Melanjutkan tulisan sebelumnya, bahwasannya Abraham Geiger dalam karya tulisnya seringkali mengatakan bahwa ada keterpengaruhan dalam tradisi Yahudi terhadap kitab suci al-Qur’an. Menurutnya, al-Qur’an hanyalah refleksi Muhammad tentang tradisi dan kondisi masyarakat Arab pada saat itu, karenanya bersifat kultural dan tidak transenden.
Sebenarnya, apa yang dikatakan oleh Geiger ini sudah menjadi hal yang wajar dalam studi ‘ulum al-Qur’an. Para ulama’ terdahulu pun sudah mendiskusikan hal ini. Pertanyaannya, apa benar demikian bahwa al-Qur’an itu imitasi atau kitab copy paste? Pertanyaan sanggahan itu sepertinya sudah dijawab oleh al-Qur’an sendiri, bagaimana al-Qur’an bisa menjadi kitab yang shalih li kulli zaman wa makan kalau tidak diturunkan dengan dengan bahasa kaumnya. Hal itu sesuai dengan tujuan diutusnya Nabi Muhammad kepada segenap umat. Dalam Q.S. Ibrahim/14: 4 dijelaskan:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka”.
Dengan dalil tersebut pernyataan Geiger dengan sendirinya terbantahkan. Apa fungsinya kalau al-Qur’an diturunkan, katakanlah dengan bahasa planet, yang tiada satupun seorang itu bisa menjamah/memahaminya. Lalu, di mana letak kemukjizatan dan fungsi al-Qur’an itu sendiri sebagai kitab petunjuk untuk semua umat manusia? Dan pernyataan Geiger tentang al-Qur’an sebagai kitab imitasi merupakan terlalu berlebihan. Hemat penulis, hal itu karena background dari Geiger sendiri sebagai seorang Rabbi (guru) dari agama Yahudi. Unsur subyektifisme terlalu kental dalam hal ini. Geiger selalu mengunggulkan agama dan kitab sucinya dengan menegasikan kitab-kitab agama lain. Jadi wajar kalau ia tidak setuju jika al-Qur’an dianggap kitab suci paling otentik karena banyak ajaran agamanya yang diadopsi oleh Islam.
Geiger menganggap bahwa Nabi Muhammad itu bisa baca-tulis atau pernah membaca kitab-kitab umat terdahulu. Anggapan Geiger bahwa kalau Nabi Saw tidak pernah membaca kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, bagaimana Nabi Muhammad tahu tentang isinya?. Mengenai hal tersebut Al-Qur’an menegaskan di dalam Q.S. Al- Ankabut/29: 48,
وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ
“Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari (mu).
Dengan pendekatan historis juga, Geiger berasumsi selain pernah bertemu dengan pendeta Buhaira, Nabi juga sering bertemu dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, baik itu di Mekah maupun di Madinah. Di Mekah beliau telah bertemu dengan Waraqah bin Naufal. Nah, dalam kasus ini, perlu diketahui bahwa pertemuan nabi dengan Waraqah telah terjadi sebelum beliau menerima wahyu al-Qur’an yang pertama. Itu pun dalam pertemuan yang singkat, Waraqah hanya sempat mengucapkan beberapa patah kata sebagai tanggapan terhadap cerita tentang pengalaman nabi di Gua Hira’ dan disaat Nabi mau melakukan perjalanan berdagang bersama pamannya, Abu Thalib. Al-Qur’an sendiri telah membantah tuduhan-tuduhan mereka melalui Q.S. Al-Nahl/16: 103.
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ
“Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: “Sesungguhnya Al Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)”. Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa Ajam, sedang Al Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang.”
Di samping itu, kalau Geiger keukeh bahwa al-Qur’an itu karangan Muhammad, toh faktanya banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menegur dan mengkritik Nabi Muhammad dalam berbagai hal, yang paling mendasar diantaranya ialah bahwa Nabi Muhammad pernah ditegur lewat al-Qur’an ketika Nabi selalu terburu-buru dalam menghafal ayat Al-Qur’an yang sedang dibacakan Jibril. Diantaranya QS. Al-Qiyamah 75: 16.
لا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya.”
Tidak selamanya pendekatan historis selalu menghasilkan nilai positif. Karena historisisme melakukan eksplanasi terhadap objek penyelidikannya. Sehingga pendekatan kritik-historis dalam al-Qur’an bersifat reduksionis. Dan, kesalahan yang paling besar dalam reduksionisme adalah dimana hal yang besar dijelaskan dalam taraf yang sangat kecil. Wahyu yang bersifat supranatural dijelaskan sebagai fenomena natural.
