Sejauh Mana Perbedaan Pendapat dan Akidah di dalam Islam Bisa Ditolerir?

Sejauh Mana Perbedaan Pendapat dan Akidah di dalam Islam Bisa Ditolerir?

Perbedaan pendapat dalam agama pun merupakan sesuatu yang sangat biasa di dalam Islam dan tidak perlu dipusingkan, apalagi dijadikan permasalahan. Bila kita membaca sirah Rasulullah SAW, semasa hidupnya, tidak mengingkari adanya perbedaan para sahabat dalam memahami apa yang dikatakannya. Malahan, Rasulullah kerapkali membenarkan dua pendapat yang berbeda-beda, selama tidak bertentangan dengan syariat.

Sejauh Mana Perbedaan Pendapat dan Akidah di dalam Islam Bisa Ditolerir?

Perbedaan pendapat dalam agama pun merupakan sesuatu yang sangat biasa di dalam Islam dan tidak perlu dipusingkan, apalagi dijadikan permasalahan. Bila kita membaca sirah Rasulullah SAW, semasa hidupnya, tidak mengingkari adanya perbedaan para sahabat dalam memahami apa yang dikatakannya. Malahan, Rasulullah kerapkali membenarkan dua pendapat yang berbeda-beda, selama tidak bertentangan dengan syariat.

Contohnya dalam sebuah riwayat yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, terkait Rasulullah pernah mengutus beberapa orang sahabat berkunjung ke perkampungan Bani Quraizhah. Sebelum berangkat, Rasul berpesan, “Kalian jangan shalat ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Singkat cerita, di tengah perjalanan, Para sahabat yg diutus tersebut terpecah kepada dua kelompok dalam memahami pesan Nabi ini. Ada yang memahami secara substansial atau kontekstual. Dan ada pula yang memahaminya secara literal dan tekstual. Dikarenakan tidak ada titik temu,kedua belah pihak akhirnya mengadu kepada Rasul. Setelah mendengar penjelasan mereka, Rasul membenarkan keduanya dan tidak menyalahkan salah satunya.

Namun saat ini, kita sering mendengar seseorang atau tokoh atau kelompok yang mengatasnamakan Islam, tapi kemudian mengkafirkan kelompok atau mazhab yang tidak sependapat dengan mereka. Setiap yang berbeda dengan mereka langsung divonis sesat, bid’ah, kafir dan telah keluar dari Islam.

Kelompok ini mengklaim bahwa kebenaran hanya ada pada kelompok mereka. Mereka seringkali tidak mampu membedakan mana persoalan-persoalan yang bersifat ushul/pokok dalam agama, dan mana persoalan yang termasuk furu’/cabang dalam agama (persoalan yang bukan prinsip dasar dalam agama) yang sifatnya ijtihadi serta masih boleh diperselisihkan.

Mereka juga tidak mengenal adanya istilah ijtihad mustaqil, ijtihad muthlaq, ijtihad mazhabi, ijtihad parsial, ijtihad kolektif dan lain sebagainya. Mereka juga tidak paham mana saja batasan-batasan kulli dan juz’i, qath’i dan zhanni (apakah itu Qath’iyyuts Tsubut dan Qath’iyyud Dalalah ataupun Zhanniyyuts Tsubut dan Dalalah) baik dalam aspek akidah, fiqih, tasawwuf dan lain sebagainya. Padahal, Islam itu luas dan tidak sesempit yang mereka pikirkan.

Lalu bagaimana seharusnya menyikapi persoalan-persoalan demikian? Tentunya kita harus mampu mengenal mana saja batasan-batasannya. Kita coba ambil contoh terkait batasan ushul dan furu’ ataupun qath’i dan zhanni dalam ranah akidah dan Fikih.

Akidah, misalnya. Menurut Imam al-Ghazali, hanya ada tiga yang menjadi urusan ushul/pokok didalamnya. Apabila ada orang yang menentangnya maka seketika itu dapat menyebabkan dia keluar dari agama Islam. Tiga hal pokok/ushul itu adalah Iman kepada Allah, Iman kepada Rasul atau utusan-Nya, dan Iman kepada hari Hari Akhir.

