Ini Sosok Raja Abrahah dan Kegagalannya Menghancurkan Ka’bah

Ini Sosok Raja Abrahah dan Kegagalannya Menghancurkan Ka’bah

Ini kisah Raja Abrahah yang ingin menghancurkan Ka’bah, serta penafsiran para ulama terkait burung Ababil dalam surat Al-Fil.

Ini Sosok Raja Abrahah dan Kegagalannya Menghancurkan Ka’bah

Siapa yang tidak kenal Raja Abrahah? Nama ini diabadikan dalam sejarah penting kelahiran Rasulullah SAW. Bukan sebagai orang baik, Abraha dikenal oleh anak-anak kecil yang baru belajar sejarah sebagai sosok bengis, jahat, dan ingin menghancurkan Ka’bah.

Abrahah al-Asyram nama lengkapnya. Ia seorang gubernur Yaman yang berambisi mengalihkan bangsa Arab dari Ka’bah ke sebuah gereja yang ia bangun dengan megah bernama gereja al-Qulais.

Saat itu negri Yaman tunduk di bawah kekuasaan raja Habasyah. Abrahah sebagai gubernur yang baru diangkat oleh raja mempersembahkan sebuah gereja mewah yang tidak pernah dibangun untuk raja- raja sebelumnya. Abrahah mengirim surat pada raja bahwa maksud dari pembangunan tersebut untuk mengalihkan bangsa Arab dari Ka’bah dan kelak akan menjadikan gereja yang ia bangun sebagai pusat perekonomian dan pusat peribadatan.

Bangsa Arab ketika mengetahui hal tersebut murka, bahkan ada salah seorang penduduk Mekah yang bernama Malik bin Kinanah sengaja pergi ke Yaman hanya untuk membuang air besar dan mengoles dinding gereja itu dengan kotoran.

Abrahah dengan kesombongannya pun murka sejadi-jadinya. Ia kemudian menyiapkan pasukannya untuk menghancurkan Ka’bah dengan mengendarai gajah. Selama perjalanan menuju Mekah, Abrahah dihalangi oleh beberapa bangsa Arab. Pertama adalah Dzu Nafr bersama pengikutnya yang berada di Yaman, namun Dzu Nafr dapat dengan mudah dikalahkan dan ia pun menjadi tawanan.

Ketika sampai di Khats’am, Abrahah kembali dihadang oleh Nufail bin Habib beserta kabilah-kabilah lain: Syahran, Nahis, dan kabilah Khats’am lainnya. Namun lagi-lagi Abrahah dapat dengan mudah memukul mundur pasukan Nufail dan menjadikan Nufail sebagai petunjuk jalan menuju Mekah.

Setelah itu Abrahah diserang oleh Bani Tsaqif yang dipimpin oleh Mas’ud bin Muttalib al-Tsaqif di kota Thaif. Namun tetap saja, pada akhirnya mereka menyerah dan mengajak berdamai, sebagai gantinya, Bani Tsaqif mengikutsertakan Abu Righal sebagai penunjuk jalan yang kemudian ia wafat di Mughammis. Ada sebuah syair yang ditujukan pada bani Tsaqif “Orang- orang tsaqif lari pada Lata, dengan membawa kegagalan dan kerugian”.

Ketika tiba di Mughammis, Abrahah mengutus Aswad bin Maqsud menuju Mekah menggunakan kuda dan merampas kekayaan orang-orang Quraisy termasuk 200 ekor unta milik Abdul Muttalib. Melihat kejadian tersebut orang- orang Quraisy, Kinanah, Hudzail dan seluruh penduduk Mekah geram dan bermaksud untuk memeranginya. Namun mereka menyadari ketidakmampuan mereka melawan Abrahah.

Sebelum memasuki kota Mekah, Abrahah mengirim Hanathah al-Himyari untuk menemui pemimpin Mekah dan mengatakan padanya bahwa maksud kedatangannya bukan untuk menyerang bangsa Quraisy melainkan hanya untuk menghancurkan ka’bah. Hanathah meminta Abdul Muthalib yang kala itu adalah pemimpin Mekah untuk tidak menghalangi rencana gubernurnya.

Abdul Muthalib menemui Abrahah di markaznya, lalu meminta Abrahah untuk mengembalikan 200 ekor unta miliknya. Hal ini membuat Abrahah kagum padanya, ia berkata pada Abdul Muttalib, “Aku datang untuk menghancurkan tempat ibadahmu dan engkau sama sekali tidak menyinggungnya?”

Abdul Muttalib menjawab, “Aku pemilik unta, Ka’bah mempunyai pemilik yang akan melindunginya.” Abrahah kembali berucap dengan kesombongannya, “Tidak ada yang dapat menghalangiku besok!”