Kesamaan-kesamaan al-Quran dengan kitab suci sebelumnya bukan pengambil-alihan, melainkan bukti dari kesamaan asal-usul kitab-kitab suci tersebut, yaitu dari Tuhan yang satu, Allah swt. Dan kondisi historis tersebarnya ajaran agama sebelumnya kepada masa nabi atau rasul yang datang belakangan adalah efek dari tradisi isnad yang telah membudaya di kalangan umat manusia dalam mentransmisikan ajaran agama dan bukan sebagai bukti adanya saling mempengaruhi antara satu agama dengan agama.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, kalau bahasa al-Qur’an itu meminjam dari agama Yahudi, lalu, Yahudi tersebut meminjam bahasanya siapa? Tidak mungkin kalau suatu bahasa muncul dengan sendirinya tanpa adanya penciptaan. Selanjutnya, kalau dikatakan kalau Nabi Muhammad telah meminjam bahasa, tradisi, dan kandungan isi kitab terdahulu, lantas pinjaman Nabi Muhammad itu untuk apa? dalam arti, apakah pemaknaan “meminjam” itu sama dalam “menafsirkan”. Semisal kata tabut, apakah sama penafsiran Geiger dengan Nabi Muhammad Saw. Jika berbeda dalam penafsiran, apakah itu bisa dikatakan meminjam? Bisa jadi itu hanya asumsi dari Geiger.
Yang kedua, kalau Nabi Muhammad meminjam, berarti ada yang mengajarinya. Lantas, siapakah yang mengajari Nabi Muhammad. Dalam sejarah, tidak pernah ada data valid tentang ini. Sehingga apa yang diasumsikan oleh Geiger terhadap Nabi Muhammad mengenai istilah-istilah Yahudi itu sudah menjadi common sense (pandangan umum) masyarakat sekitar, bukan hanya milik Yahudi an sich.
Sebab itu, kalau menghubungkan antara al- Qur’an dan sejarah, permasalahannya sangatlah kompleks. Sehingga pendekatan yang memungkinkan untuk mengkaji al-Qur’an adalah pendekatan sastra, sebagai mikrostruktural dari al-Qur’an itu sendiri. Hal ini karena sejarah al-Qur’an tidaklah dimulai dari proses kanonisasi, akan tetapi inheren (melekat) dalam teks al-Qur’an itu sendiri. Dimana al-Qur’an tidak hanya ditinjau dari aspek kandungannya saja tetapi juga bentuk dan struktur yang menjadi jejak sejarah dari proses kanonisasi, yang menggabungkan dua dimensi penting yaitu, kehadiran al-Qur’an sebagai kitab suci dan kehadiran sebuah komunitas masyarakat.
Kalau kemudian katakanlah benar bahwa al-Qur’an itu mengadopsi bahasa atau kisah di dalam kitab terdahulu, baik itu agama Kristen maupun Yahudi. Apakah dengan mengadopsi istilah-istilah atau ajaran-ajaran umat terdahulu tersebut lantas dapat menggoyahkan iman kita bahwa al-Qur’an itu sebagai kitab petunjuk? Atau, jika benar kitab suci al-Qur’an itu copy-paste dari kitab Yahudi, lantas, apakah hal itu dapat mengurangi terhadap kebenaran apa yang sudah disampaikan oleh al-Qur’an?
Hadirnya tokoh semacam Abraham Geiger dalam kajian orientalis sangatlah menarik, Pasalnya, ia dengan sungguh-sungguh melacak sejarah yang berupa lampiran-lampiran manuskrip, yang kemudian dicocokkan dengan hasil temuan sebagai bukti otentik. Sehingga kontribusi mereka dalam wacana keilmuan al-Qur’an sangatlah penting.
Walaupun memang, tak jarang kita menjumpai kejanggalan-kejanggalan mengenai cara berfikir para orientalis semacam Geiger ini. Dengan semakin banyaknya keraguan dan kejanggalan yang ada di dalam kitab suci al-Qur’an yang telah diteliti oleh mereka, justru malah menjadikan kajian ‘ulumul qur’an tidak pernah dimakan usia dan selalu menarik bagi siapapun. Sampai sekarang. Itulah yang menjadikan kitab suci al-Qur’an shalih likulli zaman wa makan.
Apapun itu, orientalisme dengan berbagai tujuan dan keinginan yang berbeda-beda telah berjasa besar kepada bangsa Arab, khususnya, dan umat Islam secara keseluruhan. Termasuk juga Abraham Geiger. Ia telah mengingatkan orang Islam betapa pentingnya studi sejarah (historical approach) dalam melacak sumber-sumber manuskrip sebagai pembanding dengan fakta yang ada. Wallahhu a’lam.