Sejak Rasulullah masih hidup, ikhtilaf terjadi di kalangan para sahabat. Kisah “jangan shalat ashar kecuali di Bani Quraidzah” adalah kisah yang paling masyhur tentang itu. Ketika itu, Nabi mengutus beberapa sahabatnya untuk menyerang Bani Quraidzah karena berkhianat dan mengingkari perjanjian damai.
Usai melaksanakan shalat Zuhur bersama para sahabatnya, Rasulullah segera memberikan komando untuk mendatangi Bani Quraizhah. Sebelum itu, Nabi memberi instruksi terakhir, “Barangsiapa mendengar dan taat, jangan sekali-kali mengerjakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah!”.
Rasulullah menunjuk Ali bin Abi Thalib di depan barisan dengan membawa bendera perang. Ketika Ali bin Abi Thalib dan pasukannya hampir mendekati benteng-benteng Bani Quraizhah, mereka mendengar orang-orang Yahudi itu mencaci maki Rasulullah.
Rasulullah berangkat menyusul bersama kaum Anshar dan Muhajirin. Mereka sempat beristirahat di salah satu sumur Bani Quraizhah di samping kebun mereka bernama Sumur Anna. Sebagian kaum Muslimin terus bergegas menuju pemukiman Bani Quraizhah. Ketika waktu Ashar tiba, mereka masih dalam perjalanan.
Saat itu terjadi perbedaan pendapat. Mereka ingat dengan pesan Nabi yang berbunyi, “Barangsiapa mendengar dan taat, jangan sekali-kali mengerjakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.”
Sebagian dari pasukan kaum Muslim tidak melaksanakan shalat Ashar. Bahkan sebagian riwayat mengatakan, ada di antara mereka yang melaksanakan shalat Ashar setelah Isya di perkampungan Bani Quraizhah.
Namun sebagian lain melaksanakan shalat Ashar di perjalanan. Ungkapan Nabi yang mengatakan, “Jangan sekali-kali mengerjakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah,” dipahami agar mereka bersegera menuju perkampungan Bani Quraizhah sehingga bisa melaksanakan shalat Ashar di tempat itu.
Kembali ke Madinah dengan membawa kemenangan besar, pasukan Islam mengadukan perihal penafsiran perintah Rasul yang berbeda. Setelah terdiam sejenak, Rasulullah bersabda,
“Anda benar, Anda juga benar.”
Mendengar sabda mulia nan bijak itu, seluruh shahabat merasa tenteram. Lebih-lebih Rasulullah sendiri bahagia karena meski berbeda pendapat, para sahabat tetap taat dan tidak berpecah belah.
Sikap membenarkan dua pihak yang dilakukan Rasulullah ini dilakukan dalam banyak kasus. Di sisi lain, setiap pihak dari kalangan sahabat selalu merasa bahwa pendapat yang dipegang sahabat lain memiliki kemungkinan benar. Keyakinan semacam ini menjadi jaminan bagi terjaganya sikap saling hormat antara kedua belah pihak dan menghindari fanatisme buta terhadap satu pendapat.
Bila perbedaan pendapat di kalangan sahabat saja sudah tumbuh, maka tentu perkembangan di masa sesudah itu akan jauh lebih pesat, mengingat aneka persoalan dan masalah baru semakin bermunculan. Namun, bila perbedaan itu masih menyentuh soal ijtihadiyah, maka tidak ada pengingkaran apalagi permusuhan. Perbedaan dalam ranah ijtihadiyah masih mendapatkan ruang-ruang yang lapang di hati para ulama.
Yahya bin Sa’id al-Anshari, seorang pemuka tabi’in, pernah mengungkapkan dalam Kitab Ibnu ‘Abd al-Barr,
“Para Ulama yang berfatwa itu akan selalu berbeda pendapat. Ulama yang ini menghalalkan, sementara yang lain mengharamkan. Namun yang mengharamkan tidak pernah memandang bahwa yang menghalalkan akan binasa akibat penghalalannya. Begitu pula yang menghalalkan tidak pernah menganggap yang mengharamkan akan binasa akibat pengharamannya,”
Perlu dicatat, bahwa yang dibincang dalam konteks ini adalah ikhtilaf ijtihadiyah dalam hal fikih muamalah. Bukan ikhtilaf dalam persoalan aqidah atau agama. Meskipun pada akhirnya semua ikhtilaf itu harus disikapi dengan toleransi yang sama, namun ikhtilaf yang disorot dalam tulisan ini adalah perbedaan-perbedaan yang terjadi di kalangan sahabat dan ulama-ulama klasik, dan itu sebagian besar beririsan dengan aspek fikih muamalat.
Karena itu, perbedaan-perbedaan madzhab fikih, baik yang empat ulama maupun madzhab fikih yang sudah tiada, inilah yang disebut para ulama sebagai ikhtilaf yang membawa rahmat bagi umat.
As-Suyuthi, dalam Kitab ‘Awwaman, mengatakan,
“Ketauhilah! Bahwa ikhtilaf antar madzhab (fikih) dalam agama ini adalah sebuah nikmat yang besar dan karunia yang agung. Ia menyimpan banyak rahasia unik yang diketahui oleh para alim, namun tidak diketahui oleh orang-orang yang jahil.
Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ ini telah terjadi di kalangan para sahabat radhiyallahu anhu, generasi terbaik umat ini, namun tidak seorangpun memusuhi atau membenci yang lain,”
Sebagian dari mereka menetapkan bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tanpa lapisan membatalkan wudhu, sementara yang lain bilang tidak. Sebagian dari mereka ada yang bilang bahwa memakan daging unta atau daging yang langsung dibakar dengan api membatalkan wudhu, sedangkan yang lain mengatakan tidak.
Namun meski mereka berbeda-beda dalam pendapat, namun perbedaan itu tidak sampai mencegah mereka dari shalat berjamaah, di mana imam dan makmum berbeda mazhab dan pendapat.
Sikap yang menyejukkan ini juga dicontohkan oleh dua ulama lokal kita, Buya Hamka dan KH. Idham Chalid, ketika berada dalam satu kapal. Buya Hamka dan Kiai Idham secara bergantian mengimami salat di Kapal dalam perjalanan tersebut. Menariknya, keduanya tidak menjalankan tradisi ibadah masing-masing.
Shubuh di kapal itu berbeda. Kiai Idham yang notabene tumbuh sejak kecil dalam lingkungan yang melakukan qunut, secara sengaja tidak melakukannya. Pun Buya Hamka. Saat didapuk menjadi imam, ketua pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu justru tanpa ragu membaca doa qunut.
Apa yang dilakukan ulama-ulama kita seharusnya menjadi landasan moral beragama kita. Perbedaan yang hadir di sekeliling kita bukanlah sebuah ancaman yang harus dibinasakan, melainkan sarana untuk saling belajar dan menghargai. Jika ulama-ulama kita saja melakukannya, mengapa kita mengabaikannya?