Selain dari itu masuk ke dalam kategori furu’/cabangnya. Lalu bagaimana penentangan terhadap masalah akidah yang masuk dalam kategori furu’/cabang? Menurutnya (Imam al-Ghazali) hanya menyebabkan penentangnya menjadi sesat (melakukan bid’ah), tidak sampai menjadi kafir atau keluar dari agama Islam.

Apa saja perkara yang termasuk furu’ dalam persoalan akidah? Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi pernah menjawab bahwa kategori yg termasuk far’i adalah masalah-masalah juz’i tentang keyakinan/akidah yang tidak mempunyai dalil qath’i. Misalnya, kebangkitan manusia untuk kedua kalinya, apakah setelah habis seluruhnya atau setelah bercerai-berai? Atau pembahasan terkait sifat “Sama’ dan Bashar” nya Allah. Apakah dua sifat itu berhubungan dengan semua hal yang wujud ataukah hanya berhubungan dengan sesuatu yang bisa didengar dan dilihat saja? Nah, persoalan-persoalan ini termasuk kategori furu’ dalam akidah yang masih bisa diperselisihkan. Dan masih banyak contoh lainnya.

Adapun teks pernyataan al-Imam al-Ghazali tadi bisa kita baca dalam karyanya, Faishalut-Tafriqah yang berbunyi: Ketahuilah bahwa mengenai sesuatu yg dapat membuat kufur dan yang tidak, memerlukan penjelasan yg sangat panjang. Perlu juga utk menjelaskan setiap pendapat dan setiap mazhab. Perlu juga menjelaskan setiap syubhat/kerancuan dari masing-masing serta dasar-dasarnya baik dari segi zahir maupun takwilnya. Hal ini tdk cukup meski dg berjilid jilid kitab, dan waktuku juga tidak cukup utk menjelasknyannya.

Maka oleh karena itu, (kata beliau) sekarang terimalah sebuah pesan dan satu ketentuan yang sangat penting yaitu:

“Tahan mulut agar jangan sampai mengkafirkan ahli kiblat/muslim dengan semampumu, selagi mereka masih mengatakan dan meyakini kalimat tauhid LA ILAHA ILLALLAH, MUHAMMADUN RASULULLAH dan mereka tidak mendustakan Rasulullah SAW. Sungguh, mengkafirkan sesama muslim itu sangatlah berbahaya, sementara diam dari itu tidaklah berbahaya.”

Tampaknya, pendapat al-Imam al-Ghazali ini dalam konteks mempersatukan umat Islam. Sehingga langkah untuk membangun kerjasama dan dialog antar-mazhab dan aliran akan lebih mudah. Dengan demikian, perpecahan yang mengancam ketentraman umat Islam bisa dihindari sedini mungkin. Dan beliau sangat mengerti akan bahaya dan dampak dari mengkafirkan sesama muslim, terlebih lagi menumpahkan darah sesama muslim.

Imam As-Subki pun pernah berkata, “Selagi seseorang meyakini dua kalimat syahadat, maka seketika itu dia sulit untuk dikafirkan”. Selain itu, Imam Az-Zahabi dalam kitabnya Siyar A`lamin Nubala’ menceritakan bahwa gurunya yang bernama Ibn Taimiyah pernah berkata di akhir hayatnya, “Aku tidak mengkafirkan siapapun dari umat Islam”.

Adapun persoalan selanjutnya dalam ruang lingkup fikih, Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa pernah berkomentar, bahwa yang masih bisa dilakukan ijtihad adalah hukum syar’i yang tidak memiliki dasar pasti (dalil qath’iy) dan masih bersifat zhonni. Bila terjadi kesalahan ijtihad dalam hal ini maka tidaklah berdosa. Adapun kewajiban salat 5 waktu, puasa, kewajiban membayar zakat, naik haji, serta hal-hal yang sudah disepakati ummat, yang memiliki dalil Qathi, maka tidak boleh dilakukan ijtihad dan berdosa menentangnya. Beliau juga menegaskan tidak ada pengafiran sama sekali di dalam masalah furu`, kecuali satu masalah, yaitu mengingkari ajaran agama yang diketahui dari Rasulullah secara mutawatir (ma `ulima fi al-din bi al-dharurah).

