Ketika Non Muslim Mengkaji Al-Qur’an (1)

Ketika Non Muslim Mengkaji Al-Qur’an (1)

Bagi sebagian orientalis (Non-Muslim) masih ada saja yang beranggapan bahwa al-Qur’an bukanlah kitab suci yang datang dari Allah, tetapi buatan Muhammad. Benarkah demikian?

Ketika Non Muslim Mengkaji Al-Qur’an (1)
Al-Qur’an

Pemikiran dan wacana oleh sarjana orientalis selalu menggelitik dalam studi Islam, terutama pandangannya terhadap kitab suci al-Qur’an. Di antaranya ialah Abraham Geiger. Beberapa karyanya, ia menganggap bahwa Al-Qur’an merupakan kitab imitasi (baca: copy paste) dari ajaran agama Yahudi. Baik dari segi bahasa, sejarah, dan kandungan isi.

Perlu diketahui, Abraham Geiger adalah seorang intelektual, Rabbi, dan tokoh sekaligus pendiri Yahudi Liberal di Jerman. Ia terlahir dalam keluarga dan lingkungan hidup ortodoks yang keras. memulai karirnya sebagai seorang Rabbi (guru yang menguasai keseluruhan 613 mitzvot (hukum agama Yahudi) pada tahun 1833.

Sebagai kitab suci umat Islam, al-Qur’an diyakini shalih likulli zaman wa makan, kompatibel atau selalu relevan di setiap ruang dan waktu. Karena al-Qur’an diyakini sebagai mukjizat yang kata-kata terkandung di dalamnya langsung dari Allah secara verbatim. Dengan bukti bahwa tidak ada seorang pun yang mampu membuat ayat yang mirip dengannya atau menandinginya. Baca QS. 52: 34, QS, 11: 13, QS, 2:23, 10: 38, dan QS. 17: 88. (Abd. Moqsith Ghazali: 2009).

Walaupun demikian, bagi sebagian orientalis (Non-Muslim) menganggap bahwa al-Qur’an bukanlah kitab suci yang datang dari Allah, tetapi buatan Muhammad. Menurut mereka, Muhammad pernah mempelajari Taurat dan Injil (Hasan Abdul Rauf Muhammad al-Badawy dan Abdurrahman Ghirah: 2007). Dengan begitu, al-Qur’an diragukan oleh mereka karena dianggapnya sebagai jiplakan kitab terdahulu. Benarkah demikian? karena itu, kitab suci al-Qur’an selalu menarik untuk dikaji dengan beberapa fakta historis dan susunan redaksi ayatnya.

Menurut Geiger, posisi al-Qur’an bukanlah wahyu agama baru, tetapi ia hanya ajaran-ajaran keagamaan semacam apa yang dimiliki oleh orang-orang Yahudi dan Kristen. Di dalam karya tulisnya yang berjudul “Was hat Mohammed aus dem Judenthume Aufgenommen? (Apa yang telah Muhammad Pinjam dari Yahudi?)”, menganggap bahwa kosa kata, cerita, dan sumber rujukan al-Qur’an telah meminjam dari kitab suci agama Yahudi atau tradisi yang berkembang pada ajaran Yahudi.

Dalam karyanya itu, Geiger berpendapat bahwa kata-kata yang terdapat dalam al-Qur’an seperti Tabut, Taurat, Jannatu ‘Adn, Jahannam, Ahbar, Darasa, Rabani, Sabt, Taghut, Furqan, Ma’un, Masani, dan Malakut berasal dari bahasa Ibrani. Misalnya, Jannatu ‘Adn, kata “’adn” dalam bahasa Arab bermakna kesenangan atau kebahagiaan (nama surga). Menurut Geiger, pada dasarnya kata ini berasal dari bahasa Ibrani. Dalam agama Yahudi, “’adn” adalah nama dari suatu daerah yang telah dihuni oleh orang tua mereka, yaitu Adam dan Hawa. Bagian daerah yang mereka tempati itu berupa kebun pohon yang biasa disebut dalam Injil dengan “Taman Eden”.

