…