Namun sangat disayangkan banyak yang gagal paham dalam memahami batasan-batasan qath’iy-zhanni dalam persoalan fikih ini. Sehingga tak jarang terjadi pertikaian di tengah masyarakat dengan “mengkambing-hitamkan” mazhab fikih sebagai biang keladi penyebab perselisihan tersebut. Padahal, bagaimanapun banyaknya perbedaan pendapat dalam mazhab fikih (sejak awal tumbuhnya sampai saat ini) sejatinya hal itu tidak sampai menimbulkan perpecahan dan perkelahian di internal umat Islam. Justeru mazhab-mazhab ini muncul dari dasar tolong menolong terhadap fiqih, dan dari pengambilan yang disimpulkan dari dasar yang kokoh dan kuat.

Begitulah kira-kira beberapa contoh dalam melihat batasan-batasan dan perbedaan pendapat pada aspek akidah dan fiqih. Hal itu tentu membawa pesan tersirat kepada kita untuk lebih bijak dalam melihat segala sesuatunya serta tidak mudah cepat-cepat memvonis sesat atau kafir terhadap seseorang atau kelompok dan sebagainya. Jika dalam aspek akidah dan fiqih saja ada perkara ushul dan furu`, qath’iy dan zhanniy, apalagi dalam aspek tasawuf.

Maka tak perlu heran bila kemudian banyak terjadi ijtihad, perbedaan dan perkembangan metodologi, serta corak aliran dalam dunia sufi. Ada namanya tasawwuf amali, tasawwuf akhlaqi, tasawwuf falsafi, zauqiy dan sebagainya. Begitu pula dengan tarekat, ada banyak macam-macam tarekat di dunia setelah melalui proses ta’sis, tajdid (pembaharuan), bahkan jam`uth thuruq (penggabungan dari beberapa tarekat shufiyyah) yang dilakukan oleh sufi-sufi tertentu sepanjang zaman.

Oleh karenanya, yang harus kita sadari adalah bahwa perbedaan-perbedaan dalam mazhab, aliran dan pemikiran itu tidak perlu disamakan menjadi satu format, satu bentuk dan sistem. Dalam kitab Al-Inshaaf fi Asbab al-Ikhtilaf diceritakan pernah ada kisah tentang Imam Malik bin Anas, pengarang kitab al-Muwaththa’ sekaligus guru dari Imam Syafii. Diceritakan bahwa penguasa waktu itu hendak menggantungkan kitab Al-Muwathta’ tersebut di Ka’bah agar umat Islam dalam menentukan hukum dapat merujuk kepada satu rujukan saja, serta agar tidak terjadi perbedaan pendapaat di kalangan umat ketika itu.

Namun apa sikap dan respon Imam Malik ketika itu? Ia justeru menolak rencana itu. Beliau menegaskan, “Jangan !!! Karena para sahabat Rasulullah SAW pun berbeda pendapat dalam masalah furu’iyyah agama, sedangkan mereka telah tersebar di berbagai negara”. Nah, dalam hal ini Imam Malik bin Anas begitu menyadari bahwa perbedaan pendapat baik dalam hal menafsirkan, memahami, dan sebagainya adalah sebuah keniscayaan.

Perbedaan pendapat merupakan bentuk rahmat dari Allah. Makanya Ibn ‘Abidin dalam kitabnya, Ad-Durrul Mukhtar mengatakan, “Perbedaan merupakan salah satu dari pengaruh rahmat. Semakin banyak ikhtilaf, maka semakin banyak pula rahmat yang didapat”. Sebagaimana juga banyak riwayat-riwayat hadis Nabi yang mengatakan tentang ini.

Imam Ibnu Taimiyah juga pernah menegaskan dalam kitabnya Minhajus Sunnah an-Nabawiyyah. Apa kata beliau? “Kita diperintahkan untuk adil dan objektif. Jika Yahudi atau Nasrani, apalagi Syiah Rafidhi mengucapkan sesuatu yang disitu terdapat sisi kebenarannya, maka kita tidak boleh menolak atau meninggalkan semua sisi kebenaran itu”.