Dalam perkembangannya, arti kata ini tidak lagi mewakili nama suatu tempat, tetapi digunakan untuk menunjuk arti surga, meskipun dalam tataran praksisnya bangsa Yahudi masih menggunakan Taman Eden sebagai sebuah tempat juga. Kemudian, Jahannam, kata ini juga diklaim berasal dari Yahudi. Kata “Jahannam” mengacu pada lembah Hinnom, yaitu suatu lembah yang penuh dengan penderitaan. Karena simbol dari penderitaan, kemudian mendorong penggunaan hinnom menjadi gehinnom dalam kitab Talmud untuk menandakan neraka. Begitu juga dengan kata “Taurat” maknanya hukum. Kata ini hanya digunakan untuk tradisi pewahyuan dalam agama Yahudi.  (Lenny Lestari: 2014, hal 41-60).

Selain kata-kata di atas, Geiger kemudian berpendapat bahwa al-Qur’an juga terpengaruh dengan agama Yahudi ketika mengemukakan hal-hal berikut. Pertama, hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin; misalnya ketika membicarakan tentang hari akhir. Menurut Geiger, Yahudi sudah mempercayai ini, begitu juga tantang balasan di surga dan neraka. Geiger mengatakan bahwa Islam mengadopsi masalah ini dari Yahudi (Abraham Geiger: 1998).

Kedua, peraturan-peraturan hukum dan moral; misalnya ketika dalam aturan-aturan dalam shalat. Geiger menyebutkan bahwa larangan shalat dalam keadaan mabuk, model sholat khouf, dan legitimasi tayammum merupakan hal yang sudah ada ketika Islam belum datang, Geiger menyebutkan bahwa ketiga hal tersebut juga ada dalam kitab Talmud, kesamaan inilah yang dianggap Geiger bahwa Muhammad meminjamnya dari tradisi yang sebelumnya.

Ketiga, pandangan tentang kehidupan. Setidaknya ada tiga hal yang disorot Geiger tentang pandangan kehidupan yang dipinjam Muhammad, yaitu pertama, harapan menjadi khusnul khotimah yang dipinjam dari Balaam, “let me die the death of the rightheous”. Kedua, tentang balasan atau pahala bagi orang yang melakukan kebaikan, Yahudi juga mengenal hal yang demikian. Ketiga, tentang amal jariyah, yang dalam Yahudi dikatakan bahwa ketika orang meninggal semuanya akan ditinggalkan, kecuali amal ibadahnya. Ini juga terdapat dalam hadits Nabi. (Abraham Geiger, “Judism and Islam”: 1989).

Bukan hanya itu, cerita-cerita yang ada di dalam al-Qur’an juga tidak terlepas  dari pengaruh agama Yahudi yaitu; Pertama, kisah tentang kepemimpinan laki-laki, yaitu nabi-nabi yang diutus Allah untuk umatnya, meliputi; Kisah nabi Adam hingga nabi Nuh; Kisah nabi Nuh hingga nabi Ibrahim; dan Kisah nabi Ibrahim hingga nabi Musa. Kedua, kisah nabi Musa. Ketiga, Tiga raja yang kekuasaannya tak terbatas, yaitu raja Thalut, nabi Daud, dan nabi Sulaiman. Keempat, orang-orang suci yang diutus setelah masa nabi Sulaiman. Menurut Geiger al-Qur’an jelas dipengaruhi oleh agama Yahudi. Geiger juga membahas ayat-ayat di dalam al-Qur’an yang mengecam Yahudi. Namun menurut penafsiran Geiger, kecaman itu karena Muhammad Saw. telah menyimpang dan salah mengerti doktrin-doktrin agama Yahudi.

Kajian orientalis terhadap kitab suci al-Qur’an tidak sebatas mempertanyakan otensitasnya. Isu klasik yang diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan sebagainya terhadap Islam maupun isi kandungan al-Qur’an (‘theories of borrowing and fluence’). Sebagian mereka berusaha mengungkapkan apa saja yang bisa dijadikan bukti bagi teori pinjaman dan pengaruh itu, terutama dari literatur dan tradisi Yahudi-Kristen. Ada pula yang membandingkan ajaran al-Qur’an dengan adat istiadat Jahiliyah, Romawi, dan lain sebagainya. Biasanya mereka katakan bahwa cerita-cerita dalam al-Qur’an banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan versi bible yang mereka anggap lebih akurat. (Syamsuddin Arif: 2009).

Bersambung..