Setelah menemui Abrahah, Abdul Muttalib memerintahkan seluruh bangsa Quraisy untuk keluar dari Mekah dan berlindung di puncak gunung atau di Syi’ib (jalan di antara dua gunung). Lalu Abdul Muttalib mengambil rantai Ka’bah dan berdoa bersama orang- orang Quraisy

اللهم إنّ الْعَبْدَ يَمْنَعُ رَحْلَهُ فَامْنَعْ حِلَالَكْ، لَا يَغْلِبَنّ صَلِيبُهُمْ وَمِحَالُهُمْ غَدْوًا مِحَالَكْ،

إنْ كُنْتَ تَارِكَهُمْ وَقِبْلَتَنَا، فَأَمْرٌ مَا بَدَا لَكْ

Ya Allah, sesungguhnya seorang hamba telah melindungi pelananya, maka lindungilah rumah-Mu. Salib mereka dan kekuatan mereka tidak akan mengalahkan-Mu besok, karena hanya engkaulah yang maha kuat. Jika engkau membiarkan mereka dan kiblat kami, maka itu karena sesuatu yang telah engkau inginkan sebelumnya.

Keesokan harinya, Abrahah bersama tentara dan gajah-gajahnya memasuki Mekah. Abrahah memiliki gajah bernama Mahmud. Ketika hendak mengerahkan gajah dan pasukannya, tiba-tiba Nufail berdiri di samping gajah Mahmud, lalu ia membisikinya, “Wahai Mahmud engkau berada di tanah suci, duduklah atau kembalilah ke negrimu dengan damai.”

Seketika gajah Mahmud langsung duduk, sedangkan Nufail naik ke gunung bersama orang-orang Quraisy. Abrahah memukul Mahmud, namun Mahmud enggan berdiri, bahkan pasukan lainnya ikut memukuli Mahmud dan memasukkan tongkat ke perutnya, namun Mahmud tetap saja tidak berdiri. Mahmud dihadapkan ke Yaman dan Timur, lalu ia berdiri dan berlari, kemudian dihadapkan ke Mekah, Mahmud enggan dan menolak menyerang.

Tidak lama kemudian, Allah SWT mengirim sekelompok burung untuk menyerang Abrahah dan tentaranya. Setiap burung membawa tiga batu, satu batu diletakkan di paruhnya dan dua batu lainnya di kakinya. Tentara Raja Abrahah kalang kabut lari ketakutan, mereka mencari Nufail untuk menunjuki arah Yaman. Setiap batu yang mengenai seseorang, ia akan langsung mati, namun tidak semua batu mengenai tepat pada tentara Habasyah. Sedangkan Abrahah sendiri pulang dalam keadaan luka berat, kemudian meninggal di Shan’a.

Kejadian ini terekam dalam surah al-Fil ayat 1- 5. Para ulama’ berbeda pendapat dalam menyikapi dan memaknai surah tersebut. Ulama’ klasik seperti al-Thabari, al-Razi dan mufassir lainnya berpendapat bahwa peristiwa tersebut merupakan kekuasaan Allah melalui perantara burung-burung yang melemparkan batu dari neraka. Terkait jenis burung dan batu mereka berselisih, hanya saja mereka sepakat bahwa yang melempar adalah burung dan yang dilempar adalah batu.

Berbeda dengan ulama’ kontemporer yang memaknai kejadian tersebut secara logis yang dapat diterima oleh akal manusia, seperti Muhammad Abduh dan Mustafa al-Maraghi. Menurut Abduh sekelompok yang dikirim oleh Allah adalah sesuatu yang bisa terbang, Abduh tidak mengartikan sebagai jenis burung tertentu. Bahkan baginya lafadz Thairan Ababil dalam surah al-Fil lebih layak diberi makna nyamuk atau lalat yang membawa wabah penyakit. Abduh mengutip pernyataan Ibnu Ishaq seorang sejarawan pertama yang mengatakan bahwa ada wabah yang menyebar pada tahun gajah.

Menurutnya memahami dengan makna lalat yang membawa penyakit lebih diterima oleh akal dan lebih tampak kekuasaan Allah dalam menghadapi pasukan gajah yang besar hanya dengan seekor lalat yang kecil. Baik Abduh maupun al-Maraghi, keduanya juga berpendapat bisa jadi tentara Abrahah dilempari batu yang mengandung racun penyakit. Penyakit tersebut dapat dengan mudah menyebar dan dalam waktu sebentar dapat melumpuhkan tentara Abrahah.

Abdul Hamid al-Farahi, seorang ulama’ dari Asia Selatan, justru mengkritisi sejarah yang telah terkenal ini. Menurutnya pihak yang melempar batu bukanlah burung yang dikirim Allah, melainkan orang- orang Quraisy. Al-Farahi mengingkari pendapat yang menyatakan bahwa Abdul Muttalib beserta orang Quraisy keluar dari Mekah, sebab kabilah- kabilah arab sebelumnya telah berupaya menghalangi Abrahah, bahkan Bani Tsaqif mendapat celaan saat menyerah.

Maka hal ini sangat tidak masuk akal bila orang Quraisy sebagai pemimpin Ka’bah lari dari Abrahah. Letak kekuasaan Allah menurut al-Farahi justru ketika Allah membuat Abrahah dan pasukannya yang besar kalah dari orang- orang Quraisy yang hanya melempar batu. Allah menolong orang Quraisy dengan mengirim angin yang kencang dan batu dari langit.

Terlepas dari semua perbedaan pendapat di atas, semua ulama’ sepakat bahwa Abrahah dan pasukannya gagal menghancurkan Ka’bah karena kekuasaan Allah.

Wallahu ‘Alam.

 

Baca juga tulisan lain tentang Sirah Nabawiyah, Sejarah Hidup Rasulullah SAW