Dan dalam kitabnya Majmu’ Fatawa, Imam Ibnu Taimiyah juga mengatakan bahwa, “Berpegang teguh pada persatuan dan saling mengasihi, merupakan pokok/ushul agama. Sedangkan masalah furu’/cabang agama yang diperselisihkan adalah termasuk dari bagian-bagian masalah furu’ yang kecil. Maka bagaimana mungkin kita akan melalaikan yang pokok/ushul hanya karena menjaga masalah-masalah yang sifanya cabang/furu’ belaka?”.

Oleh karena itu kita harus bijak dalam beragama. Harus mampu memilah dan memilih mana perkara yang sifatnya ushul dan mana yang furu’ yang tidak perlu diperdebatkan. Mana yang qath’i dan mana yang zhanni. Jangan terlalu mudah menyesatkan dan mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dan pemahaman dengan kita padahal dia masih saudara seiman dan masih dalam naungan kalimat tauhid yang sama.

Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:

من رمى مؤمنا بكفر فهو كقتله

“Barangsiapa yang menuduh kafir pada seorang mukmin, maka hal itu sama dengan membunuhnya”.

Dalam hadis lain juga dikatakan sebagaimana riwayat al-Bukhari dan Muslim:

إذا قال الرجل لأخيه: يا كافر، فقد باء بها أحدهما

“Jika seseorang berkata kepada saudaranya, “Hai orang kafir…” maka kekafiran itu sejatinya kembali pada salah satu dari keduanya”.

Terakhir, ada pertanyaan yang berulang-ulang dipertanyakan tentang bagaimana seharusnya sikap kita dalam membangun dialog dengan non-Muslim atau orang-orang yang berbeda keyakinan dengan kita?

Untuk menjawab hal ini agaknya perlu kembali mengingat sejarah atau Sirah Nabi Muhammad SAW. Dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibnu Katsir dikatakan: Bahwasanya Rasulullah SAW tidak menutup pintu dialog dengan orang-orang musyrik, orang Yahudi maupun orang Nasrani. Bahkan, beliau pernah melakukan dialog dengan golongan-golongan ini di tengah-tengah masjid Nabawi.

Yahudi berdialog dengan beliau di dalam masjid tersebut, bahkan Nabi SAW pernah membiarkan orang-orang Nasrani melakukan ibadah di masjid beliau dan orang-orang musyrik pun pernah memasuki masjid di masa hidupnya. Disebutkan, tatkala utusan Nasrani Najran datang dan tibalah waktu salat Ashar, mereka pun melakukan ibadah ke arah Timur waktu itu, Nabi pun berkata kepada para Sahabat, “Biarkanlah mereka”.

Begitulah sikap Nabi SAW dalam membangun dialog dengan mereka yang berbeda keyakinan dengannya. Beliau tetap menghargai dan menghormati keyakinan orang lain dengan tetap mengedepankan dialog antar umat beragama. Ya, memang ada batasan-batasan yang diajarkan dalam Islam. Misalnya dalam persoalan akidah atau tauhid memang tidak perlu lagi diotak atik dan itu merupakan sebuah keniscayaan dalam beragama. Sebagaimana dalam al-Quran, “Lakum dinukum wa liyadin”. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.

Walaupun kita berbeda keyakinan dalam aspek akidah atau tauhid, tapi tentu hal itu tidak menghalangi kita kaum muslimin dengan umat agama lain dalam hal menjalin interaksi sosial, hubungan ekonomi, politik dan budaya sekalipun. Maka dalam hal ini, saling menghargai dan menghormati antar sesama dalam koridor kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara perlu dipertahankan. Dalam hal ini pula ada istilah ukhuwwah islamiyah, ukhuwwah wathaniyyah dan ukhuwwah basyariyyah. Persaudaraan sesama muslimin, persaudaraan sebangsa setanah air, dan persaudaraan sesama manusia.